Berhenti Berharap dan Merendahkan Orang Lain


Cinta. Apakah cinta adalah sebuah kebutuhan? Sepertinya iya, mencintai dan dicintai seperti sebuah kesatuan struktural dan fungsional untuk menjaga suatu keutuhan fungsi dari hati. Mengapa demikian? Tentu saja karena hati membutuhkan asupan gizi yang dinamakan kebahagiaan. Munafik jika ada orang yang tak butuh bahagia. Kejam sekalikah dengan kata ‘munafik’? Sebenarnya bukan munafik, tetapi pemikiran yang suangguh aneh.

Mencintai? Definisinya menurut kamus entah berantah, “Mencoba memberikan suatu perasaan tanpa mengharapkan feed back untuk rasa itu.” Feed back? Terkadang mengharapkan feed back terlalu besar membuat seseorang itu kecewa, karena yang diharapkan tak kunjung memberi apa yang diingini. Feed back bisa dibilang sebagai suatu balasan, balasan perasaan lebih tepatnya. Tetapi seperti yang diutarakan di atas tadi, bukan cinta namanya jika mengharapkan feed back. Lantas, apakah kita bisa mencintai tanpa merasa dicintai? Tidak, perasaan itu akan timpang. Tapi percayalah, terlalu banyak orang-orang yang mengasihi kita tanpa kita sadari, dan sesungguhnya mereka juga mengharapkan feed back dari kita walaupun cuma sedikit saja.

Masih ingat dengan hukum Newton yang menyatakan tentang Gaya Aksi Reaksi? Percayalah bahwa F Aksi = -F Reaksi. Setiap gaya yang diberikan pada benda pasti mendapat balasan dari benda itu. Termasuk juga hati manusia, karena manusia lebih daripada benda mati yang hanya bisa memberi reaksi. Reaksi dari hati manusia bisa berlipat ganda, mungkin saja tidak ditunjukkan secara langsung. Makna filosofisnya, gaya—sekecil apapun yang kita berikan pada suatu benda—pasti akan mendapat reaksi. Begitu pula halnya manusia—sekecil apapun perasaan yang kita berikan pada seseorang—pasti akan mendapat balasan. Hanya saja balasan yang kita dapatkan belum sesuai dengan kadar yang kita butuhkan. Karena itu, kita hanya butuh sabar! Dan menunggu!

Berhentilah berharap pada orang lain yang mungkin belum bisa memberi feed back sesuai kadar yang kita ingini, berharaplah hanya pada Tuhan. Yakinlah Tuhan melihat setiap perbuatan baik yang kita lakukan, cepat atau lambat kita akan mendapat balasan, tentunya sesuai kadar pekerjaan kita. Sangat banyak orang-orang yang jatuh karena kekecewaan, mungkin karena mereka tidak mendapat feed back tadi? Begini, sebenarnya manusia itu banyak tipikalnya. Tak selamanya hukum Newton III tadi berlaku. Apalagi di dunia nyata, masih banyak orang-orang yang tidak mempedulikan cinta yang datang pada mereka. Maka pada orang-orang tersebut, efek Hukum Newton III agak sukar bereaksi. Tetapi cuma waktu yang bisa menjawabnya. Teruslah berikhtiar dan berdoa.

Sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita terkadang menjadi kesalahan. Percaya? Tidak semua orang yang kita cintai bisa kita terima baik dan buruknya. Lantas apakah kita akan mempermasalahkan keburukan orang lain? Sementara di dunia ini tak ada yang sempurna, yang ada hanya menutupi ketidak sempurnaan. Bukankah mencintai itu apa adanya?

Berhentilah berharap dan merendahkan orang lain. Terima semuanya dengan lapang dada, niscaya kita bisa berdamai dengan keadaan. (Irma Garnesia, SMAN 1 Padang)
Read More … Berhenti Berharap dan Merendahkan Orang Lain

Apakah Ini Man Shabara Zhafira?

Masihkah ingatkah engkau dengan mantra Man Shabara Zhafira? Aku jadi tiba-tiba berpikir ingin menuliskan ini. Tiba-tiba saja aku menyadari sesuatu di tengah perjuangan panjang ini. Apakah belajar keras untuk ujian semester kedua ini bisa dibilang sebagai perjuangan panjang? Baik, mari kita mulai cerita ini secara kronologis.

Entah kenapa beberapa hari, minggu, dan mungkin bulan ini siswa-siswi di kota Padang dan sekitarnya disibukkan dengan persiapan ujian semester kedua. Bahkan persiapanku sendiri boleh dibilang minim. Tahu kenapa? Baiklah beberapa hal membuatku stress. Apakah itu? Tentu saja tugas. Saat pulang ke rumah aku sudah ditimpuki oleh tugas yang menggunung itu. Sebut saja misalnya LKS Kimia, LKS Bahasa Inggris, Hapalan ayat Al-Quran, 300 berita Internasional, LKS PKN, tugas analisis drama, soal Bahasa Indonesia, Tajuk Rencana Bahasa Indonesia, komposisi bidang kesenian, dan masih banyak lagi. aku juga tidak tahu mengapa tiba-tiba tugas itu jadi sebanyak itu, apa karena tidak dikerjakan, entahlah.

Tapi yang jelas akhir-akhir ini alias waktu itu aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Tidur jam sebelas malam dan harus bangun jam empat pagi. Paling tidak aku mengulang pelajaran yang sulit. Banyak sekali yang harus dipersiapkan untuk ujian ini, apalagi persiapan itu untuk menutupi nilaiku yang biasa-biasa saja semester lalu.

Tetapi itulah kawan. Kelihatannya aku belum beruntung. Buktinya aku tidak bisa berkutik di ujian Fisika. Tak masalah rasanya karena aku memang tak banyak belajar Fisika. walaupun sudah banyak libur yang disediakan, bahkan aku sudah mem-photocopy buku Bob Foster milik temanku. Tetapi tiba-tiba saja di tengah liburan yang suntuk itu, aku juga suntuk belajar. Setelah menyelesaikan setumpuk tugas di atas, aku merasa sangat mumet belajar. Meskipun buku Fisika sudah di depanku dan aku sudah sangat bersemangat, tidak ada yang masuk ke kepalaku. TIba-tibaa semuanya jadi gelap. Bahkan penyakit malas  ini juga datang di seluruh kegiatanku. Belajar, menulis, membaca, tidur, bahkan makan. Tidak ada semangat saking sangat bosannya belajar.

Saat ini pula aku merasa sangat menyesal. Entah kenapa meskipun sudah jatuh bangun belajar Biologi, aku merasa tak mampu menuntaskan ujian Biologi itu dengan baik. Ada gambar yang tak bisa kulihat dengan jelas, soal lewat Bahasa Inggris yang tak bisa kupahami, dan aku lupa beberapa hal. Ini membuatku menggerutu sendiri di depan LJK dan soal itu. Rasanya ingin berteriak keras, apalagi karena Biologi adalah pelajaran yang menyenangkan buatku, setidaknya daripada Fisika. Keluar dari ruang ujian aku manyun, setiap soal dan jawaban yang dibilang teman sekelas, kebanyakan aku salah. Entah apa ini.

Begitupun Bahasa Inggris. Banyak vocabularies  yang tidak aku ketahui. Dan pastinya, soal itu meragukan. Lagi-lagi aku menggerutu saat ujian. Semuanya berjalan dengan (tidak) lancar.

Tetapi ada beberapa factor yang membuatku merasa gagal pada kedua ujian ini. Sebut saja misalnya aku harus membuat laporan evaluasi kegiatan ekskul di saat yang tidak tepat. Aku juga diminta datang ke sekolah di luar jam ujian (meskipun aku tak datang), dan pastinya aku masih terlena dengan jejaring sosial yang seharusnya tak penting tersebut. Banyak waktuku yang terhabiskan dengan sia-sia. Jika ini memang belum sebuah perjuangan.

Aku merasa bersalah, aku menyesal. Tapi apalah gunanya. Aku bahkan mengecewakan diriku sendiri. Tapi tiba-tiba aku teringat mantra Man Shabara Zhafira. Aku tak tahu apakah sudah pantas aku ini dianggap bersabar, padahal usahaku belum maksimal. Tetapi aku masih mengingat ini, dan semoga aku bisa bersabar dan bertawakal kepadanya. Karena semua yang pernah kita lakukan akan mendapat konsekuensi, dan Tuhan membayar lunas kelalaianku pada hari-hari sebelumnya itu. (Irma Garnesia, SMAN 1 Padang)
Read More … Apakah Ini Man Shabara Zhafira?

Mimpi : A Random Experience


“Semalam aku bermimpi…bertemu dengan dirinya~”. Cuplikan lagu dari Kahitna yang berjudul ‘Tentang Diriku’ itu yang mau saya ceritakan sekarang, tapi tentu saja bukan tentang cinta. Dan pastinya itu tentang mimpi.

Cerita ini (bukan) hanyalah fiktif belaka. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita ini adalah nyata dan tempat serta kejadian perkara bisa dibuktikan kebenarannya.

Beberapa waktu yang lalu aku ingin sekali punya adik. Bahkan aku sempat pasang status di facebook yang isinya ingin mengadopsi adik. Tentunya semua ini juga berkenaan dengan keinginanku sebelum-sebelumnya sekali untuk dapat punya kakak. Maklumlah, orang yang tak punya saudara macam aku selalu ingin punya saudara, tetapi kenyataannya aku malah hanya menganggap orang lain sebagai saudaraku. Miris. Maka, beruntunglah siapapun yang punya saudara saat ini, karena kita membutuhkan tempat bergantung, Kawan! Dan buatku, saudara adalah jawabannya.

Tak ada panas, tak ada banjir, tiba-tiba sore yang lalu aku bermimpi dapat adik. Sore itu adalah pada hari Sabtu, 30 April 2011. Sungguh, aku tak pernah mengungkit-ungkit keinginan punya adik lagi, bahkan sudah melupakan pikiran yang absurd itu. Pikiran untuk punya kakak? Aku sudah menganggap seseorang sebagai kakak sendiri. Siapa dia? Dialah kak Westi Permata. Kakak yang telah banyak membantuku selama tiga tahun ini, bahkan mungkin akan banyak membantuku untuk tahun-tahun berikutnya. Bantuannya yang pertama adalah sekedar informasi untuk masuk smansa. Simpel kedengarannya, tetapi buatku sangat berarti. Yah, karena memang tak ada lagi pemberi informasi selain kakakku yang satu ini.

Lanjut ke bahasan sebelumnya, pulang sekolah itu aku ketiduran. Saking capeknya, aku lupa bahwa aku sudah bermimpi. Siapakah yang aku mimpikan sebagai adikku itu? Mhicya Utami Ramadhani, bahkan seseorang yang tak pernah terpikir olehku sebelumnya, tak pernah punya kontak, tak pernah punya berhubungan kecuali sekedar urusan sekolah dan senyum serta sapa semata. Tetapi aku sekarang memimpikannya, ajaib!

Jadi ceritanya, aku mimpi bahwa dia itu diangkat jadi adikku. Entah dalam rangka apa, tiba-tiba saja orang tuanya menitipkan dia untuk jadi adikku (?) Jangan tanya kenapa karena aku juga tak tahu jawabannya. Maka muncullah kebiasaan baruku untuk mengantar dan menjemput dia ke tempat les, membantu dia kalau lagi ada masalah, atau sekedar ngobrol membicarakan hal remeh temeh. Satu hal saja, Madu Kawan, seperti madu, manis sekali rasanya menjadi seorang kakak. Walaupun hanya beberapa momen, tetapi aku merasa sangat bahagia di sana. Tapi itu semua cuma mimpi Kawan, cuma mimpi! Bahkan sebenarnya aku tak tahu alamatnya dimana.

Tak tahu kenapa, aku jadi teringat sebuah artikel tentang mimpi yang ditulis oleh Gaby Defenski di majalah sekolah kami—Media SMANSA, maka langsung saja aku membaca kembali tulisan itu. “Faktanya, mimpi itu berasal dari kejadian yang kita alami sendiri.” Nah sebelumnya aku sempat punya pengalaman unik dengan dia. Pertama, waktu kami sedang mengambil wudhu di toilet. Sebenarnya tak penting karena aku cuma bilang, “Lucu ya dek, kaki kamu kecil sekali!”. Sedangkan yang kedua adalah ketika aku tak sengaja mendengar temannya memanggilnya di kantin, “Chia…chia ayo buruan!”. Oh Kawan, bahkan nama panggilannya sama dengan nama panggilanku di rumah, sama-sama ‘Chia’.

Satu hal yang menarik adalah ketika aku menanyakan hal yang benar-benar ingin kuketahui di dunia nyata, yaitu : “Apa kak Widi—Widya Fadriani—itu kakak kamu, Dek?”. Lalu dia menjawabnya, “Bukan Kak, kita sering bareng karena sering seangkot.” dan ternyata itu memang benar, karena aku juga menanyakannya setelah mengalami mimpi ini. Jawabannya tidak jauh beda, “Kak Widya F, Kak? Itu tetanggaku.” Tidak jauh beda, kan? Maaf sebelumnya untuk Kak Widya Fadriani, sampai membawa-bawa dalam mimpi ini.

Memori otak memang bisa menayangkan mimpi dengan kejadian-kejadian lucu dan aneh yang pernah kita alami sebelumnya, contohnya saja ketika aku melihat Bang Efri Mulia Yusli dan Kak Kiki Amelia di ruang OSIS setelah UN beberapa hari lalu. Maka tiba-tiba saja mereka berdua masuk ke dalam mimpiku yang menceritakan bahwa Kak Kiki kangen sama Bang Efri. Maaf sekali jika kakak-kakak dan abang-abang harus dilibatkan ke dalam mimpi-mimpiku sebelumnya. Tetapi jangan khawatir, karena ini hanya mimpi.

Contoh mimpi yang menggelitik lainnya adalah mimpi yang dialami oleh Rahmi Mulia Putri. Ia bermimpi hadir di pernikahan Pangeran William dan Kate, lalu ia juga bertemu teman-teman sekelasnya, lalu mereka menampilan tari Timur Tengah bercampur dengan tarian Minang yang mereka bawakan di perpisahan. What a funny dream!

Itulah intisarinya, mimpi adalah replay dari kejadian yang pernah kita alami. Keinginanku untuk punya adik, pengalamanku dengan Mhicya yang tidak terlalu bermakna, keingintahuanku antara Mhicya dan Kak Widi, dan akhirnya berakhir di mimpi dengan peristiwa yang campur aduk.

Tetapi terimakasih untuk Fadila Khairani, my beautiful friend ever after, buat advice yang dia berikan supaya aku memberitahu Mhicya saja tentang mimpi itu. Tanpa dia mungkin Mhicya nggak akan pernah tahu bahwa seseorang yang bahkan tak ada hubungannya dengannya bisa memimpikan dia. Bahkan mungkin aku tak akan memanggilnya ‘litle sister’ sekarang ini. Dan bahkan mungkin saja tulisan ini tak akan pernah ada sebelumnya. Ah tentu saja, terimakasih Tuhan karena telah memberikan rentetan peristiwa yang sangat bermakna ini kepadaku. Lengkaplah sudah keinginanku untuk punya adik, walaupun bukan adik kandung, atau adik dalam pikiran yang absurd. Mimpi memang sesuatu yang ajaib, Kawan!
Read More … Mimpi : A Random Experience

Perjalanan Sebuah Puisi Menuju Hatimu

Percaya bahwa puisi bisa berjalan? Tidak. Puisi itu begitu gaib, sehingga tiba-tiba ia sudah mencekikmu. Tapi seperti apapun arti yang kamu berikan pada sebuah puisi, maka saat itulah dia ada di hatimu.

Sebenarnya puisi itu ada karena kita mau mendekatinya. Banyak orang tak sadar bahwa puisi telah sangat dekat dengannya, tapi sayang tak dimanfaatkan. Coba tebak, siapa yang tak pernah suka puisi? No one. Kalau dalam ujian saya jug tak suka puisi, hehe.

Sebenarnya ada cerita menarik tentang saya, Fiona Ramadhanti, Ardanesia, Bunga Dwi Wulandari, dan tak tertinggal : Puisi. Let’s check this out.

Entah kenapa sore itu signal WIFi masuk ke laptop saya—pas lagi iseng mainin laptop di teras rumah. Agak aneh juga, dan tiba-tiba si Fio ngajak chat, kebetulan hari itu H-2 ujian semester. Ini cuplikan chatnya yang agak ngawur.
f : "dibalik kamar sepi ini, ak menangis melihat buku ku yang masih kelihatan rapi dan bersih. ck"

i : "buku say :
"lalu tak adakah kamu hendak memilih aku, melihat aku, menjamah aku? padahal aku sangat ingin balas mencintaimu"
seperti hujan2 saat pulang sekolah dulu"

 f : "semua itu siasia, rasanya memang takdir kita untuk tidak brsama, ku lihat dikau lksana api yg membara seakan" ak akan terbakar olehnya.."

 i : "api ini untuk menghangatkanmu sayang
dari hujan salju di luar
sebab di luar begitu gigil
membikin bibir kelu dan tulang menjadi remuk
takkah kau memelukku?
biar kusiram kau dengan hangatnya tubuhku"

 f  : "sudah brpa kali kau melakukannya, tetap saja aku merasa begitu..
aku ingin kau prgi dri hdupku, namun aku takut .
aaah, uda deh kak. ck"

i : "baiklah kalau begitu
dan kupaki barang-barang
selama bertahun-tahun tak muat di kepalamu
selamat tinggal sayangku
semoga kau cepat melupakan semua tentangku"

f : "waaaa. hahaha
jngan gtu dong."

Kalau Fio tak saya ragukan lagi kenapa dia suka puisi, sebenarnya latar belakang dia kan juga dari seni. Bagaimana dengan yang satu ini?

Ceritanya waktu itu di sekolah ada pembagian bunga karena hari itu ada peringatan hari pendidikan. Suasananya agak romantis gitu karena kita bagiin bunga ke guru-guru. Agak gila juga karena saya berakting ‘nembak Santi Duliem Fauziah’, namanya juga idiot. Nah, bunga yang sama saya kan saya kasih ke Mhicya. Si Bunga Dwi Wulandari juga minta bunga saya. Gini percakapannya :
 I : (Nyanyi nggak jelas sama Santi)
B : (mendekat), kak Bunga minta bunga dong.
I : (nggak ngeh)

Dia terus aja ngomong, sebenernya waktu itu saya nggak nyadar kalau nama dia itu Bunga, dan yang saya pegang itu juga Bunga, hadoh! Tapi pas di lantai tiga baru nyambung :
B : Kak, kasih Bunga bunga dong
I : (nggak ngeh juga)
B : (Mendekat)
I : (Baru nyambung), harusnya kamu yang aku kasih ke orang lain sebagai hadiah, kan kamu bunga.
B : (ketawa), sastra banget.

Dia juga ngulangin kalimat paling memuakkan, “Ngomong sama kak Irma ningkatin kualitas sastra.” Sebenernya sastra begituan mah lumrah, makanya kalau nanti saya jadi sastrawan, saya mau jadi sastrawan yang ilmiah. Kan latar belakangnya dari IPA, harus dimanfaatin dong. Minimal kayak Andrea Hirata deh, sastrawan ilmiah.

Yang ketiga, si Nesya, sesepuh dari SD. Nggak nyangka ternyata pengaruh sastra bisa ada sama dia. Jadi gini ceritanya, malam itu saya lagi nggak ada kerjaan. Dan sayapun ngesms dia.
I : apa ya? yang jelas kamu itu seperti pelampiasan ceritaku yang aneh2
N : Oh jadi aku cuma pelampiasan. Oh teganya u,u
I : T___T yaudah aku janji gak akan ngomong yang aneh-aneh lagi
N : Aku ga nyangka aku cuma di jadikan sebagai pelampiasan hikks #drama
I : bukankah kamu menikmatinya?
N : Ya, cerita-cerita ‘tidak biasa’mu selalu menemani perjalanan kita berdua ke sekolah
I : ya, dan bagaimanakah ketika 3 hari ini kamu tidak mendengar ceritaku, tidakkan kamu merindukannya?
N : ya, aku rindu. 3 hari ini aku berjalan ke sekolah sendirian. kecuali saat hari pertama, aku bersama kak santi (tunggu-tunggu, kenapa si santi mulu sih?) dan apakah kamu juga merindukanku, kak? haha
I : oh…pelampiasanku, tentu saja.. setiap berjalan aku selalu menoleh ke belakang, berharap tiba-tiba kamu muncul..dan tiap melewati gang rumahmu itu, tak hanya aku, bahkan angkot kuning itu juga menunggumu #hahahahah
N : hahahaha. Numpang ngakak dulu. begitupun aku. aku berharap di angkot tabing yang aku tumpangi, ada dirimu duduk di sana. ah tapi ternyata, setiap pagi aku hanya bertemu beberapa orang anak SMA 2. Oh, aku tidak mengira angkot kuning pun sampai menungguku. aku terharu. #brb nangis di pojokan.
I : ah…setiap haripun aku berharap agar terlambat, biar bisa ketemu kamu..ah tapi aku memendam saja hal yang ingin aku ceritakan. #hahahha, udah deh dek…ngakak banget ini
N : Haha iya udah tu, jarang-jarang aku puitis.

