Prolog Novel


Jakarta, Januari 2011
Keseluruhan ruangan ini berwarna putih, termasuk ornamen-ornamennya. Lihatlah, sprei, bantal, selimut, semua berwarna putih. Mungkin yang berbeda hanyalah gorden, sofa, dan karpet. Beberapa orang yang tak kukenali tertidur di sofa. Mungkin mereka letih, entahlah. Ada wanita paruh baya berwajah keibuan dan seorang perempuan muda usia 30-an yang terlelap di sofa cokelat itu. Sementara itu, di sebelahku termenung seorang lelaki muda. Dari perawakannya, ia terlihat lebih muda dariku. Rambutnya yang tidak terlalu panjang terlihat berantakan, sesuai dengan mukanya yang kusut, dan kantung matanya yang membesar. Barangkali ia kurang istirahat. Aku menolehkan kepala ke arahnya. Dan seperti kaget akan sesuatu, ia terlonjak dari tempat duduknya dan berteriak-teriak, “Maa, Mas Alwin sudah sadar!”
Baiklah, ini siuman keduaku. Setelah yang pertama di tempat entah berantah itu. Tubuhku remuk, luka menganga di tangan dan juga kaki. Seperti jatuh dan terseret dari ketinggian 500 meter. Berteriak minta tolong? Percuma. Suaraku tertahan di tenggorokan. Kalaupun aku mencoba berteriak, yang keluar hanyalah rintihan kecil yang jangankan didengar manusia, tikus bawah tanah pun mungkin tidak mendengarnya.
Punggungku sakit, dan kakiku tak bisa digerakan. Selebihnya, pemandangan sekitar terlihat menyeramkan. Mayat bergelimpangan dimana-mana, pohon besar yang menutupi cahaya matahari, tanah lembab bercampur dengan daun busuk  dan ranting pohon, dan bangkai pesawat. Sementara itu aku menyadari perubahan yang aneh pada tubuhku. Hei, mana rambut panjangku? Tanganku yang luka di sana-sini berusaha mengelus-elus rambut pendek yang cepak itu. Ini siapa? Kini aku meraba wajah dan sekitaran leher. Ada apa ini? Mengapa ada yang menonjol di leherku? Dan...mana tahi lalat di pipi sebelah kiriku?
***
Suara terakhir yang kudengar adalah bisik cemas dari pramugari yang cantik itu, “Bagaimana jika pesawat ini jatuh? Bagaimana jika kita tidak selamat?” Dari suaranya, ia sepertinya cemas sekali.
“Kau tenanglah, yakin saja pada Kapten Hadi, dan jangan lupa berdoa.” Pramugari lain terlihat menenangkan temannya sembari menepuk-nepuk bahunya. Yang ditenangkan kemudian mengeluarkan senyum yang dipaksakan.
Sementara itu aku sudah siap dengan pelampung lengkap terpasang di tubuh. Komando terakhir dari Pilot adalah kemungkinan terburuk bahwa kita akan mendarat di laut. Aku berusaha menenangkan diri di bangku ketiga dari belakang, sementara teman di sebelahku terlihat gugup sembari melihat keluar jendela. Hujan deras dan cuaca buruk, itulah yang menyebabkan pesawat ini mengalami gangguan. Selain itu, menurut komando dari Pilot, mereka mengalami kerusakan pada alat bantu navigasi Inertial Reference System (IRC). Aku tak mengerti mesin dan dirgantara. Yang bisa kulakukan saat ini adalah berdoa dan menenangkan teman di sebelahku.
“Gi, lo ga apa-apa kan?” Aku melihatnya yang sedari tadi tak melepaskan pandangan dari jendela pesawat. Mungkin takut tiba-tiba pesawat ini jatuh atau kemungkinan buruk lainnya.
Ia menoleh dengan muka pucat, “Gue ga apa-apa, cuma sedikit mual aja.”
Aku tak yakin dengan ucapan ‘tak apa-apa’ itu. Pasti ada apa-apanya, hanya saja aku malas menyelidik. Sementara guncangan pesawat kembali terasa.
Suara pramugari itu kembali terdengar, bilang ada cuaca buruk dan berharap agar penumpang tetap siaga. Sia-sia, belum sampai lima menit, guncangan keras itu kembali terjadi. Kini terasa lebih keras. Seluruh penumpang panik, termasuk aku dan Gia. Tangannya sudah mencengkram lenganku, pertanda ia ketakutan. Sementara itu penumpang lain ada yang komat-kamit berdoa, memeluk anaknya, atau memicingkan mata. Aku sendiri bertumpu pada pegangan tangan di kursi pesawat. Keringat dingih menetes di dahi. Tak pernah terbayangkan akan mengalami kejadian seperti ini.
“Tuhaaan, selamatkan kami! Tolong selamaatkan kamiii….”
***
Lamunanku buyar. Lelaki muda di sampingku tadi kembali memanggil wanita paruh baya dan perempuan muda itu. Wanit paruh baya itu kelihatan kaget, lantas mengucek mata sebentar, lalu berlari ke arah tempat tidurku. Sementara gadis muda itu mengusap wajahnya setelah bangun, terlihat menggumamkan sesuatu, lalu tersenyum sambil berlari ke arahku. Kini mereka bertiga sempurna berdiri melihatku.
Ibu tua itu berujar pelan, “Alwin, kau sudah sadar?” Rona bahagia jelas terpancar di wajahnya, seperti mendapatkan sesuatu yang lama diinginkan.
“Alwin siapa?” Aku bergumam pelan, bingung dengan nama yang baru saja mereka sebutkan.
“Iya, Mas Alwin sekarang sudah sadar.” Lelaki muda itu kini cengengesan di hadapanku sambil memegangi meremas tanganku.
“Syukurlah, Dika, tolong panggilkan dokter.”
Wanita muda itu menyuruh lelaki muda yang ternyata bernama Dika memanggil dokter. Sementara aku masih berpikir, Alwin, siapa pula itu? Mana Gia? Apakah dia baik-baik saja?
Namun sebelum sempat mengucapkan apa-apa lagi, Dokter bersama perawat telah siap memeriksa keadaanku.

0 comments:

Posting Komentar

Copyright 2009 Aqueous Humor. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy