Kurikulum DI Indonesia ; "Kurikulum Berubah, SIswa Pasrah!"


Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.” Sejak tahun 1947, sudah ada 8 macam kurikulum dengan karakteristiknya masing-masing. Mari kita bahas satu-persatu. Let’s check this out!

Mulai dari Rencana Pelajaran 1947 yang mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani. Selanjutnya adalah Rencana Pelajaran Terurai 1952, kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran. Berlanjut pada Kurikulum 1968 yang menitik beratkan pada Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan. Lanjut lagi pada Kurikulum 1975, “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Ada sedikit peningkatan pada Kurikulum 1984 yang mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Belum puas sampai di sana, masih ada Kurikulum 1994 yang lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan. Mari lanjut pada Kurikulum 2004 yang beken disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Terakhir muncullah Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Baru definisi tentang kurikulumnya saja, paragrafnya sudah sepanjang itu. Apalagi jika diutarakan plus minusnya, dampaknya, dan pendapat siswa serta masyarakat luas tentang kurikulum kita yang berjibun itu. Lalu bagaimanakah tanggapan siswa/siswi yang telah menjadi kelinci percobaan kurikulum di Indonesia? Hilman Rizaldi berkobar-kobar mengutarakan pendapatnya, “Harusnya kalau mau bikin sistem kurikulum, mestinya pusat melakukan perubahan secara bertahap. Kalau melakukan revolusi seperti ini, siswa juga yang jadi korbannya,” pungkas siswa kelas XI IPS itu. Benar juga yang diutarakan Hilman tersebut, siswa baru menyesuaikan dengan satu kurikulum, tau-tau sudah berubah lagi. Begitu seterusnya menuju KTSP kini.

Senada dengan pendapat Hilman, Citra Devi Aulia juga menyatakan cuap-cuapnya, “Bagus sih diperbaharui terus, jadi kan ada inovasi-inovasi baru buat pendidikan. Tapi untuk KTSP sekarang masih kurang efektif, soalnya siswa sekarang terbiasa dicatatkan, diterangin secara detail. Akhirnya siswa lebih milih bimbel, karena belum puas cuma belajar di sekolah. Tapi masalahnya guru malah menganggap siswa lebih mementingkan bimbel daripada sekolah.”

Memang, bimbingan belajar sekarang lagi jadi tren si kalangan pelajar. Banyak siswa yang memilih ikut les atau bimbel ketimbang belajar sendiri di rumah. Malah ada yang lebih mengandalkan les ketimbang belajar di sekolah. Jika begini, muncul pertanyaan baru, “Kalau lebih mengerti dengan bimbel, apa gunanya sekolah?” Wah, kalau begini bisa-bisa sekolah bangkrut. Pendapat Citra perlu dipertimbangkan, karena ternyata bimbel pun baru menjadi fenomena sekitar tahun 2005 sampai 2006, bisa dibilang semenjak KTSP beredar.

Kritik pedas diajukan oleh Larissa Rahana Putri, “Kurikulum itu ganti setiap ganti menteri pendidikan? Berarti tiap menteri punya tujuan yang berbeda, bagus sih kalau tujuannya untuk kemajuan. Tapi bukannya boros ya? Kalau setiap kurikulum ganti, berarti bukunya juga ganti. Bayangkan kalau tiap tahun ganti, buku tahun ini masih sisa, eh udah ada buku baru, padahal materinya sama, cuma diacak.” Waw, memang banyak buku lama yang tak disentuh lagi oleh siswa, padahal isinya sangat bagus.

Masih banyak penuturan-penuturan lain yang menyatakan tidak kesetujuan terhadap kurikulum yang melulu berubah ini. Tapi memang benar, dari sekian banyak kepala yang menyatakan ketidak setujuannya, masih ada juga yang setuju terhadap hal ini. Salah satunya Denada Florencia Leona, “Sistem perubahan kita sampai sekarang belum benar-benar mengalami perubahan yang signifikan, faktanya sistem pendidikan di negeri yang kita cintai ini memang selalu berubah, tapi hampir pasti perubahan yang ada bukan ke arah positif, tapi terkesan datar atau berkisar itu-itu saja malah makin mundur. Jadi kita tak perlu complain dengan sistem yang berubah ini, karena perubahan itu memang perlu dilakukan selama suatu bangsa itu ingin maju sampai ia menemukan yang terbaik. Sayangnya saja perubahan di Indonesia hanya diam di tempat. Bagai pepatah Minang, ‘Samo jo indak, ancak indak lai!’.

Akhir kata, perubahan yang kita lakukan masih bersifat relatif. Sebagian orang ada yang setuju, dan sebagian lagi ada yang ingin merubahnya. Perubahan demi perubahan ini pun mengalami kontroversi di masyarakat. Akhirnya, siswa cuma bisa pasrah dan menerima segala yang terjadi di dunia pendidikan. Lantas, apa yang harus mereka lakukan? Toh demokrasi dan kebebasan mengemukakan pendapat seperti di pasal 28 itu tak mendapat perhatian besar. Lantas kalau seperti ini, mau dibawa kemana masalah ini?

0 comments:

Posting Komentar

Copyright 2009 Aqueous Humor. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy