Perspektif Yang Bodoh


Dari sisi mana engkau hendak melihat aku? Sudah tiga hari ini aku mempelajari asam basa, yang korosif dan kaustik. Tetapi untunglah aku fleksibel, kapan saja aku bisa menjadi asam, basa, amfoter, atau bahkan netral.

Terkadang aku berpikir, kenapa manusia tidak diciptakan dengan satu sifat saja? Sehingga ia bisa dinilai dengan sekali lihat. Tapi Tuhan begitu mulia untuk menciptakan manusia dengan 1001 sifat, sehingga ia bisa bertahan sejuta derita dan nestapanya masing-masing. (Mungkin juga dengan kepura-puraan dan kebohongan)

Manusia itu amfoter, layaknya air. Kita tak pernah tahu kapan ia akan bersifat asam atau basa. Terkadang ia bisa sangat berguna (seperti sifat basa yang digunakan untuk mencuci) atau malah merusak, seperti asam yang bisa mengkaratkan logam.

Ambil saja contohnya aku. Jika engkau membaca puisiku, mungkin engkau bisa menangkap kesenduan, kebodohan, dan keputusasaan dari sana. Tetapi jika engkau telah bertatapan denganku, mungkin engkau tidak akan percaya (bahwa ternyata aku lebih mirip pelawak daripada penyair). Hahaha, dalam segala hal aku bisa berubah.

Aku memang sering menuliskan kesedihan dan air mata. Ia begitu menggoda. Namun aku bukanlah orang yang selalu bersedih dan putus asa, meski ini begitu sering terjadi. Dalam beberapa hal aku lebih ingin menghapusnya dengan tawa. Aku lebih suka tertawa dan melakukan hal gila, juga membuat orang tertawa. Sebab duka dan derita akan selalu ada, lebih nikmat diseduh dengan secangkir tawa. Akan menghasilkan perpaduan yang sempurna.

Aku pernah memasang di twitter, bahwa aku membenci ketidakjujuran dan kecurangan. Tapi aku sering hidup dalam kebohongan. Menjadi lakon yang menderita karena kebohongan, dan kadang terpaksa menjadi pembohong yang ulung. Lantas, apakah aku munafik? Bukankah manusia bersifat amfoter?
Dalam beberapa hal, mungkin saja aku membencimu. Tapi aku tak akan mengatakannya. Lantas apakah aku munafik? Bukankah manusia bersifat amfoter? Jadi, siapa yang munafik? Aku atau kau?

Read More … Perspektif Yang Bodoh

Negeri 5 Menara, Vitamin Jiwa Yang Tebal

Kalau dahulu saya bisa bilang bahwa membaca buku-buku tebal itu adalah membosankan, sekarang saya menyesal pernah menyatakan hal itu. Kenapa? Ternyata saya salah besar selama ini. Setelah saya memutuskan untuk menekuni dunia tulis menulis, saya mulai mengerti mengapa membaca dijadikan sebagai salah satu syaratnya. Dimulai dari menulis puisi, saya memboyong hampir semua antologi puisi tunggal ataupun antologi puisi ramai-ramai. Zaman berubah dan saya mulai tertarik menulis cerpen, lalu bertebaranlah kumcer-kumcer menarik di rumah. Begitu juga ketika memulai menulis novel (di awal karir kepenulisan) saya membutuhkan beberapa novel teenlit, berbagai buku pengetahuan, nonton TV yang banyak, dan pastinya inspirasi yang berlebih setiap hari.
Kini, saya mengerti setelah memulai menulis esai di akhir tahun 2010 dan rutin di tahun 2011 ini. Setelah begitu banyak lomba menulis esai yang ditawarkan di internet, saya mencoba mengikutinya satu-persatu. Karena pertamanya nggak punya inspirasi dari kisah nyata (kebetulan waktu itu sedang menulis tentang kejujuran) maka saya membuka kembali novel lama saya. Demi Allah Aku Jadi Teroris, menjadi salah satu novel yang saya baca kembali. Dengan sebuah kemauan, saya menamatkan novel itu dalam sehari. Walaupun tidak ada pesan tersirat tentang kejujuran, saya memuji diri sendiri karena bisa menamatkan sebuah buku dalam sehari.
Pengembaraan saya dalam novel berlanjut. Kebetulan waktu itu novel Ranah 3 Warna sedang populer. Beberapa teman yang suka membaca bertriyun buku sudah memilikinya. Kebetulan aku beruntung karena dapat membacanya. Seseorang menertawaiku, “Hey…kalau mau baca Ranah 3 Warna, sebaiknya kamu baca Negeri 5 Menara dulu biar nyambung!” Maka berkat kebaikan hati seseorang, aku dapat pinjaman Negeri 5 Menara.
Hari Minggu jam 8 pagi, aku mendapatkan buku ini. Dan menamatkannya dalam waktu 6 hari. Mungkin memang agak lama (sebab aku terjebak antara waktu yang tidak pernah memberi kelonggaran). Haha, hidupku berubah drastic selama 6 hari ini (semoga seterusnya juga begitu). Sebelum membaca buku ini aku adalah seseorang yang sangat lemah. Mudah guncang dan goyah. Pikiranku dapat saja dirasuki oleh berbagai hal negative, aku sangat mudah tertekan dan menganggap segala sesuatu sebagai beban, aku juga sering bersedih, menempatkan diriku pada posisi sulit, dan pastinya aku bukanlah pribadi yang bisa dikenal dalam sekali lihat.
Aku nggak tahu apa saja perubahan yang telah diberikan buku ini padaku. Yang jelas, hidupku merasa adem ayem akhir-akhir ini. Dengan berbagai kesibukan seperti tanggung jawab untuk menyelesaikan majalah sekolah, deadline sebagai koordinator humas Buku Tahunan, anggota bidang dana SMAPSIC6+JR2, menyelesaikan selebaran untuk SMAPSIC6+JR2, jurnalis di harian Singgalang, penulis lepas di inioke.com, dan pastinya pelajar yang setiap hari menunggui sekolahnya. Biasanya dengan kesibukan seperti ini saja aku sudah merasa stress, tapi entah kenapa aku nyantai saja.
Well, hatiku memang bergetar setiap kali membaca mantra man jadda wa jada, apalagi di penghabisan novel ini. Entah seperti apa sentruman yang diberikan novel ini, entahlah. Yang jelas semuanya terasa beres. Ibadahku terasa beres, pikiranku menuju arah positif, dan hidupku berubah perlahan menjadi ideal.
Memang, di pertengahan novel ini, aku merasa novel ini tak memiliki permasalahan yang berarti. Cerita yang disuguhkan di sini benar-benar cerita nyata, tidak terlalu banyak gejolak yang ditimbulkan kecuali di awal dan menuju akhir. Tapi mungkin itulah yang memberikan ketenangan, karena emosi kita tak memburu selama membacanya. Malah mungkin berapi-api saat membaca berbagai motivasi yang ada di dalamnya.
Di novel ini juga aku menemukan keidealisan yang mungkin tak akan pernah ada di dunia nyata (dramatis sekali). Misalnya saja keikhlasan, kejujuran, kesungguhan, dan menghargai waktu sangat diajarkan di sini. Beda banget dengan kehidupan biasa yang penuh kebohongan, nafsu, kemunafikkan, bahkan juga menyia-nyiakan waktu. Huft…aku ingat beberapa tulisanku yang sangat menggelisahkan, namun aku menemukan jawabannya di sini.
Viel Gluck deh buat yang sudah membacanya. Semoga larut dalam buku bervitamin yang tebal ini. Mari melanjutkan pengembaraan dengan Ranah 3 Warna. 
Read More … Negeri 5 Menara, Vitamin Jiwa Yang Tebal

Kebodohanku Yang Tidak Bisa Memilih

Aku tulis ini bukan untuk membanggakan diri, bukan untuk memamerkan siapa aku, tapi hanya untuk menyatakan sebuah kebingungan atau mungkin kebodohan.

Akhir-akhir ini aku sering sekali menulis dan membaca. Setiap waktu luang di malam hari selalu kugunakan untuk membaca. Buku yang akhir-akhir ini kubaca adalah Motivasi Dosis Tinggi, novel Negeri 5 Menara, La Tahzan, dan novel Demi Allah Aku Jadi Teroris. Dan akhir-akhir ini pun aku seperti terjebak dalam ruang lingkup seminar. Jika hari Sabtu lalu aku menghadiri bedah buku Nirwan Dewanto, maka siang tadi aku mengikuti seminar Hot Issues di sekolah. Bersama teman-teman dari ekskul English Community, teman-teman dari seekolah lain, beberapa guru, dan pastinya Mrs. Barbara.

Seminar yang satu ini pun terlihat instan kuikuti. Ceritanya pagi itu aku akan belajar matematika di kelas Sosiologi (sedikit aneh?). Lalu melihat kerumunan di TRRC Room (ruangan yang biasa digunakan sebagai aula), dan sekejap mata aku telah berada di antara kerumunan itu. Aku tak mengetahui jika akan ada seminar tentang Hot Issues di sana, sehingga aku jadi kurang update. Karena tertarik, aku mengikutinya. Mengisi namaku di daftar hadir, dan meminta izin pada guru yang sedang mengajar di kelas (juga mengisi sendiri surat izin di kelas). Dalam sepersekian menit aku telah duduk manis di ruangan itu.

Aku banyak bertemu teman lama. Tentu saja mereka juga baru bertemu denganku hari ini (sebenarnya kota ini cukup luas, aku sudah bertemu dia hampir setahun). Aku bergabung dengan kelompok 4 (Group 4), dengan tema poverty.  Diskusi dimulai oleh Mrs. Barbara, setelah sebelumnya ada embel-embel dari kepala sekolah.

Dari sini aku menyadari kebodohanku. Jika dulu Bahasa Inggris adalah kebiasaan (yang dipaksakan) bagiku, maka kini berbeda. Banyak sekali kosakata Mrs. Barbara yang tidak kuketahui. Apalagi setelah aku memutuskan untuk QUIT dari lembaga kursus Bahasa Inggris. Kemampuanku berbahasa asing semakin luntur. Sehingga aku terlihat seperti orang bodoh dalam diskusi ini. Aku sadar, kemampuan akan semakin memudar jika tidak diasah, ini terbukti. Jika dulu aku paling senang berdiskusi dengan Bahasa Inggris, men-translate sesuatu apapun itu, maka kini kebiasaan itu nihil kulakukan. Inilah imbasnya.

Kebodohan keduaku ini yang paling menohok ke jantung. Aku tahu, dari dulu kemampuanku menyerap pelajaran selalu seimbang. Walaupun ternyata nilaiku dalam pelajaran social jauh lebih tinggi. Group yang kutumpangi tadi membahas tentang poverity, aku memulai diskusi dengan Bahasa Inggris yang kacau dan ugal-ugalan. Beruntungnya teman-teman di sana cukup mengerti kelemahanku dan membiarkanku terkadang berbicara dalam Bahasa Indonesia. Membahas tentang kemiskinan, kepercayaan pada pemerintah, keuletan dari rakyat miskin, pemerintah yang sakit mental, obrolanku dengan mereka merambah sampai pada pengangguran tak kentara, KKN, dan otoda. Aku tak tahu kenapa bisa mengingat pelajaran SMP ini.

Diskusiku dengan adik kelas X makin menjadi-jadi saat group yang lain memulai presentasi. Pembahasan mereka bermacam-macam, mulai dari HIV AIDS, EDUCATION, CLIMATE WEATHER, PEACE, dll. Ada dua hal yang aku ingat, pertama adalah pembahasan tentang ‘kedamaian’ dan ‘hiv aids.’ Dalam presentasi tentang kedamaian kelompok kami berhasil membuat pertanyaan tentang fungsi PBB. Kira-kira pertanyaannya begini, “Sejak berdirinya PBB tanggal 28 Desember 1948, saat itu sengketa antara Indonesia dan Belanda masih merajalela, lantas apakah fungsi PBB demi menjaga perdamaian dunia?” Pertanyaan itu ditukar dengan mengubah topik, “Apakah PBB menjalankan fungsinya sebagai perserikatan bangsa-bangsa saat adanya sengketa antara Israel dan Palestina? Bahkan Israel sebenarnya bukan sebuah negara, melainkan segelintir kelompok yang mencari daerah untuk konstitusi mereka.” Tapi sayangnya pertanyaan kami yang bagus ini tidak jadi perdebatan karena kelompok lawan telah menyelesaikan diskusinya.

Tapi kami tidak menyerah. Pertanyaan tentang sex education membantu kami, “Kapan seharusnya pendidikan sex diberikan? Apakah pada masa pubertas? Sedangkan remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga mereka mencari informasi tersebut secara diam-diam sehingga timbul salah persepsi dan miss komunikasi.” Kami tak ingin kehilangan kesempatan untuk bertanya lagi. Aku sendiri sampai berdiri dan mengacungkan tangan demi bertanya. Untungnya dewi fortuna sedang berada di pihak kami sehingga kami bisa bertanya dengan puasnya.

Aku jadi mengambil kesimpulan yang mungkin adalah sebuah kebodohan, “Apakah keputusanku untuk memilih IPA salah? Sementara ternyata aku senang berdebat baik itu secara logis atau tidak logis.” Atau, “Apakah aku bodoh sehingga mempunyai pikiran picik seperti ini! Keaktifan dalam berdiskusi mungkin bukanlah penanda apakah orang itu lebih berbakat ke IPS.” Mungkin aku saja yang terlalu cepat mengambil kesimpulan ataukah ini ada benarnya? 
Read More … Kebodohanku Yang Tidak Bisa Memilih

Pikiran Absurd dan Tak Absurd (2 Februari 2011)

Bisa dibilang hari ini adalah segala puncak dari amarah dan rasa kesal saya. Tapi dari sekian banyak pikiran yang mendidih di kepala saya, dan membuat seluruh badan saya meleleh, saya masih bisa menuliskan lelehan demi lelehan tersebut ke dalam catatan-catatan kecil ini. Semoga yang membaca tidak merasa tersindir, marah, dan bisa mengambil hikmah dari pikiran-pikiran nyeleneh namun bukan fiktif belaka ini.

#1
Individualitas. Saya ingin bercerita tentang beberapa orang yang hidup dalam kesendirian. Mereka adalah orang-orang pintar dan intelektual yang diletakkan dalam suatu kelas. Setiap orang yang melihat mereka mungkin akan menghormatinya, setiap orang yang mengenalnya pasti akan mengakui kehebatannya tersebut. Tapi sayang, mereka hidup dalam kesendirian dan individualitas. Misalnya A hanya berteman dengan B dan C, begitu juga dengan D yang hanya berteman dengan E, dan F. Lalu bagaimana dengan Z yang misalnya tak dekat dengan keduanya? Mungkin Z bukanlah orang yang bisa dibanggakan dari segi apapun, sebut saja dia adalah seorang introvert. Tentu saja akan sulit baginya untuk menjalin pertemanan. Jadi bagaimana? Haruskah Z diabaikan?

Inilah yang ingin saya sebut sebagai individualitas tadi. Dimana seseorang yang hanya bergaul dengan orang-orang yang disenanginya saja, lalu megngabaikan orang-orang yang tidak dibutuhkannya. Tetapi lain halnya dengan orang lain yang masih mengharapkan bantuannya tersebut. Mungkin hanya kerelaan hati dari keduanya yang dapat membuat mereka bersatu.

#2

Sulitnya menjadi orang yang idealis. Karena ternyata bumi Indonesia ini tak lagi menjunjung keidealisan. Bahkan orang-orang idealis akan tergusur oleh orang-orang yang tidak berkomitmen. Karena saking banyaknya pelanggaran demi pelanggaran yang terjadi, baik itu pelanggaran kecil atau besar sekalipun, ini membuat tatanan dalam masyarakat berubah drastis.

Contohnya saja, on time. Jujur saya katakan, Ketepatan waktu sangat diabaikan di negeri ini. Tak usah jauh-jauh, dari sekolah saja dulu. Misalnya jadwal berkumpul yang ditentukan oleh ekstrakurikuler X adalah pukul 13.00 WIB, tapi ternyata ngaret sampai 15 menit. Memang ngaret 15 menit adalah hal yang biasa. Dalam konteksnya, telat 15 menit itu sudah biasa, kan cuma 15 menit. Akh! Tapi saya membenci keterlambatan (walaupun saya juga pernah melakukannya), bagi saya, tidak ada yang namanya tenggang waktu. Tepatilah janji sekarang atau tidak sama sekali. Now or never, right?

#3

Baru saja siang tadi aku curhat dengan teman seprofesiku di OSIS. Kita ceerita banyak, mulai dari kekesalan-kekesalan kita di sekolah, pada guru, sarana dan prasarana, juga tentang berbagai komponen-komponen yang mengecewakan di sini. Jujur saja, sebelum curhat, aku sangat ingin membanting seseorang dari shelter, atau mungkin dari lantai 3. Tapi setidaknya, curhatku dengannya membuatku sedikit lebih tenang. Mungkinaku akan berbagi intisari dari permasalahan yang kami bagi.

Pertama, kami menceritakan tentang kurikulum yang sangat mengecewakan ini. Perubahan pada kurikulum ini membuat semua siswa menjadi kesusahan. Simak saja misalnya beberapa hal yang menyalahi aturan seperti : fungsi guru yang telah tergantikan oleh internet dan media pembelajaran yang lain (atau mungkin guru lebih menyukai cara seperti ini?), kebiasaaan mencontek yang membuat perbedaan nilai yang sangat signifikan antara siswa pintar dan siswa bodoh, tingkat kerajinan yang menurun drastis (misalkan saja, sejak SD, dan SMP aku tak pernah cabut, tapi sejak SMA aku mulai cabut, walaupun cuma cabut ke perpustakaan untuk belajar MIPA, atau mengerjakan PR dan tugas lain), juga tentang siswa yang lebih suka mengerjakan PR di sekolah. Padahal ketika eSDe dulu, aku akan mengerjakan PR di semak-semak apabila lupa membuat PR (agar tak ketahuan oleh teman-teman dan guru).

Memang mungkin ini terdengar sepele, apalagi poin-poin terakhir itu. Tapi jujur saja, nilai-nilai yang bergeser tersebut membuatku muak. Ingat tidak ketika SD, kita lebih suka ujian dengan mengutamakan kejujuran, bahkan kita menutup kertas ujian kita supaya tidak dilihat orang lain. Tapi sekarang apa yang terjadi? Aku merasa kebiasaan jujur ini mulai menurun sejak UN SD. Dimana para guru mengajarkan kita untuk membantu kelulusan teman yang lain (dalam beberapa hal aku setuju, jika ini dalam keadaan terdesak seperti UN tersebut), tapi ini menjadi budaya baru bagi kita yang telah duduk di bangku SMP,  (hampir setiap ujian nyontek, kan? Syukur deh yang tidak melakukannya, dan membiarkan nilai kejujuran tidak tergerus zaman)
Aku juga tak tahu sebenarnya, kenapa tiba-tiba jadi pergeseran nilai-nilai seperti ini. Kalau dahulu, seorang anak SD akan sangat malu apabila tidak belajar sebelum ujian, tapi sekarang apa jadinya? Yang belajar pasti disebut idiot, dan tidak gaul. (Gaul itu konotasinya negative loh! hehe), pasti dibilang bagus kan kalau tidak belajar? Apakah ini juga dampak dari perubahan kurikulum? (Oh ya silahkan baca tulisan saya tentang Kurikulum yang berubah di Indonesia ^^)

Setelah membaca part 3 ini, saya tidak berharap anda menghentikan langkah anda untuk membaca, tapi teruslah membaca. Siapa tahu anda bisa memberikan solusi dari masalah yang tidak pelik ini. Saya juga berharap anda tidak menertawakan kebodohan saya ini, karena mungkn suatu hari nanti saya juga akan menertawakan anda.

#4

Rabu siang hari itu, aku memilih cabut dari kelas dan mampir ke perpustakaan. Tapi nasib memang malang, karena ternyata si bapak pegawai pustaka sudah ingin pulang. Oleh karena itu, aku dan dia (kebetulan aku membawa makhluk yang bernama manusia) melancong di lantai 3. Banyak kelas yang kami kelilingi. Akhirnya kami berhenti pada satu kelas dan melihat-lihat kelas tersebut.

Seperti biasa, pajangan dinding di kelas tersebut selalu membuatku penasaran. Apalagi pajangan tentang cita-citanya. Aku jadi melongo karenanya. Kenapa? Karena 100% siswanya bercita-cita menjadi dokter. Yah walaupun mereka memasang cita-cita ganda, tapi tetap saja aku melongo.

Aku memang bukan orang yang gampang terpengaruh, apalagi soal cita-cita (bahkan sampai sekarang aku masih memilah-milah profesi yang sesuai denganku). Pernah seorang teman bercerita padaku, 30 orang mahasiswa kedokteran itu berasal dari kelas dan SMA yang sama. Aku melongo, dan dia juga. AKu tak kagum, dan dia kagum. Mungkin ia menyukai profesi itu, tapi tidak denganku.

Lantas, jika seluruh siswa di kelas ini menjadi dokter, dan dari sekolahku ini sebagiannya juga menjadi dokter, berapakah dokter masa depan? Lantas, siapa yang sakit?

Berhenti membicarakan ini. Mungkin jalan kita berbeda, aku memang tidak ada bakat di bidang kesehatan. Mungkin engkau akan berkata, (lebih baik mempunyai cita-cita, daripada dirimu yang tidak memiliki, Irma!).

Suatu hari aku akan menemukannya. Selamat saja untuk mereka yang sudah memiliki cita-citanya. Menurutku cita-cita adalah sesuatu yang begitu lurus dan ideal. Bagiku menemukan suatu keidealan itu tidak mudah, butuh pencarian dan penafsiran yang begitu lama. Bukan yang instan dan terlintas di kepala. Kenapa? Sebab aku terlalu memikirkan konsekuensi tentang apa yang akan kuambil nanti.

Satu saja janjiku, aku akan menjabat tanganmu sepuluh tahun lagi bukan sebagai pecundang!
Read More … Pikiran Absurd dan Tak Absurd (2 Februari 2011)
Copyright 2009 Aqueous Humor. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy