#1
Kebaruan adalah sebuah kesalahan? Benarkah? Baru saja akhir-akhir ini aku memakai seragam baru, pemberian ibu. Sebab ibu aku itu malu, melihat bajuku yang memudar, seperti anak yang tak pernah diurus. Maka jadi saja, hari Senin dan selasa itu aku memakai seragam baru—sebagai pengganti seragamku yang telah satu setengah tahun tak diganti itu.
Tapi ada yang salah. Sebab semua orang memperhatikan perubahanku itu—dari yang memudar, sampai putih sekali. Aku diledek, seperti seorang anak yang ketahuan mencuri uang temannya. Mulai dari sekelas, sampai semesta sekolah sepertinya mengetahui perubahan aku itu. Mereka meledekku dengan bilang, “Baju baru! Baju baru!” berulang-ulang sampai aku muak dan beranjak pergi dari hadapan mereka. Atau kadang aku malah menyuruh mereka diam, jika tidak? Seperti option nomor satu, aku enyah saja dari hadapan mereka.
Pendahuluan yang tidak berarti bukan? Haha, memang tidak terlalu penting mengurusi semua ini. Tapi aku mengambil dua kesimpulan di sini. Pertama, tentu saja mereka sangat peduli padaku—paling tidak pada perubahan lingkungannya. Kedua, mereka terlalu berlebihan. Betapa tidak, baju baru saja sampai harus bilang seperti itu. Besok apalagi yang baru? Sepatu baru, hp baru, laptop baru? Muka baru? (hahaha).
Sekali lagi, ini tidak penting. Tetapi perlu untuk digubris.
#2
Baru saja beberapa minggu yang lalu ekstrakurikuler yang kupimpin mengeluarkan sebuah majalah hasil kerja kami selama 3 bulan kurang lebih. Tentu saja tiba-tiba aku banyak jadi bahan pergunjingan teman-teman satu sekolah. Mengapa? Sebab baik buruknya majalah itu tergantung pada kerjaku yang ugal-ugalan itu. Hahaha. Tiba-tiba pula facebook-ku penuh dengan friend request yang tidak kutahu siapa usernya. (Ini beneran loh, aku tidak bohong! hahaha).
Ada satu hal yang mengagetkanku. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena ungkapan dari adik kelas yang merupakan tetanggaku itu. Kemarin dia bilang seperti ini
“Kak, kemarin papa dan mamaku ngomongin majalah sekolah kita loh. (nama majalah disamarkan, hehehe)”
“Benarkah, apa kata mereka?” Ucapku dengan nada penasaran.
“Mereka tanya, ini majalah siapa? Lalu aku jawab saja, ‘itu majalah sekolahku’ ”
“Oh ya, bagus sekali!”
“itu saja?” Kataku dengan nada kecewa.
“Mereka juga melihat daftar redaksinya. Mereka juga bertanya, siapa pimrednya?”
“Kak Irma, tetangga kita itu, yang ketemu pagi-pagi itu…anak ibu itu…” (nama ibu dan tempat harus disamarkan, hhehehe)
“Oh iya, yang itu ya? Haha, dia memang pintar…”
“Lanjut saja mereka memuji kakak sampai aku bosan mendengarnya!”
*
Hahaha, aku terpingkal melihat anak itu bercerita dengan polosnya. Bahkan aku sendiri tak pernah dipuji sedikitpun oleh orang tuaku. Kalau boleh bilang, orang tuaku malah tidak tahu menahu tentang majalah sekolah ini. Sedikit pun aku tidak pernah memperlihatkan hasil karyaku itu pada mereka, sebab mereka takkan banyak berkomentar, malah menyuruhku berhenti melakukan aktivitas ini dan belajar.
Maka dari itu, segala aktivitas jurnalistik dan kegiatan tulis menulis aku buang jauh-jauh dari pandangan mereka. Novel-novel dan buku-buku yang kubaca kubuang jauh dari pandangan mereka. Oleh sebab itu pula aku sangat bahagia mendapat pujian dari orang tua anak itu, ternyata masih ada yang menghargai majalah yang biasa-biasa saja itu.
Sebenarnya inti dari masalah ini satu saja (inti dari masalah ini baru terpikir dua hari setelahnya olehku) yaitu ‘orang tua tidak ingin memuji anak mereka di hadapan sang anak!’. mengapa/ Tentulah ini sangat ganjil. Jawabannya adalah karena orang tua tetap ingin menjaga hati si anak, agar tidak membusung saat mendengar pujian. Tentu saja demikian halnya dengan orang tuaku.
Mereka malah membicarakan kebaikan orang lain pada anak mereka dengan tujuan agar si anak meniru orang yang dimaksud, bahkan harusnya bisa berbuat lebih baik lagi. Tipe motivasi yang aneh, tetapi harusnya si anak bisa mengambil kesimpulan dari perbuatan orang tua yang seperti itu.
Sekali lagi, ini cuma pemikiran tak penting.
03-04-2011