Bisa dibilang hari ini adalah segala puncak dari amarah dan rasa kesal saya. Tapi dari sekian banyak pikiran yang mendidih di kepala saya, dan membuat seluruh badan saya meleleh, saya masih bisa menuliskan lelehan demi lelehan tersebut ke dalam catatan-catatan kecil ini. Semoga yang membaca tidak merasa tersindir, marah, dan bisa mengambil hikmah dari pikiran-pikiran nyeleneh namun bukan fiktif belaka ini.
#1
Individualitas. Saya ingin bercerita tentang beberapa orang yang hidup dalam kesendirian. Mereka adalah orang-orang pintar dan intelektual yang diletakkan dalam suatu kelas. Setiap orang yang melihat mereka mungkin akan menghormatinya, setiap orang yang mengenalnya pasti akan mengakui kehebatannya tersebut. Tapi sayang, mereka hidup dalam kesendirian dan individualitas. Misalnya A hanya berteman dengan B dan C, begitu juga dengan D yang hanya berteman dengan E, dan F. Lalu bagaimana dengan Z yang misalnya tak dekat dengan keduanya? Mungkin Z bukanlah orang yang bisa dibanggakan dari segi apapun, sebut saja dia adalah seorang introvert. Tentu saja akan sulit baginya untuk menjalin pertemanan. Jadi bagaimana? Haruskah Z diabaikan?
Inilah yang ingin saya sebut sebagai individualitas tadi. Dimana seseorang yang hanya bergaul dengan orang-orang yang disenanginya saja, lalu megngabaikan orang-orang yang tidak dibutuhkannya. Tetapi lain halnya dengan orang lain yang masih mengharapkan bantuannya tersebut. Mungkin hanya kerelaan hati dari keduanya yang dapat membuat mereka bersatu.
#2
Sulitnya menjadi orang yang idealis. Karena ternyata bumi Indonesia ini tak lagi menjunjung keidealisan. Bahkan orang-orang idealis akan tergusur oleh orang-orang yang tidak berkomitmen. Karena saking banyaknya pelanggaran demi pelanggaran yang terjadi, baik itu pelanggaran kecil atau besar sekalipun, ini membuat tatanan dalam masyarakat berubah drastis.
Contohnya saja, on time. Jujur saya katakan, Ketepatan waktu sangat diabaikan di negeri ini. Tak usah jauh-jauh, dari sekolah saja dulu. Misalnya jadwal berkumpul yang ditentukan oleh ekstrakurikuler X adalah pukul 13.00 WIB, tapi ternyata ngaret sampai 15 menit. Memang ngaret 15 menit adalah hal yang biasa. Dalam konteksnya, telat 15 menit itu sudah biasa, kan cuma 15 menit. Akh! Tapi saya membenci keterlambatan (walaupun saya juga pernah melakukannya), bagi saya, tidak ada yang namanya tenggang waktu. Tepatilah janji sekarang atau tidak sama sekali. Now or never, right?
#3
Baru saja siang tadi aku curhat dengan teman seprofesiku di OSIS. Kita ceerita banyak, mulai dari kekesalan-kekesalan kita di sekolah, pada guru, sarana dan prasarana, juga tentang berbagai komponen-komponen yang mengecewakan di sini. Jujur saja, sebelum curhat, aku sangat ingin membanting seseorang dari shelter, atau mungkin dari lantai 3. Tapi setidaknya, curhatku dengannya membuatku sedikit lebih tenang. Mungkinaku akan berbagi intisari dari permasalahan yang kami bagi.
Pertama, kami menceritakan tentang kurikulum yang sangat mengecewakan ini. Perubahan pada kurikulum ini membuat semua siswa menjadi kesusahan. Simak saja misalnya beberapa hal yang menyalahi aturan seperti : fungsi guru yang telah tergantikan oleh internet dan media pembelajaran yang lain (atau mungkin guru lebih menyukai cara seperti ini?), kebiasaaan mencontek yang membuat perbedaan nilai yang sangat signifikan antara siswa pintar dan siswa bodoh, tingkat kerajinan yang menurun drastis (misalkan saja, sejak SD, dan SMP aku tak pernah cabut, tapi sejak SMA aku mulai cabut, walaupun cuma cabut ke perpustakaan untuk belajar MIPA, atau mengerjakan PR dan tugas lain), juga tentang siswa yang lebih suka mengerjakan PR di sekolah. Padahal ketika eSDe dulu, aku akan mengerjakan PR di semak-semak apabila lupa membuat PR (agar tak ketahuan oleh teman-teman dan guru).