Eh..tunggu dulu, ini kok kayak lesbian ya? Wah amit-amit deh. Tapi emang beneran, puisi itu bisa merasuki seseorang. Bukan kerasukan ya! That’s all. Dan kenapa gaya penulisan ini kembali ke-SD? Sebenarnya saya nggak tahu mau nulis apa lagi, tiba-tiba plung! Buntu! 
Read More … Perjalanan Sebuah Puisi Menuju Hatimu

Kembalilah Pada Duniamu

Pernah berusaha memasuki dunia orang lain? Tentu saja maksudnya bukan dunia lain, jangan mikir yang macam-macam. Seperti hokum alam, suatu hal pasti memiliki sebab dan akibat. Seperti hokum Newton III, tentunya memasuki dunia seseorang juga memiliki dampak positif dan negative terhadap diri kita sendiri.

Saya misalnya, mencoba memasuki dunia orang lain, terkadang menguras waktu, pikiran, dan perasaan. Dalam hal ini, saya ingin mundur saja. Baiklah, mari membahas aspek-aspek yang ada yaitu perasaan, pikiran, dan yang terakhir waktu. Anggap saja saya memasuki dunia teman saya sendiri.

Aspek pertama yaitu perasaan. Jadi ingat tentang ‘feed back’, Tentu saja dalam pertemanan kita membutuhkan perhatian dari teman kita tersebut. Terkadang jika kita sudah setulus hati memberi kasih sayang padanya, mungkin saja kita bertanya-tanya, “Tidak adakah sedikit balasan untukku?” Ini wajar, mengingat kita adalah manusia, kita teman dia, bukan ibunya—yang kasihnya sepanjang jalan. Sesuatu yang menguras perasaan dan hati, sungguh melelahkan menunggu feed back yang entah kapan datangnya.

Aspek kedua yaitu pikiran. Ayolah, seberapa banyak orang yang dimabuk cinta menghabiskan waktunya untuk memikirkan kekasihnya tersebut? Satu jam, dua jam, tiga jam, dua puluh empat jam? Jangan-jangan sampai mimpi pun terbawa-bawa. Hal yang kita rasakan selelu membuat kita berpikir, tentu saja dikecualikan pada seseorang yang mau peduli. Kebanyakan berpikir juga membuat gundah alias galau loh, makanya pikiran juga perlu dikontrol. Berpikir tentang apa misalnya? Tanyakan saja pada hatimu, mungkin begini. Kamu berpikir jam berapa dia buka facebook atau twitter, apa dia sudah makan, atau sedang tidur, apa yang dia pikirkan sekarang? Banyak sekali macamnya.

Terakhir ini yang sangat riskan, yaitu waktu. Banyak orang yang menghabiskan waktunya dengan sia-sia cuma karena satu hal yang dianggapnya paling baik. Bermula dari perasaan yang menimbulkan pikiran dan menghabiskan waktu tadi. Beruntunglah yang masih bisa mengendalikan waktunya, yang tidak? Bersiap-siaplah menghabiskan waktumu dengan sia-sia. Saya kadang juga begitu. Maka dari itu, sebenarnya pedui pada seseorang itu tidak harus menghabiskan perasaan, pikiran, dan waktu. Semua ada kadarnya, jika tidak bisa menjalankan semuanya secara seimbang, lebih baik melakukan semua dengan sewajarnya, jangan dipaksakan.

Kembalilah pada duniamu, jangan terlalu memaksakan diri untuk memasuki pikiran seseorang, tidak akan bisa. Jalani semua dengan sewajarnya, jangan berlebihan.
Read More … Kembalilah Pada Duniamu

Berhenti Berharap dan Merendahkan Orang Lain


Cinta. Apakah cinta adalah sebuah kebutuhan? Sepertinya iya, mencintai dan dicintai seperti sebuah kesatuan struktural dan fungsional untuk menjaga suatu keutuhan fungsi dari hati. Mengapa demikian? Tentu saja karena hati membutuhkan asupan gizi yang dinamakan kebahagiaan. Munafik jika ada orang yang tak butuh bahagia. Kejam sekalikah dengan kata ‘munafik’? Sebenarnya bukan munafik, tetapi pemikiran yang suangguh aneh.

Mencintai? Definisinya menurut kamus entah berantah, “Mencoba memberikan suatu perasaan tanpa mengharapkan feed back untuk rasa itu.” Feed back? Terkadang mengharapkan feed back terlalu besar membuat seseorang itu kecewa, karena yang diharapkan tak kunjung memberi apa yang diingini. Feed back bisa dibilang sebagai suatu balasan, balasan perasaan lebih tepatnya. Tetapi seperti yang diutarakan di atas tadi, bukan cinta namanya jika mengharapkan feed back. Lantas, apakah kita bisa mencintai tanpa merasa dicintai? Tidak, perasaan itu akan timpang. Tapi percayalah, terlalu banyak orang-orang yang mengasihi kita tanpa kita sadari, dan sesungguhnya mereka juga mengharapkan feed back dari kita walaupun cuma sedikit saja.

Masih ingat dengan hukum Newton yang menyatakan tentang Gaya Aksi Reaksi? Percayalah bahwa F Aksi = -F Reaksi. Setiap gaya yang diberikan pada benda pasti mendapat balasan dari benda itu. Termasuk juga hati manusia, karena manusia lebih daripada benda mati yang hanya bisa memberi reaksi. Reaksi dari hati manusia bisa berlipat ganda, mungkin saja tidak ditunjukkan secara langsung. Makna filosofisnya, gaya—sekecil apapun yang kita berikan pada suatu benda—pasti akan mendapat reaksi. Begitu pula halnya manusia—sekecil apapun perasaan yang kita berikan pada seseorang—pasti akan mendapat balasan. Hanya saja balasan yang kita dapatkan belum sesuai dengan kadar yang kita butuhkan. Karena itu, kita hanya butuh sabar! Dan menunggu!

Berhentilah berharap pada orang lain yang mungkin belum bisa memberi feed back sesuai kadar yang kita ingini, berharaplah hanya pada Tuhan. Yakinlah Tuhan melihat setiap perbuatan baik yang kita lakukan, cepat atau lambat kita akan mendapat balasan, tentunya sesuai kadar pekerjaan kita. Sangat banyak orang-orang yang jatuh karena kekecewaan, mungkin karena mereka tidak mendapat feed back tadi? Begini, sebenarnya manusia itu banyak tipikalnya. Tak selamanya hukum Newton III tadi berlaku. Apalagi di dunia nyata, masih banyak orang-orang yang tidak mempedulikan cinta yang datang pada mereka. Maka pada orang-orang tersebut, efek Hukum Newton III agak sukar bereaksi. Tetapi cuma waktu yang bisa menjawabnya. Teruslah berikhtiar dan berdoa.

Sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita terkadang menjadi kesalahan. Percaya? Tidak semua orang yang kita cintai bisa kita terima baik dan buruknya. Lantas apakah kita akan mempermasalahkan keburukan orang lain? Sementara di dunia ini tak ada yang sempurna, yang ada hanya menutupi ketidak sempurnaan. Bukankah mencintai itu apa adanya?

Berhentilah berharap dan merendahkan orang lain. Terima semuanya dengan lapang dada, niscaya kita bisa berdamai dengan keadaan. 
Read More … Berhenti Berharap dan Merendahkan Orang Lain

Pengalaman Seorang Anak Kecil Yang Bertemu Pengarang-Pengarang Besar

Boleh dibilang menulis adalah hobiku. Bukan sekedar hobi, menulis juga membantuku dalam masalah ekonomi dan lebih dari itu membuatku bahagia. Menulis itu tanpa ambisi, sama seperti belajar menulis, tetapi lewat hati. Jika anda menulis dan belajar menulis dengan hati, niscaya ilmu anda akan tumbuh dan berkembang dengan baik.

Belajar menulis itu perlu. Jika ditanya dengan siapa belajar menulis, banyak modelnya. Bisa belajar dari internet, seminar, buku, jurnal ilmiah, atau dengan guru. Kalau saya memanfaatkan kombinasi dari semua itu, dan betapa beruntungnya saya bisa belajar dengan penulis-penulis hebat. Alhamdulillah nama-nama itu adalah mas Boim Lebon (penulis Lupus kecil dan penulis cerpen), Om Yusrizal Kw (Redaktur Padang Ekspress sekaligus guru saya di Sanggar Pelangi dulu), Bang Andrea Hirata (penulis tetralogi Laskar Pelangi dan dwilogi Padang Bulan), Mbak Naning Pranoto (penulis buku Telaga Inspirasi Menulis Fiksi), Pak Nirwan Dewanto (redaktur sastra Koran TEMPO, dan penulis antologi puisi Buli-Buli Lima Kaki), Bang Ahmad Fuadi (penulis trilogi Negeri 5 Menara) dan masih banyak lagi kakak-kakak dan teman-teman yang mengajari saya menulis seperti Kak Ria Febrina, Kak Maghriza Novita Syahti, Bang Dodi Prananda, Denada Florencia Leona, dan orang-orang yang menyebut saya teman.

Baiklah 80% saya bisa mengikuti semua itu adalah karena ikut seminar. Kebanyakan free payment, atau kadang acaranya memang terbuka untuk umum. Seperti contohnya hari ini, mari kita sharing untuk menceritakan apa yang telah terjadi di hari Minggu ini. Let’s check this out!

Pagi hari itu semua berjalan seperti biasanya. Matahari merambatkan sinarnya, ibu-ibu berangkat ke pasar, dan saya berangkat les. Hari itu saya sudah tahu bahwa Ahmad Fuadi akan datang ke Padang, maka dari itu saya sangat ingin mengikuti Talk Show-nya yang katanya diadakan di TB Gramedia. Jam 08.30 saya berangkat dari rumah, dan kira-kira 30 menit kemudian saya sudah sampai di sana. Belum ada siapa-siapa, Gramedia masih sepi, tapi sudah ada beberapa orang yang berbelanja dan mendaftarkan diri untuk ikut Casting Film Negeri 5 Menara. Di sana saya mendapat informasi bahwa casting dimulai pukul 11.00 dan talk show dimulai pukul 15.00. Karena terlalu lama, saya memutuskan untuk les dulu dan kembali lagi jam 13.00.

Nah di tempat les ini saya bertemu dengan Miss X (tidak mau disebutkan namanya) yang katanya juga ingin ikut talk show tersebut. Anehnya pada hari itu kami sangat stress. Misalnya saja saya, sudah H-4 ujian semester, dan tiba-tiba saya sangat bosan untuk belajar. Apapun mata pelajarannya, meski sudah berulang kali membaca, saya merasa mumet dan tidak mau melanjutkan. Bahkan ketika sudah istirahat juga begitu, tetap tak ada niat untuk belajar, pikiran tak fokus dan menerawang, dan tubuh mudah lelah.

Oh baiklah, aku pergi dengan Miss X ke gramedia. Sebelumnya kami makan siang dulu, dank arena saya lagi bokek, Miss X membeli hot dog yang kami bagi dua. Hahaha, kami seperti anak kos yang kehabisan uang di tengah jalan. Akhirnya kami jalan ke gramedia, dan menemukan bahwa casting sedang dilaksanakan. Untuk mengisi waktu, kebetulan saat itu masih sekitar jam 2, kami membaca buku dan duduk di kursi resepsionis. Dan tiba-tiba Miss X bertanya-tanya pada Mbak yang ada di kasir tentang casting itu. Kebetulan saya yang masih pusing lebih memilih membaca (saya membaca buku Tour Kematian dan Seluk Beluk Kematian, miris sekali ya). Tiba-tiba pula Miss X meminjam buku Negeri 5 Menara yang saya bawa. Ya sudah, saya suruh saja ambil di tempat penitipan barang.

Sekembalinya Miss X dari lantai satu, dia langsung mengambil formulir pendaftaran casting dan mengisinya. Hahaha, dia ingin ikut casting itu. Saya tidak menyangka! Baiklah saya meletakkan buku aneh yang saya baca itu dan menemani dia menunggu di ruang casting lantai 3. Miss X jadi sibuk beradegan seperti Sarah (dalam novel Negeri 5 Menara), sibuk memperagakan gaya Sarah, meniru gayanya dalam berdialog, dll. Tapi kebanyakan adalah tertawa, ya dia sendiri tertawa melihat aktingnya, dan saya juga. Sementara itu suara kami agak besar di sana karena kami paling gugup, saya juga disuruh Miss X untuk ikut casting tapi saya menolak, saya tak mau bikin malu. Dan saya risih karena ada seseorang yang memperhatikan gerak gerik saya, hahaha. Mungkin dia lucu melihat ekspresi kami.

Dan tiba-tiba saja saya mendengar suara dari lantai bawah. Ternyata talk show dengan Ahmad Fuadi sudah dimulai. Wah, saya langsung menarik Miss X untuk ke bawah. Tanpa memperhatikan nomor lot casting, kami langsung turun ke bawah dan memperhatikan Ahmad Fuadi. Tentu saja kami senang, bulan Februari saya membaca novelnya, dan di Bulan Mei saya bertemu penulisnya. What an amazing day!

Karena terlalu ramai, kami cuma bisa menyaksikan dari samping, itupun berdesakan. Beruntungnya saya karena bisa bertanya (Haha, mungkin karena mbak yang jadi moderator itu adalah mbak yang ngobrol dengan kami di meja kasir tadi), Mbak moderator itu langsung menunjukku untuk pertanyaan kedua. Saya langsung bertanya, “Assalamualaikum, nama saya Irma Garnesia, saya ingin bertanya kepada Uda Ahmad Fuadi, jika kita sedang mentok saat belajar, apa yang harus kita lakukan?”

Dia langsung menjawabnya. Ringkasnya dia mengatakan bahwa mencoba belajar itu sangat baik, meskipun harus mentok. Dan hal pertama yang harus dilakukan adalah menyadari kementokkan itu. Selanjutnya baru mengatasinya. Cara mengatasinya adalah beralih ke hobi lain, misalnya main musik, menulis, dsb. Cara kedua adalah datangi rumah sakit malas (baca novel Ranah 3 Warna), dan yang ketiga adalah mencari pesaing. Tetapi lebih dari itu, dia mengapresiasi karena saya mau belajar, dan orang yang tidak belajar tidak akan pernah merasa mentok dalam proses belajarnya.

Selanjutnya, Bang Ahmad Fuadi membahas tentang proses menulis. Sebelum menulis, kita harus menjawab pertanyaan ini, “Why I am writing?” Kita harus tahu apa tujuan kita dalam menulis, dengan begini stamina akan lebih kuat, menurut Bang Fuadi sendiri, beliau menulis adalah untuk ibadah. Barulah kita menulis, dan yang kedua, “What I am writing?” Tentunya kita harus tahu apa yang akan kita tulis, dan yang pasti tulislah sesuatu yang kita kenali dan kita suka. Ketiga, menulislah dengan konsisten. Kalau Bang Fuadi sendiri biasanya menulis setelah selesai sholat Shubuh, biasanya satu halaman per hari. Dan yang terakhir, bacalah banyak buku.

Terakhir tentunya sesi foto-foto dan tanda tangan. Setelah antri dan mendapat tanda tangan, aku dan Miss X juga antri lagi. Hahahaha, kami ingin sharing dan bertanya tentang banyak hal. Aku sendiri bertanya tentang cara menerbitkan buku, dan akhirnya kami berfoto lagi. Sungguh cara yang cerdik.

Yang jelas, itu adalah hari yang indah, karena aku merasa lebih baik hari itu. Pelajaran moral yang kudapat adalah mendapat petuah secara langsung dari penulis buku bahkan lebih kuat sugestinya ketimbang hanya membaca bukunya.

Terakhir aku bertemu guruku, Om Yusrizal KW, dan teman-teman inioke.com. Mereka pasti tak akan ketinggalan berita semenarik itu. Setelah bersalaman dan ngobrol, aku dan Miss X memutuskan untuk pulang, dan betapa sialnya karena kartu penitipan barang yang kami punya hilang, dan kami harus berurusan dulu dengan security. But, it still be the amazing day.
Read More … Pengalaman Seorang Anak Kecil Yang Bertemu Pengarang-Pengarang Besar

Pepatah yang Tumpah ke Dadaku

Tiba-tiba saja malam ini aku merasa sangat berdosa. Tapi untunglah Tuhan menyadarkanku lewat sesuatu. Tiba-tiba hp-ku bergetar dan beberapa pesan masuk secara bersamaan. Isinya sempat membuatku kaget dan nyaris terperanjat. Isinya menyatakan bahwa seseorang yang tidak kusangka telah memenangkan sebuah lomba yang impossible buatku. Ah, tetapi siapa yang menyangka, Tuhan telah menakdirkan semuanya, dan semuanya tiba-tiba menjadi pisau yang siap menikam dadaku.

Kira-kira sebulan lalu, kalau aku tak salah, aku sempat memberi semangat pada seseorang atas kompetisi yang akan diikutinya. Aku memberinya semangat dan motivasi, dan membantunya mendapatkan informasi dan pengalaman dari peserta tahun lalu. Dari sana terlihat ia sangat gundah dan gelisah, dan aku menyangka bahwa ia tak akan bisa memenangkannya. Bahkan aku menyangka bahwa ia hanya sia-sia mengikuti itu semua.

Ah, betapa bodohnya aku telah berpikir seperti itu. Tampang bukan menjadi penentu seseorang akan berhasil atau tidak, siapa yang menyangka? Dia lulus dan memenangkan kompetisi itu. Dia mengirimiku sms malam ini, mengucapkan terimakasih atas motivasi yang telah aku berikan dulu. Dan saat itu juga perasaanku jadi campur aduk.

Tahukah kau Kawan suatu pepatah yang sangat indah, “Don’t Judge a Book By It’s Cover!” Terasa sangat menarik dan simple, tetapi artinya sangat menohok ke jantung, karena ini kualami secara langsung. Tuhan telah memberiku pelajaran lewat dia. Ah, aku memang bukan manusia sempurna. Terkadang kesombongan dan keangkuhan membuatku meremehkan orang lain, padahal ternyata mereka punya kompetensi lebih dariku. Fatal! Ini terjadi dua kali, bahkan sebenarnya hampir berkali-kali, tetapi aku baru bisa mengambil kesimpulannya sekarang. Tetapi sungguh aku sangat bersyukur karena aku bisa mengambil hikmah dari semua ini, akhirnya aku belajar dari semua ini. Sungguh beruntung orang-orang yang belajar dari pengalaman yang melesat-lesat.

Jujur saja, sebelumnya aku meragukan kemampuannya. Aku mengira dia takkan memenangkan kompetisi itu. Aku menilai dari segi kepercayaan dirinya. Dia kurang percaya diri, tetapi bahkan dia mengutarakan bahwa dia memperoleh motivasi dariku, dan dia berterimakasih untuk itu. Betapa munafiknya aku, di satu sisi aku bilang ini, tapi di sisi lain aku bilang hal berbeda. Sebenarnya aku tak tahu harus bilang apa, tiba-tiba saja ingatanku tentang hal yang telah lama-lama itu berserakan kembali. Apa aku harus bilang padanya, “Maafkan aku sempat meragukan kemampuanmu.” Apakah aku harus bilang itu, lalu apa yang akan dijawabnya?

