Sekarang aku melihat rahasia pembuatan orang terbaik itu adalah untuk tumbuh di udara terbuka dan untuk makan dan tidur dengan bumi. – Soe Hok Gie
Bersatu dengan alam, itulah yang ingin kukatakan. Beruntung
karena kampusku, Universitas Padjadjaran masih mewajibkan mahasiswanya
mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). KKN dijadikan beban SKS dan kita patut
mensyukurinya. Tidak semua orang berkesempatan menyatu dan berselaras dengan
alam, merasakan kemurnian yang tidak kita dapatkan di kota.
Mungkin aku seperti orang norak yang menggilai
hal-hal alami. Aku bukan tak pernah mengalami ini sebelumnya, aku hanya suka
merasakan sensasi menyatu dengan alam yang kurindukan belakangan ini. Desa
Linggamulya di Tasikmalaya akan selalu kurindukan. Kealamian itu adalah hadiah,
yang akan hilang bila tak benar-benar dinikmati. Apakah kalian merindukan KKN
juga? Biar saja orang-orang menertawaiku. Mereka tidak tahu, hidup di kota bisa
mengubah kita.
Meskipun tersiksa karena tidak ada signal, jauh dari fasilitas modern,
mall dan mini market, desa menawarkan sesuatu yang dibutuhkan jiwa. Sebuah hal
yang alami; udara sejuk, bebas dari polusi, ingar bingar, dan keberisikan. Tak
bisa dipungkiri, kota membuat kita menjadi individualis, mengubah kita menjadi
orang yang kasar, cemas, dan penuh ketakutan. Sedikit sekali ruang kemanusiaan
di sana, sekejap saja di kota, kau akan berubah menjadi manusia yang berbeda.
Kadang aku berpikir, betapa nikmatnya ketika bangun tidur lalu
mencuci muka, menyeduh kopi, dan membaca koran. Tidak seperti sekarang, bangun
tidur lalu mengecek segala notifikasi handphone. Membaca linimasa dan kabar di
dunia maya. Di desa, hal-hal macam ini tidak bisa dilakukan karena keterbatasan
signal. Aku bersyukur akan hal itu, aku merindukan masa sebelum teknologi berkembang.
Terlalu lama dengan handphone tidak memanusiakan kita. Membuat kita tidak
menikmati sekitar dan tidak bebas ngobrol dengan lawan bicara.
Desa Linggamulya menawarkan hal yang benar-benar baru. Sebut saja
panen di sawah, menandur, menangkap belut, berpanas-panas, membajak sawah
berlumpur, dll. Aku membebaskan diri dan membiarkan kulit menghitam, merah, dan
iritasi. Hujan-hujanan, naik kolbak, bermain di kebun, mencari bambu di hutan,
dan mandi di mata air.
Mata air yang pernah kami kunjungi adalah Cimanggung. Ia merupakan mata
air yang menjadi surga bagi pertanian Desa Linggamulya. Mata air ini cukup jauh,
tidak dapat ditempuh dengan jalan kaki. Aku bersama teman-teman naik kolbak
untuk mencapai sampai di sana. Setelah turun dari kolbak, kami harus melewati
sawah, kebon, berbecek-becek, melewati ilalang, dan getah pohon, agar bisa
sampai disana. Air yang mengalir di Cimanggung sangat
dingin, cocok untuk melepaskan dahaga. Kami merendam kaki hingga membasuh muka
di sana. Konon, siapa yang membasuh muka di sana akan mendapat jodoh. Siapa
tahu?
Mata Air Cimanggung, Desa Linggamulya |
Pengalaman lain yang tidak boleh dilupakan adalah membajak sawah dan
panen. Pertama kali masuk ke sawah, kami
sempat ragu mencelupkan kaki ke tanah berlumpur tersebut. Namun salah seorang
teman kami, Fawzi, mencoba menaiki kerbau dan membantu membajak sawah. Kami
berteriak menyemangati dan kegirangan melihat aksi Fawzi. Ia sangat semangat
menaiki kerbau dan membajak sekeliling sawah.
Fawzi Membajak Sawah |
Proses Tanam Mundur |
Setelah sukses membajak sawah,
keesokan harinya kami ikut panen di Geger Hanjuang, salah satu dusun di
Linggamulya. Para petani cukup antusias melihat kami membantu panen. Dengan
sigap kami memotong padi dengan arit. Kami membagi pekerjaan, ada yang memotong
padi, membawa padi ke tempat perontokan, dan ngagebug (merontokkan padi dari
tangkainya).
Menyabit Padi Siap Panen |
Keringat bercucuran, terik matahari membakar
kulit, tangan iritasi, dan lelah. Kami yang belum profesional dengan sembrono memotong
seluruh padi yang ada. Padahal beberapa padi belum siap panen. Itulah akibatnya
ketika mahasiswa Fikom dan Ekonomi panen, belum ada pengalaman sama sekali.
Meskipun menghancurkan panen, kami paham hari itu, menjadi petani bukan sekedar
profesi, tapi juga merawat padi dengan penuh kesabaran.
Tidak hanya menjadi bolang di mata air dan sawah, kami juga pernah
menangkap belut, mengikat padi yang lepas, ikut pengajian warga, mengajar di
SD, membantu bidan di puskesmas, atau membantu industri moring dan kerupuk.
Kami senang melakukan hal-hal tersebut. Penduduk desa juga antusias melihat
kami turut serta membantu pekerjaan mereka. Otomatis rumah KKN yang kecil itu
selalu ramai oleh anak kecil yang bermain, ibu-ibu yang membawakan makanan, atau
karang taruna yang sekedar mengobrol.
Aku akan selalu merindukan masa-masa KKN itu. Tak
dapat dipungkiri, teman-teman dan masyarakat desa merupakan bagian dari proses pendewasaanku.
Banyak hal baru yang kupelajari, salah satunya adalah menyelaraskan diri dengan
alam.
Namun, waktu yang benar-benar kita nikmati itu sangat cepat
berlalu. Entah mengapa hal-hal yang indah begitu cepat menghilang. Rasanya
sedih ketika kembali ke kota dan kembali menjadi diri yang dulu, sebelum KKN.
Tidak ada lagi panen di sawah, bermain di mata air, menangkap belut, jalan-jalan
sore, atau pengajian di masjid. Boleh jadi aku tak akan mengalami suasana
seperti ini lagi. Tapi aku sangat berterima kasih karena pernah belajar di desa
itu. Desa yang menjadi inspirasi bagi tulisan ini, desa yang membuatku kembali
menjadi manusia. (*)
Irma Garnesia
Manajemen Komunikasi,
Fikom Unpad Bandung
0 comments:
Posting Komentar