Memang mungkin ini terdengar sepele, apalagi poin-poin terakhir itu. Tapi jujur saja, nilai-nilai yang bergeser tersebut membuatku muak. Ingat tidak ketika SD, kita lebih suka ujian dengan mengutamakan kejujuran, bahkan kita menutup kertas ujian kita supaya tidak dilihat orang lain. Tapi sekarang apa yang terjadi? Aku merasa kebiasaan jujur ini mulai menurun sejak UN SD. Dimana para guru mengajarkan kita untuk membantu kelulusan teman yang lain (dalam beberapa hal aku setuju, jika ini dalam keadaan terdesak seperti UN tersebut), tapi ini menjadi budaya baru bagi kita yang telah duduk di bangku SMP, (hampir setiap ujian nyontek, kan? Syukur deh yang tidak melakukannya, dan membiarkan nilai kejujuran tidak tergerus zaman)
Aku juga tak tahu sebenarnya, kenapa tiba-tiba jadi pergeseran nilai-nilai seperti ini. Kalau dahulu, seorang anak SD akan sangat malu apabila tidak belajar sebelum ujian, tapi sekarang apa jadinya? Yang belajar pasti disebut idiot, dan tidak gaul. (Gaul itu konotasinya negative loh! hehe), pasti dibilang bagus kan kalau tidak belajar? Apakah ini juga dampak dari perubahan kurikulum? (Oh ya silahkan baca tulisan saya tentang Kurikulum yang berubah di Indonesia ^^)
Setelah membaca part 3 ini, saya tidak berharap anda menghentikan langkah anda untuk membaca, tapi teruslah membaca. Siapa tahu anda bisa memberikan solusi dari masalah yang tidak pelik ini. Saya juga berharap anda tidak menertawakan kebodohan saya ini, karena mungkn suatu hari nanti saya juga akan menertawakan anda.
#4
Rabu siang hari itu, aku memilih cabut dari kelas dan mampir ke perpustakaan. Tapi nasib memang malang, karena ternyata si bapak pegawai pustaka sudah ingin pulang. Oleh karena itu, aku dan dia (kebetulan aku membawa makhluk yang bernama manusia) melancong di lantai 3. Banyak kelas yang kami kelilingi. Akhirnya kami berhenti pada satu kelas dan melihat-lihat kelas tersebut.
Seperti biasa, pajangan dinding di kelas tersebut selalu membuatku penasaran. Apalagi pajangan tentang cita-citanya. Aku jadi melongo karenanya. Kenapa? Karena 100% siswanya bercita-cita menjadi dokter. Yah walaupun mereka memasang cita-cita ganda, tapi tetap saja aku melongo.
Aku memang bukan orang yang gampang terpengaruh, apalagi soal cita-cita (bahkan sampai sekarang aku masih memilah-milah profesi yang sesuai denganku). Pernah seorang teman bercerita padaku, 30 orang mahasiswa kedokteran itu berasal dari kelas dan SMA yang sama. Aku melongo, dan dia juga. AKu tak kagum, dan dia kagum. Mungkin ia menyukai profesi itu, tapi tidak denganku.
Lantas, jika seluruh siswa di kelas ini menjadi dokter, dan dari sekolahku ini sebagiannya juga menjadi dokter, berapakah dokter masa depan? Lantas, siapa yang sakit?
Berhenti membicarakan ini. Mungkin jalan kita berbeda, aku memang tidak ada bakat di bidang kesehatan. Mungkin engkau akan berkata, (lebih baik mempunyai cita-cita, daripada dirimu yang tidak memiliki, Irma!).
Suatu hari aku akan menemukannya. Selamat saja untuk mereka yang sudah memiliki cita-citanya. Menurutku cita-cita adalah sesuatu yang begitu lurus dan ideal. Bagiku menemukan suatu keidealan itu tidak mudah, butuh pencarian dan penafsiran yang begitu lama. Bukan yang instan dan terlintas di kepala. Kenapa? Sebab aku terlalu memikirkan konsekuensi tentang apa yang akan kuambil nanti.
Satu saja janjiku, aku akan menjabat tanganmu sepuluh tahun lagi bukan sebagai pecundang!