Sejujurnya aku merasa sangat bersalah dan berdosa. Seharusnya aku menyadari bahwa setiap orang terlahir dengan bakat dan kemampuannya masing-masing. Sesuatu yang terlihat buruk di mata kita mungkin adalah kelemahannya, tetapi ternyata dia memiliki sisi positif lebih dari yang kita bayangkan. Mau tak mau kita harus menerima hal itu, kita harus bisa menerima setiap kelemahan orang lain. Inilah satu kesalahan memandang sisi negative dari seseorang. Well guys! Be positive and Don’t Judge a Book By It’s Cover!
Read More … Pepatah yang Tumpah ke Dadaku

#1
Kebaruan adalah sebuah kesalahan? Benarkah? Baru saja akhir-akhir ini aku memakai seragam baru, pemberian ibu. Sebab ibu aku itu malu, melihat bajuku yang memudar, seperti anak yang tak pernah diurus. Maka jadi saja, hari Senin dan selasa itu aku memakai seragam baru—sebagai pengganti seragamku yang telah satu setengah tahun tak diganti itu.

Tapi ada yang salah. Sebab semua orang memperhatikan perubahanku itu—dari yang memudar, sampai putih sekali. Aku diledek, seperti seorang anak yang ketahuan mencuri uang temannya. Mulai dari sekelas, sampai semesta sekolah sepertinya mengetahui perubahan aku itu. Mereka meledekku dengan bilang, “Baju baru! Baju baru!” berulang-ulang sampai aku muak dan beranjak pergi dari hadapan mereka. Atau kadang aku malah menyuruh mereka diam, jika tidak? Seperti option nomor satu, aku enyah saja dari hadapan mereka.

Pendahuluan yang tidak berarti bukan? Haha, memang tidak terlalu penting mengurusi semua ini. Tapi aku mengambil dua kesimpulan di sini. Pertama, tentu saja mereka sangat peduli padaku—paling tidak pada perubahan lingkungannya. Kedua, mereka  terlalu berlebihan. Betapa tidak, baju baru saja sampai harus bilang seperti itu. Besok apalagi yang baru? Sepatu baru, hp baru, laptop baru? Muka baru? (hahaha).

Sekali lagi, ini tidak penting. Tetapi perlu untuk digubris.

#2
Baru saja beberapa minggu yang lalu ekstrakurikuler yang kupimpin mengeluarkan sebuah majalah hasil kerja kami selama 3 bulan kurang lebih. Tentu saja tiba-tiba aku banyak jadi bahan pergunjingan teman-teman satu sekolah. Mengapa? Sebab baik buruknya majalah itu tergantung pada kerjaku yang ugal-ugalan itu. Hahaha. Tiba-tiba pula facebook-ku penuh dengan friend request yang tidak kutahu siapa usernya. (Ini beneran loh, aku tidak bohong! hahaha).

Ada satu hal yang mengagetkanku. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena ungkapan dari adik kelas yang merupakan tetanggaku itu. Kemarin dia bilang seperti ini
“Kak, kemarin papa dan mamaku ngomongin majalah sekolah kita loh. (nama majalah disamarkan, hehehe)”
“Benarkah, apa kata mereka?” Ucapku dengan nada penasaran.
“Mereka tanya, ini majalah siapa? Lalu aku jawab saja, ‘itu majalah sekolahku’ ”
“Oh ya, bagus sekali!”
“itu saja?” Kataku dengan nada kecewa.
“Mereka juga melihat daftar redaksinya. Mereka juga bertanya, siapa pimrednya?”
“Kak Irma, tetangga kita itu, yang ketemu pagi-pagi itu…anak ibu itu…” (nama ibu dan tempat harus disamarkan, hhehehe)
“Oh iya, yang itu ya? Haha, dia memang pintar…”
“Lanjut saja mereka memuji kakak sampai aku bosan mendengarnya!”
*
Hahaha, aku terpingkal melihat anak itu bercerita dengan polosnya. Bahkan aku sendiri tak pernah dipuji sedikitpun oleh orang tuaku. Kalau boleh bilang, orang tuaku malah tidak tahu menahu tentang majalah sekolah ini. Sedikit pun aku tidak pernah memperlihatkan hasil karyaku itu pada mereka, sebab mereka takkan banyak berkomentar, malah menyuruhku berhenti melakukan aktivitas ini dan belajar.

Maka dari itu, segala aktivitas jurnalistik dan kegiatan tulis menulis aku buang jauh-jauh dari pandangan mereka. Novel-novel dan buku-buku yang kubaca kubuang jauh dari pandangan mereka. Oleh sebab itu pula aku sangat bahagia mendapat pujian dari orang tua anak itu, ternyata masih ada yang menghargai majalah yang biasa-biasa saja itu.

Sebenarnya inti dari masalah ini satu saja (inti dari masalah ini baru terpikir dua hari setelahnya olehku) yaitu ‘orang tua tidak ingin memuji anak mereka di hadapan sang anak!’. mengapa/ Tentulah ini sangat ganjil. Jawabannya adalah karena orang tua tetap ingin menjaga hati si anak, agar tidak membusung saat mendengar pujian. Tentu saja demikian halnya dengan orang tuaku.

Mereka malah membicarakan kebaikan orang lain pada anak mereka dengan tujuan agar si anak meniru orang yang dimaksud, bahkan harusnya bisa berbuat lebih baik lagi. Tipe motivasi yang aneh, tetapi harusnya si anak bisa mengambil kesimpulan dari perbuatan orang tua yang seperti itu.

Sekali lagi, ini cuma pemikiran tak penting.

03-04-2011
Read More …

Penyair Memang (terlalu) Peka

Seorang penyair sepertinya memang dilahirkan dengan sebuah indera yang berlebih, atau perasaan peka yang berlebih jika tidak dapat dikatakan dengan indera. Sepertinya aku memilikinya—walaupun untuk saat ini aku tak memiliki rasa puisi yang besar. Halah, sok sekali aku bilang punya rasa puisi, bahkan sepertinya aku terlalu tega meninggalkan puisi di tengah jalan, menangis sendiri.

Seorang penyair apalagi wanita memang memiliki perasaan yang peka, bahkan mungkin orang yang tak terkait dengan puisi bisa merasakan hal yang sama, dan menuliskannya adalah jalan terbaik—sebab tak semua orang memiliki jalan untuk menceritakannya. Katarsis, itulah nama bekennya. Aku memilih puisi sebagai tempat katarsis, bersunyi-sunyi sendiri dengan puisi. Memendam memang menyakitkan, sudahlah.

Intinya aku ingin menceritakan tiga hal yang seharusnya tak mengganggu pikiran dan belajarku malam ini. Kalau remaja zaman sekarang bilangnya ‘galau’, hehe tapi aku tak mau meng-klaim diriku sebagai galauers. Sebab menurutku galau itu masih satu spesies dengan kesedihan, dan kesedihan adalah kawan setan. Maka dari itu aku tak mau terjebak dalam tipu muslihat setan yang terkutuk itu, dan berdalih bahwa perasaan tak penting macam ini hanyalah sebuah kepekaan belaka.

#1
Pertama, aku memang tak suka menunggu. Lebih tepatnya, setiap aku mencoba tepat waktu, maka disanalah aku akan menunggu. Tadi aku menunggu adik kelas yang akan menemaniku ke Bank sampai empat jam. Aku berjanji dengan dia jam sepuluh dan dia baru datang jam dua. Haha, aku sempat kaget karena slip penarikan yang akan kami gunakan ternyata hilang di tangan dia—aku dan dia akan mengambil uang untuk keperluan organisasi sekolah. Maka dari itu, slipnya perlu diurus kembali dan perlu tanda tangan Pembina, sehingga kami harus menunggu Pembina sampai habis zuhur.

Tidak masalah, jam 10 aku terpaksa ngalong di toko buku dan membaca 3 bab novel sekaligus. Lumayan baca gratis, jam 11.30 aku ampai di sekolah dan dilarang masuk karena tidak memakai baju seragam, peraturan macam apa ini?

#2
Sehabis azan zuhur berkumandang, dan sang pembuat peraturan telah pergi, aku lantas masuk lobby sekolah dan belajar matematika. Setiap orang melihatiku dengan aneh dan meng-klaim bahwa aku anak rajin. Apa yang salah dari belajar? Sebab dia bilang bahwa dia alergi melihatku belajar. Itulah yang membuatku tak betah di sekolah sebenarnya, lebih enak belajar sendiri di rumah, bekennya home schooling.

Karena tak mengerti dan kebetulan ada guru PL yang lagi magang, aku bertanya padanya. Ada beberapa hal yang tak kusuka dari kedua guru PL yang kebetulan lagi nongkrong sambil online di lobby itu. Pertama, sebenarnya dia ogah-ogahan mengajariku belajar LIMIT. Mungkin aku disangka pengganggu karena mengusik keseriusannya yang sedang online. Tapi untunglah, adik kelasku yang lain menyuruhnya untuk mengajariku dan dia bersedia. Aku tak suka cara dia mengajari, sejujurnya. Dia hanya mengajari kulit-kuitnya yang aku sudah mengerti, selain itu dia juga terburu-buru seperti aku ini tak begitu penting—sekolah macam apa ini, tak mau membantu murid sendiri yang sedang kebingungan?

Okelah, dia pergi karena akan mengajar tambahan dan aku bisa mengerti. Selanjutnya, tinggallah aku dan beberapa teman yang sibuk dengan laptop mereka, juga seorang lagi guru PL laki-laki. Dia bertanya padaku, “Belajar LIMIT untuk apa?” Aku jawab saja, “Ya untuk mid semester, pak.” Dalam hati aku agak risih dengan pertanyaan macam ini, apa salah ya bertanya seperti itu—apa karena dia bukan guruku? It’s so freak! dia bertanya lagi dan lagi, “Kok yang dipelajari soal SPMB?” Aku bilang saja, “Kan standar belajar kita untuk SNMPTN, bukan sekedar untuk UN!” Dia tidak ngomong lagi.

Dia bertanya lagi, “Tadi ngeliat Pak Arif nggak, apa beliau sudah datang?” Belum sempat aku menjawab, dia sudah ngomong lagi, “Pasti nggak tau Pak Arif yang mana kan?” Aku merasa dia merendahkanku saja, mentang-mentang Pak Arif itu pindahan jadi aku yang kelas XI dan tidak belajar dengan beliau ini tidak mengetahuinya? Aku tidak sebodoh itu. Aku jawab saja, “Tau kok Pak, dan dari tadi beliau sudah datang.” Dan dia terkooh! Omonganku tentu saja tidak tanpa bukti, aku berhasil menunjukkan yang mana Pak Arif tepat di depan dia, dan dia bagai kerbau yang dicucuk hidungnya di depan Pak Arif, dengan segala hormat dia membuntuti guru matematika itu.


#3
Aku ke bank bersama adik kelasku itu. Setibanya di sana dan mengutarakan maksud dan tujuan, seorang petugas menyuruhku untuk langsung ke teller. Belum sempat aku ke teller, seorang lagi mendatangiku.
“Mau ngapain dek?”
“Mau ngambil uang kak, untuk keperluan ekskul!”
“Maaf dek, tapi brangkas kita sudah tutup!”
“Bukannya tutup jam 3 ya kak?”
Aku tau dia berdalih, dia malah menjawab dengan alasan yang lain
“Uang untuk SMA 1 sedang tidak bisa diambil karena sedang dibekukan, besok masalah keuangan akan dibicarakan dengan kepala sekolah baru.”
Seorang bapak-bapak datang, malah bilang hal lain yang tidak berhubungan sama sekali.
“Maaf dek, tapi uangnya dipindahkan ke bank lain, untuk sementara. Karena pergantian jabatan ini, sementara yang memegang uang adalah bendahara sekolah!”
“Tolonglah pak, ini untuk pelunasan pencetakan majalah, apakah kami harus berhutang ke percetakan?”
“Memangnya berapa yang akan diambil?”
“Sekian…”
“Apa tidak bisa ditunda besok?”
“Ini bukan masalah seberapa banyak uangnya, tapi ini masalah hutang! dan hutang harus dibayar”
“Kalau lebih sedikit dari itu bagaimana?”
“Tapi pak, percetakannya sudah menunggu sejak hari Jumat, dan ini sudah hari Selasa. Dimana muka kami mau diletakkan?”

Perdebatan macam ini tidak menyelesaikan masalah, akhirnya kami hanya mengambil jumlah yang sedikit disbanding yang seharusnya. Daripada tidak. Dari sini aku mengambil beberapa kesimpulan. Pertama, tentu saja masalah keuangan memang masalah yang vital, tak bisa diganggu gugat, dan kini masalahnya terletak di sana. Walaupun mereka mengutarakan alasan yang masuk akal, tapi tidak buatku. Cobalah pikir, alasan mana yang paling benar? “Brangkas yang sudah tutup, pergantian jabatan kepala sekolah, atau malah pemindahan uang ke bank lain?” Terlihat sekali mereka tidak konsisten dalam memilih alasan, aku bukan orang bodoh yang bisa percaya begitu saja. Pertama, Bank selalu tutup jam 3, kecuali di hari Jumat, bank akan tutup pukul 02.30. Sekarang tiba-tiba jam 2 sudah tutup, padahal pegawai pertama yang kutemui malah menyuruhku untuk langsung ke teller. Sungguh aneh! Kedua, jika memang akan ada pembicaraan mengenai dana sekolah, mengapa kami tidak bisa mengambil uang? Apa hubungannya antara pengambilan uang dengan pergantian jabatan? Ketiga, jika memang uang dipindahtangankan ke bendahara sekolah, mengapa Pembina kami tidak mengatakannya? Bukankah kami baru saja dari sekolah mengambil slip penarikan tersebut?—Kebetulan yang mengurus slip adalah adik kelasku, aku juga tidak melihat Ibu Bendahara itu tadi, tapi pasti beliau ada di sana. Lalu, apakah beliau tidak mengetahui masalah ini? It’s freak!

Beberapa hal terasa aneh hari ini. Dan aku cuma bisa maklum karena tidak ingin mengurusi pikiran macam ini lagi.

bersambung saja…
Read More … Penyair Memang (terlalu) Peka

Catatan Kecil Part II

#1
Kebaruan adalah sebuah kesalahan? Benarkah? Baru saja akhir-akhir ini aku memakai seragam baru, pemberian ibu. Sebab ibu aku itu malu, melihat bajuku yang memudar, seperti anak yang tak pernah diurus. Maka jadi saja, hari Senin dan selasa itu aku memakai seragam baru—sebagai pengganti seragamku yang telah satu setengah tahun tak diganti itu.

Tapi ada yang salah. Sebab semua orang memperhatikan perubahanku itu—dari yang memudar, sampai putih sekali. Aku diledek, seperti seorang anak yang ketahuan mencuri uang temannya. Mulai dari sekelas, sampai semesta sekolah sepertinya mengetahui perubahan aku itu. Mereka meledekku dengan bilang, “Baju baru! Baju baru!” berulang-ulang sampai aku muak dan beranjak pergi dari hadapan mereka. Atau kadang aku malah menyuruh mereka diam, jika tidak? Seperti option nomor satu, aku enyah saja dari hadapan mereka.

Pendahuluan yang tidak berarti bukan? Haha, memang tidak terlalu penting mengurusi semua ini. Tapi aku mengambil dua kesimpulan di sini. Pertama, tentu saja mereka sangat peduli padaku—paling tidak pada perubahan lingkungannya. Kedua, mereka  terlalu berlebihan. Betapa tidak, baju baru saja sampai harus bilang seperti itu. Besok apalagi yang baru? Sepatu baru, hp baru, laptop baru? Muka baru? (hahaha).

Sekali lagi, ini tidak penting. Tetapi perlu untuk digubris.

#2
Baru saja beberapa minggu yang lalu ekstrakurikuler yang kupimpin mengeluarkan sebuah majalah hasil kerja kami selama 3 bulan kurang lebih. Tentu saja tiba-tiba aku banyak jadi bahan pergunjingan teman-teman satu sekolah. Mengapa? Sebab baik buruknya majalah itu tergantung pada kerjaku yang ugal-ugalan itu. Hahaha. Tiba-tiba pula facebook-ku penuh dengan friend request yang tidak kutahu siapa usernya. (Ini beneran loh, aku tidak bohong! hahaha).

Ada satu hal yang mengagetkanku. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena ungkapan dari adik kelas yang merupakan tetanggaku itu. Kemarin dia bilang seperti ini
“Kak, kemarin papa dan mamaku ngomongin majalah sekolah kita loh. (nama majalah disamarkan, hehehe)”
“Benarkah, apa kata mereka?” Ucapku dengan nada penasaran.
“Mereka tanya, ini majalah siapa? Lalu aku jawab saja, ‘itu majalah sekolahku’ ”
“Oh ya, bagus sekali!”
“itu saja?” Kataku dengan nada kecewa.
“Mereka juga melihat daftar redaksinya. Mereka juga bertanya, siapa pimrednya?”
“Kak Irma, tetangga kita itu, yang ketemu pagi-pagi itu…anak ibu itu…” (nama ibu dan tempat harus disamarkan, hhehehe)
“Oh iya, yang itu ya? Haha, dia memang pintar…”
“Lanjut saja mereka memuji kakak sampai aku bosan mendengarnya!”
*
Hahaha, aku terpingkal melihat anak itu bercerita dengan polosnya. Bahkan aku sendiri tak pernah dipuji sedikitpun oleh orang tuaku. Kalau boleh bilang, orang tuaku malah tidak tahu menahu tentang majalah sekolah ini. Sedikit pun aku tidak pernah memperlihatkan hasil karyaku itu pada mereka, sebab mereka takkan banyak berkomentar, malah menyuruhku berhenti melakukan aktivitas ini dan belajar.

Maka dari itu, segala aktivitas jurnalistik dan kegiatan tulis menulis aku buang jauh-jauh dari pandangan mereka. Novel-novel dan buku-buku yang kubaca kubuang jauh dari pandangan mereka. Oleh sebab itu pula aku sangat bahagia mendapat pujian dari orang tua anak itu, ternyata masih ada yang menghargai majalah yang biasa-biasa saja itu.

Sebenarnya inti dari masalah ini satu saja (inti dari masalah ini baru terpikir dua hari setelahnya olehku) yaitu ‘orang tua tidak ingin memuji anak mereka di hadapan sang anak!’. mengapa/ Tentulah ini sangat ganjil. Jawabannya adalah karena orang tua tetap ingin menjaga hati si anak, agar tidak membusung saat mendengar pujian. Tentu saja demikian halnya dengan orang tuaku.

Mereka malah membicarakan kebaikan orang lain pada anak mereka dengan tujuan agar si anak meniru orang yang dimaksud, bahkan harusnya bisa berbuat lebih baik lagi. Tipe motivasi yang aneh, tetapi harusnya si anak bisa mengambil kesimpulan dari perbuatan orang tua yang seperti itu.

Sekali lagi, ini cuma pemikiran tak penting.

03-04-2011
Read More … Catatan Kecil Part II

Perspektif Yang Bodoh


Dari sisi mana engkau hendak melihat aku? Sudah tiga hari ini aku mempelajari asam basa, yang korosif dan kaustik. Tetapi untunglah aku fleksibel, kapan saja aku bisa menjadi asam, basa, amfoter, atau bahkan netral.

Terkadang aku berpikir, kenapa manusia tidak diciptakan dengan satu sifat saja? Sehingga ia bisa dinilai dengan sekali lihat. Tapi Tuhan begitu mulia untuk menciptakan manusia dengan 1001 sifat, sehingga ia bisa bertahan sejuta derita dan nestapanya masing-masing. (Mungkin juga dengan kepura-puraan dan kebohongan)

Manusia itu amfoter, layaknya air. Kita tak pernah tahu kapan ia akan bersifat asam atau basa. Terkadang ia bisa sangat berguna (seperti sifat basa yang digunakan untuk mencuci) atau malah merusak, seperti asam yang bisa mengkaratkan logam.

Ambil saja contohnya aku. Jika engkau membaca puisiku, mungkin engkau bisa menangkap kesenduan, kebodohan, dan keputusasaan dari sana. Tetapi jika engkau telah bertatapan denganku, mungkin engkau tidak akan percaya (bahwa ternyata aku lebih mirip pelawak daripada penyair). Hahaha, dalam segala hal aku bisa berubah.

Aku memang sering menuliskan kesedihan dan air mata. Ia begitu menggoda. Namun aku bukanlah orang yang selalu bersedih dan putus asa, meski ini begitu sering terjadi. Dalam beberapa hal aku lebih ingin menghapusnya dengan tawa. Aku lebih suka tertawa dan melakukan hal gila, juga membuat orang tertawa. Sebab duka dan derita akan selalu ada, lebih nikmat diseduh dengan secangkir tawa. Akan menghasilkan perpaduan yang sempurna.

Aku pernah memasang di twitter, bahwa aku membenci ketidakjujuran dan kecurangan. Tapi aku sering hidup dalam kebohongan. Menjadi lakon yang menderita karena kebohongan, dan kadang terpaksa menjadi pembohong yang ulung. Lantas, apakah aku munafik? Bukankah manusia bersifat amfoter?
Dalam beberapa hal, mungkin saja aku membencimu. Tapi aku tak akan mengatakannya. Lantas apakah aku munafik? Bukankah manusia bersifat amfoter? Jadi, siapa yang munafik? Aku atau kau?

Read More … Perspektif Yang Bodoh

Negeri 5 Menara, Vitamin Jiwa Yang Tebal

Kalau dahulu saya bisa bilang bahwa membaca buku-buku tebal itu adalah membosankan, sekarang saya menyesal pernah menyatakan hal itu. Kenapa? Ternyata saya salah besar selama ini. Setelah saya memutuskan untuk menekuni dunia tulis menulis, saya mulai mengerti mengapa membaca dijadikan sebagai salah satu syaratnya. Dimulai dari menulis puisi, saya memboyong hampir semua antologi puisi tunggal ataupun antologi puisi ramai-ramai. Zaman berubah dan saya mulai tertarik menulis cerpen, lalu bertebaranlah kumcer-kumcer menarik di rumah. Begitu juga ketika memulai menulis novel (di awal karir kepenulisan) saya membutuhkan beberapa novel teenlit, berbagai buku pengetahuan, nonton TV yang banyak, dan pastinya inspirasi yang berlebih setiap hari.
Kini, saya mengerti setelah memulai menulis esai di akhir tahun 2010 dan rutin di tahun 2011 ini. Setelah begitu banyak lomba menulis esai yang ditawarkan di internet, saya mencoba mengikutinya satu-persatu. Karena pertamanya nggak punya inspirasi dari kisah nyata (kebetulan waktu itu sedang menulis tentang kejujuran) maka saya membuka kembali novel lama saya. Demi Allah Aku Jadi Teroris, menjadi salah satu novel yang saya baca kembali. Dengan sebuah kemauan, saya menamatkan novel itu dalam sehari. Walaupun tidak ada pesan tersirat tentang kejujuran, saya memuji diri sendiri karena bisa menamatkan sebuah buku dalam sehari.
Pengembaraan saya dalam novel berlanjut. Kebetulan waktu itu novel Ranah 3 Warna sedang populer. Beberapa teman yang suka membaca bertriyun buku sudah memilikinya. Kebetulan aku beruntung karena dapat membacanya. Seseorang menertawaiku, “Hey…kalau mau baca Ranah 3 Warna, sebaiknya kamu baca Negeri 5 Menara dulu biar nyambung!” Maka berkat kebaikan hati seseorang, aku dapat pinjaman Negeri 5 Menara.
Hari Minggu jam 8 pagi, aku mendapatkan buku ini. Dan menamatkannya dalam waktu 6 hari. Mungkin memang agak lama (sebab aku terjebak antara waktu yang tidak pernah memberi kelonggaran). Haha, hidupku berubah drastic selama 6 hari ini (semoga seterusnya juga begitu). Sebelum membaca buku ini aku adalah seseorang yang sangat lemah. Mudah guncang dan goyah. Pikiranku dapat saja dirasuki oleh berbagai hal negative, aku sangat mudah tertekan dan menganggap segala sesuatu sebagai beban, aku juga sering bersedih, menempatkan diriku pada posisi sulit, dan pastinya aku bukanlah pribadi yang bisa dikenal dalam sekali lihat.
Aku nggak tahu apa saja perubahan yang telah diberikan buku ini padaku. Yang jelas, hidupku merasa adem ayem akhir-akhir ini. Dengan berbagai kesibukan seperti tanggung jawab untuk menyelesaikan majalah sekolah, deadline sebagai koordinator humas Buku Tahunan, anggota bidang dana SMAPSIC6+JR2, menyelesaikan selebaran untuk SMAPSIC6+JR2, jurnalis di harian Singgalang, penulis lepas di inioke.com, dan pastinya pelajar yang setiap hari menunggui sekolahnya. Biasanya dengan kesibukan seperti ini saja aku sudah merasa stress, tapi entah kenapa aku nyantai saja.
Well, hatiku memang bergetar setiap kali membaca mantra man jadda wa jada, apalagi di penghabisan novel ini. Entah seperti apa sentruman yang diberikan novel ini, entahlah. Yang jelas semuanya terasa beres. Ibadahku terasa beres, pikiranku menuju arah positif, dan hidupku berubah perlahan menjadi ideal.
Memang, di pertengahan novel ini, aku merasa novel ini tak memiliki permasalahan yang berarti. Cerita yang disuguhkan di sini benar-benar cerita nyata, tidak terlalu banyak gejolak yang ditimbulkan kecuali di awal dan menuju akhir. Tapi mungkin itulah yang memberikan ketenangan, karena emosi kita tak memburu selama membacanya. Malah mungkin berapi-api saat membaca berbagai motivasi yang ada di dalamnya.
Di novel ini juga aku menemukan keidealisan yang mungkin tak akan pernah ada di dunia nyata (dramatis sekali). Misalnya saja keikhlasan, kejujuran, kesungguhan, dan menghargai waktu sangat diajarkan di sini. Beda banget dengan kehidupan biasa yang penuh kebohongan, nafsu, kemunafikkan, bahkan juga menyia-nyiakan waktu. Huft…aku ingat beberapa tulisanku yang sangat menggelisahkan, namun aku menemukan jawabannya di sini.
Viel Gluck deh buat yang sudah membacanya. Semoga larut dalam buku bervitamin yang tebal ini. Mari melanjutkan pengembaraan dengan Ranah 3 Warna. 
Read More … Negeri 5 Menara, Vitamin Jiwa Yang Tebal

Kebodohanku Yang Tidak Bisa Memilih

Aku tulis ini bukan untuk membanggakan diri, bukan untuk memamerkan siapa aku, tapi hanya untuk menyatakan sebuah kebingungan atau mungkin kebodohan.

Akhir-akhir ini aku sering sekali menulis dan membaca. Setiap waktu luang di malam hari selalu kugunakan untuk membaca. Buku yang akhir-akhir ini kubaca adalah Motivasi Dosis Tinggi, novel Negeri 5 Menara, La Tahzan, dan novel Demi Allah Aku Jadi Teroris. Dan akhir-akhir ini pun aku seperti terjebak dalam ruang lingkup seminar. Jika hari Sabtu lalu aku menghadiri bedah buku Nirwan Dewanto, maka siang tadi aku mengikuti seminar Hot Issues di sekolah. Bersama teman-teman dari ekskul English Community, teman-teman dari seekolah lain, beberapa guru, dan pastinya Mrs. Barbara.

Seminar yang satu ini pun terlihat instan kuikuti. Ceritanya pagi itu aku akan belajar matematika di kelas Sosiologi (sedikit aneh?). Lalu melihat kerumunan di TRRC Room (ruangan yang biasa digunakan sebagai aula), dan sekejap mata aku telah berada di antara kerumunan itu. Aku tak mengetahui jika akan ada seminar tentang Hot Issues di sana, sehingga aku jadi kurang update. Karena tertarik, aku mengikutinya. Mengisi namaku di daftar hadir, dan meminta izin pada guru yang sedang mengajar di kelas (juga mengisi sendiri surat izin di kelas). Dalam sepersekian menit aku telah duduk manis di ruangan itu.

Aku banyak bertemu teman lama. Tentu saja mereka juga baru bertemu denganku hari ini (sebenarnya kota ini cukup luas, aku sudah bertemu dia hampir setahun). Aku bergabung dengan kelompok 4 (Group 4), dengan tema poverty.  Diskusi dimulai oleh Mrs. Barbara, setelah sebelumnya ada embel-embel dari kepala sekolah.

Dari sini aku menyadari kebodohanku. Jika dulu Bahasa Inggris adalah kebiasaan (yang dipaksakan) bagiku, maka kini berbeda. Banyak sekali kosakata Mrs. Barbara yang tidak kuketahui. Apalagi setelah aku memutuskan untuk QUIT dari lembaga kursus Bahasa Inggris. Kemampuanku berbahasa asing semakin luntur. Sehingga aku terlihat seperti orang bodoh dalam diskusi ini. Aku sadar, kemampuan akan semakin memudar jika tidak diasah, ini terbukti. Jika dulu aku paling senang berdiskusi dengan Bahasa Inggris, men-translate sesuatu apapun itu, maka kini kebiasaan itu nihil kulakukan. Inilah imbasnya.

Kebodohan keduaku ini yang paling menohok ke jantung. Aku tahu, dari dulu kemampuanku menyerap pelajaran selalu seimbang. Walaupun ternyata nilaiku dalam pelajaran social jauh lebih tinggi. Group yang kutumpangi tadi membahas tentang poverity, aku memulai diskusi dengan Bahasa Inggris yang kacau dan ugal-ugalan. Beruntungnya teman-teman di sana cukup mengerti kelemahanku dan membiarkanku terkadang berbicara dalam Bahasa Indonesia. Membahas tentang kemiskinan, kepercayaan pada pemerintah, keuletan dari rakyat miskin, pemerintah yang sakit mental, obrolanku dengan mereka merambah sampai pada pengangguran tak kentara, KKN, dan otoda. Aku tak tahu kenapa bisa mengingat pelajaran SMP ini.

Diskusiku dengan adik kelas X makin menjadi-jadi saat group yang lain memulai presentasi. Pembahasan mereka bermacam-macam, mulai dari HIV AIDS, EDUCATION, CLIMATE WEATHER, PEACE, dll. Ada dua hal yang aku ingat, pertama adalah pembahasan tentang ‘kedamaian’ dan ‘hiv aids.’ Dalam presentasi tentang kedamaian kelompok kami berhasil membuat pertanyaan tentang fungsi PBB. Kira-kira pertanyaannya begini, “Sejak berdirinya PBB tanggal 28 Desember 1948, saat itu sengketa antara Indonesia dan Belanda masih merajalela, lantas apakah fungsi PBB demi menjaga perdamaian dunia?” Pertanyaan itu ditukar dengan mengubah topik, “Apakah PBB menjalankan fungsinya sebagai perserikatan bangsa-bangsa saat adanya sengketa antara Israel dan Palestina? Bahkan Israel sebenarnya bukan sebuah negara, melainkan segelintir kelompok yang mencari daerah untuk konstitusi mereka.” Tapi sayangnya pertanyaan kami yang bagus ini tidak jadi perdebatan karena kelompok lawan telah menyelesaikan diskusinya.

Tapi kami tidak menyerah. Pertanyaan tentang sex education membantu kami, “Kapan seharusnya pendidikan sex diberikan? Apakah pada masa pubertas? Sedangkan remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga mereka mencari informasi tersebut secara diam-diam sehingga timbul salah persepsi dan miss komunikasi.” Kami tak ingin kehilangan kesempatan untuk bertanya lagi. Aku sendiri sampai berdiri dan mengacungkan tangan demi bertanya. Untungnya dewi fortuna sedang berada di pihak kami sehingga kami bisa bertanya dengan puasnya.

Aku jadi mengambil kesimpulan yang mungkin adalah sebuah kebodohan, “Apakah keputusanku untuk memilih IPA salah? Sementara ternyata aku senang berdebat baik itu secara logis atau tidak logis.” Atau, “Apakah aku bodoh sehingga mempunyai pikiran picik seperti ini! Keaktifan dalam berdiskusi mungkin bukanlah penanda apakah orang itu lebih berbakat ke IPS.” Mungkin aku saja yang terlalu cepat mengambil kesimpulan ataukah ini ada benarnya? 
Read More … Kebodohanku Yang Tidak Bisa Memilih

Pikiran Absurd dan Tak Absurd (2 Februari 2011)

Bisa dibilang hari ini adalah segala puncak dari amarah dan rasa kesal saya. Tapi dari sekian banyak pikiran yang mendidih di kepala saya, dan membuat seluruh badan saya meleleh, saya masih bisa menuliskan lelehan demi lelehan tersebut ke dalam catatan-catatan kecil ini. Semoga yang membaca tidak merasa tersindir, marah, dan bisa mengambil hikmah dari pikiran-pikiran nyeleneh namun bukan fiktif belaka ini.

#1
Individualitas. Saya ingin bercerita tentang beberapa orang yang hidup dalam kesendirian. Mereka adalah orang-orang pintar dan intelektual yang diletakkan dalam suatu kelas. Setiap orang yang melihat mereka mungkin akan menghormatinya, setiap orang yang mengenalnya pasti akan mengakui kehebatannya tersebut. Tapi sayang, mereka hidup dalam kesendirian dan individualitas. Misalnya A hanya berteman dengan B dan C, begitu juga dengan D yang hanya berteman dengan E, dan F. Lalu bagaimana dengan Z yang misalnya tak dekat dengan keduanya? Mungkin Z bukanlah orang yang bisa dibanggakan dari segi apapun, sebut saja dia adalah seorang introvert. Tentu saja akan sulit baginya untuk menjalin pertemanan. Jadi bagaimana? Haruskah Z diabaikan?

Inilah yang ingin saya sebut sebagai individualitas tadi. Dimana seseorang yang hanya bergaul dengan orang-orang yang disenanginya saja, lalu megngabaikan orang-orang yang tidak dibutuhkannya. Tetapi lain halnya dengan orang lain yang masih mengharapkan bantuannya tersebut. Mungkin hanya kerelaan hati dari keduanya yang dapat membuat mereka bersatu.

#2

Sulitnya menjadi orang yang idealis. Karena ternyata bumi Indonesia ini tak lagi menjunjung keidealisan. Bahkan orang-orang idealis akan tergusur oleh orang-orang yang tidak berkomitmen. Karena saking banyaknya pelanggaran demi pelanggaran yang terjadi, baik itu pelanggaran kecil atau besar sekalipun, ini membuat tatanan dalam masyarakat berubah drastis.

Contohnya saja, on time. Jujur saya katakan, Ketepatan waktu sangat diabaikan di negeri ini. Tak usah jauh-jauh, dari sekolah saja dulu. Misalnya jadwal berkumpul yang ditentukan oleh ekstrakurikuler X adalah pukul 13.00 WIB, tapi ternyata ngaret sampai 15 menit. Memang ngaret 15 menit adalah hal yang biasa. Dalam konteksnya, telat 15 menit itu sudah biasa, kan cuma 15 menit. Akh! Tapi saya membenci keterlambatan (walaupun saya juga pernah melakukannya), bagi saya, tidak ada yang namanya tenggang waktu. Tepatilah janji sekarang atau tidak sama sekali. Now or never, right?

#3

Baru saja siang tadi aku curhat dengan teman seprofesiku di OSIS. Kita ceerita banyak, mulai dari kekesalan-kekesalan kita di sekolah, pada guru, sarana dan prasarana, juga tentang berbagai komponen-komponen yang mengecewakan di sini. Jujur saja, sebelum curhat, aku sangat ingin membanting seseorang dari shelter, atau mungkin dari lantai 3. Tapi setidaknya, curhatku dengannya membuatku sedikit lebih tenang. Mungkinaku akan berbagi intisari dari permasalahan yang kami bagi.

Pertama, kami menceritakan tentang kurikulum yang sangat mengecewakan ini. Perubahan pada kurikulum ini membuat semua siswa menjadi kesusahan. Simak saja misalnya beberapa hal yang menyalahi aturan seperti : fungsi guru yang telah tergantikan oleh internet dan media pembelajaran yang lain (atau mungkin guru lebih menyukai cara seperti ini?), kebiasaaan mencontek yang membuat perbedaan nilai yang sangat signifikan antara siswa pintar dan siswa bodoh, tingkat kerajinan yang menurun drastis (misalkan saja, sejak SD, dan SMP aku tak pernah cabut, tapi sejak SMA aku mulai cabut, walaupun cuma cabut ke perpustakaan untuk belajar MIPA, atau mengerjakan PR dan tugas lain), juga tentang siswa yang lebih suka mengerjakan PR di sekolah. Padahal ketika eSDe dulu, aku akan mengerjakan PR di semak-semak apabila lupa membuat PR (agar tak ketahuan oleh teman-teman dan guru).

Memang mungkin ini terdengar sepele, apalagi poin-poin terakhir itu. Tapi jujur saja, nilai-nilai yang bergeser tersebut membuatku muak. Ingat tidak ketika SD, kita lebih suka ujian dengan mengutamakan kejujuran, bahkan kita menutup kertas ujian kita supaya tidak dilihat orang lain. Tapi sekarang apa yang terjadi? Aku merasa kebiasaan jujur ini mulai menurun sejak UN SD. Dimana para guru mengajarkan kita untuk membantu kelulusan teman yang lain (dalam beberapa hal aku setuju, jika ini dalam keadaan terdesak seperti UN tersebut), tapi ini menjadi budaya baru bagi kita yang telah duduk di bangku SMP,  (hampir setiap ujian nyontek, kan? Syukur deh yang tidak melakukannya, dan membiarkan nilai kejujuran tidak tergerus zaman)
Aku juga tak tahu sebenarnya, kenapa tiba-tiba jadi pergeseran nilai-nilai seperti ini. Kalau dahulu, seorang anak SD akan sangat malu apabila tidak belajar sebelum ujian, tapi sekarang apa jadinya? Yang belajar pasti disebut idiot, dan tidak gaul. (Gaul itu konotasinya negative loh! hehe), pasti dibilang bagus kan kalau tidak belajar? Apakah ini juga dampak dari perubahan kurikulum? (Oh ya silahkan baca tulisan saya tentang Kurikulum yang berubah di Indonesia ^^)

Setelah membaca part 3 ini, saya tidak berharap anda menghentikan langkah anda untuk membaca, tapi teruslah membaca. Siapa tahu anda bisa memberikan solusi dari masalah yang tidak pelik ini. Saya juga berharap anda tidak menertawakan kebodohan saya ini, karena mungkn suatu hari nanti saya juga akan menertawakan anda.

#4

Rabu siang hari itu, aku memilih cabut dari kelas dan mampir ke perpustakaan. Tapi nasib memang malang, karena ternyata si bapak pegawai pustaka sudah ingin pulang. Oleh karena itu, aku dan dia (kebetulan aku membawa makhluk yang bernama manusia) melancong di lantai 3. Banyak kelas yang kami kelilingi. Akhirnya kami berhenti pada satu kelas dan melihat-lihat kelas tersebut.

Seperti biasa, pajangan dinding di kelas tersebut selalu membuatku penasaran. Apalagi pajangan tentang cita-citanya. Aku jadi melongo karenanya. Kenapa? Karena 100% siswanya bercita-cita menjadi dokter. Yah walaupun mereka memasang cita-cita ganda, tapi tetap saja aku melongo.

Aku memang bukan orang yang gampang terpengaruh, apalagi soal cita-cita (bahkan sampai sekarang aku masih memilah-milah profesi yang sesuai denganku). Pernah seorang teman bercerita padaku, 30 orang mahasiswa kedokteran itu berasal dari kelas dan SMA yang sama. Aku melongo, dan dia juga. AKu tak kagum, dan dia kagum. Mungkin ia menyukai profesi itu, tapi tidak denganku.

Lantas, jika seluruh siswa di kelas ini menjadi dokter, dan dari sekolahku ini sebagiannya juga menjadi dokter, berapakah dokter masa depan? Lantas, siapa yang sakit?

Berhenti membicarakan ini. Mungkin jalan kita berbeda, aku memang tidak ada bakat di bidang kesehatan. Mungkin engkau akan berkata, (lebih baik mempunyai cita-cita, daripada dirimu yang tidak memiliki, Irma!).

Suatu hari aku akan menemukannya. Selamat saja untuk mereka yang sudah memiliki cita-citanya. Menurutku cita-cita adalah sesuatu yang begitu lurus dan ideal. Bagiku menemukan suatu keidealan itu tidak mudah, butuh pencarian dan penafsiran yang begitu lama. Bukan yang instan dan terlintas di kepala. Kenapa? Sebab aku terlalu memikirkan konsekuensi tentang apa yang akan kuambil nanti.

Satu saja janjiku, aku akan menjabat tanganmu sepuluh tahun lagi bukan sebagai pecundang!
Read More … Pikiran Absurd dan Tak Absurd (2 Februari 2011)
Copyright 2009 Aqueous Humor. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy