#1
Dengan mulut
menguap, dan sisa penat yang masih lekat di tangan kiriku yang sibuk menulis, betis
yang ngilu karena berlari, keringat yang mengucur sedari tadi, dan napas yang
terengah-engah karena berlari, kucoba melangkah ke luar pagar sekolah. Sudah
sore begini aku baru dapat pulang. Pelajaran jam terakhir benar-benar membuat
bola mataku mengatup sempurna.
Dengan
mengendap-endap, kucoba melarikan diri dari rapat ekskul. Masih ada saja alasan
yang harus membuatku pulang sore-sore. Dua jam sebelum rapat ini akan diadakan,
aku sudah di sms duluan, mungkin takut aku akan lari, seperti yang kerap
kulakukan.
Beberapa
menit saja aku sudah tiba di gerbang tua yang menghubungkan sekolah ini ke
jalan. Ramai. Sudirman yang dipenuhi motor, mobil, angkot, dan bus yang lalu
lalang, sementara di trotoar ini pejalan kaki asik menekurkan kepala,
menghitung kerikil yang ada. Beberapa penjual makanan dan minuman sedang
mengelap keringat mereka yang bercucuran, yang lainnya sibuk melayani pelanggan
di gerobak mereka yang kumuh.
Mataku
celingak celinguk kiri kanan. Menunggu angkot yang lewat. Angkot berwarna merah
dengan motif lukisan kartun conan. Itulah yang baru saja kulihat. Tanpa ragu
langsung kunaiki angkot ini.
Aku tahu sekali
setiap angkot yang ada di kotaku ini memilik tujuan yang sama, yaitu mencari
penumpang. Tapi inikah gaya
mereka untuk memikat hati para penumpang yang bertaburan? Dengan memasang motif
lukisan yang semrawut dan acak-acakan? Inikah yang mereka
sebut dengan gaya dinamis?
#2
Terlalu lama
menunggu penumpang. Angkot yang kunaiki ini melaju perlahan bagai siput.
Jalanan yang usang, berdebu, dan panas. Di dalamnya hanya ada aku., yang duduk
paling sudut dekat speaker. Ruang lapang angkot ini sama sekali tak berisi.
Bisa dibilang, hanya aku dan supirnya yang menghuni.
Sepuluh
menit berlalu. Namun angkot ini seolah kehabisan bensin untuk sekedar melaju.
Sampai sekarang baru ada dua penumpang. Jauh dari apa yang diharapkan. Padahal
mobil baru nan bagus ini sangat layak untuk ditumpangi. Musik yang mengalun
begitu lembut, ditambah wewangian yang sesekali tercium dari pewangi kendaraan,
dan berbagai aksesori khas wanita. Ya, khas wanita.
Namun, tiba-tiba
darahku berdesir cepat, jantungku berdetak kuat, sekujur tubuhku memanas, dan
mukaku memerah seperti tomat, ketika melihat seseorang berjalan mendekati
angkot ini. Seorang wanita bertubuh kecil, berbaju seragam sewarna denganku
melempar senyum.
Dia
mengenaliku, tentu saja. Kami berada di sekolah yang sama, berseragam putih
abu-abu dengan lambang yang sama, dan sering bertatap
muka ketika upacara bendera, istirahat di kantin, dan meminjam buku di
perpustakaan. Telah lama aku mengenalinya, bahkan sebelum kami berpura-pura berjabat
tangan dan menyebutkan nama masing-masing.
Aku membalas
senyumnya, “Dari mana?”
“Dari toko
buku”, paparnya singkat. Senja yang kusam. Suaranya melemah, matanya sayu, dan
ruas-ruas kepenatan jelas tergambar dari air wajahnya. Tapi ia hanya tersenyum,
menggerakan ruas-ruas pipinya.
Ia duduk di
sebelahku. Dekat, dan sangat dekat. Pun jantungku berdetak, kuat, dan makin
kuat. Aku grogi di dekatnya, salah tingkah, tak
tahu harus berbuat apa, haruskah bicara sembari tersenyum, atau diam saja.
Apa yang
dibelinya di toko buku? Mengapa aku tak melihat buku yang baru saja dibelinya? Dengan siapa gerangan ia kesana? Ah… entahlah!
#3
Luna. Sudah tiga tahun ini aku mengenalnya. Dan sudah tiga tahun ini pula aku
diam-diam menyukainya. Menyukai hampir seluruh bagian dari dirinya. Caranya
tersenyum, berkata-kata, memandang lawan bicara, bercanda, marah, bersedih, dan
menangis. Aku tak akan melewatkan sedikitpun momen berharga dengannya.
Namun apalah
artinya semua itu. Berawal dari pertemuan singkat di sebuah angkot tiga tahun
yang lalu, saat kami masih putih biru, berangkat ke sekolah di pagi yang kelabu.
Saat itu aku untuk pertama kalinya antara mataku dan matanya dipertemukan.
Sepanjang perjalanan, aku hanya memperhatikannya, cara dia menatap orang lain
dengan matanya yang tajam namun teduh, membaca buku, melirik penumpang lain,
dan aku akan mengalihkan pandangan jika ia curiga padaku.
Dengan
tatapannya yang tajam, aku sangat menyukainya. Matanya yang bak bakso membuatku
tergila-gila. Entah kenapa, aku jadi tertarik padanya. Sejak takdir bersepakat dengan sebuah angkot untuk mempertemukan kami berdua pada setiap pagi
yang hampir sama. Kelabu.
Aku dan dia
beda SMP. Sebelum akhirnya aku sempat berharap akan satu sekolah dan itu memang
terjadi. Mulai sejak itu aku akan mencari tahu dirinya.
Menelusuri seluk beluk kehidupannya, berbagai macam cara kulakukan. Mencari
jati dirinya di internet lewat google, situs jejaring sosial seperti facebook, dan friendster.
Awal sekali
aku bertemu dia, aku berharap dia adalah anak lugu. Setidaknya aku salah besar
karena ternyata dugaanku itu salah. Aku memang bukan peramal yang bisa membaca sifat seseorang. Bagaimana tidak, aku hanya
menilainya di angkot. Sebuah pertemuan singkat yang membuatku mengaguminya.
#3
“larut dengan diri masing-masing
diam dan kaku, bersikeras ingin menjadi batu”
Penggalan puisi yang kubaca tadi
pagi kembali mengerjaiku. Setelah sebelumnya aku sempat dipermalukan karena
suaraku serak tiba-tiba, kini aku dan Luna juga menjadi lakon dalam puisi itu.
Angkot melaju semakin kencang dan
semakin penuh. Kini aku dan dia sebelahan. Tak ada pembatas antara kami berdua.
Bisa dipastikan tubuh kami
bersentuhan, namun bibir kami saling diam.
Senja semakin megental. Ia sempat
beberapa kali menghela napas lain dari biasanya. Penatkah? Mungkin. Tetesan keringat membasahi
keningnya. Lalu ia mengelapnya dengan tissue
yang ia ambil dari tas merah muda yang sejak tadi berada di pangkuannya.
Kami masih
memainkan pantomime. Begitu juga penumpang lain. Tapi
aku tahu kami sedang tidak berada di panggung dengan penonton berdasi kupu–kupu,
memainkan recital piano, memakai tuxedo berwarna putih dan berada di
bawah tirai berwarna marun. Kami hanya sedang duduk dan menerawang dengan
pikiran masing-masing.
Luna tengah sibuk
sendiri. Mengurusi
pesan-pesan yang bergilir mampir di telepon
genggamnya. Aku sempat melirik, namun tak bisa melihat pesan yang dibacanya
lantaran ukuran font yang sangat kecil.
Sempat beberapa kali aku mencoba
mengalihkan perhatian. Misalnya dengan pura-pura tidur, baca buku, atau melihat pepohonan yang dilalui angkot ini. Namun,
gagal! Aku tak bisa tidur karena tiap aku memejam, aku hanya akan membayangkan
wajahnya dengan tangan yang seakan menerkam aku, tapi aku rela tertelan ke
dalam hatinya. Aku tak bisa baca buku karena itu dapat merusak mata, dan satu
lagi, aku tak bisa mengalihkan pandangan ke jalan karena aku selalu meliriknya.
Ah, aku
mulai bosan. Oh ya, mungkin kau bertanya, kenapa aku tak mengajaknya bicara.
Sebenarnya terlalu banyak yang ingin kubicarakan. Pelajaran di sekolah pagi
tadi, pentas seni kemarin, guru yang paling pemarah di kelas, tugas di sekolah,
murid yang dihukum, dan kabarnya hari ini.
Tapi, aku tak ingin bicara.
Perasaanku terlalu kuat untuk menahanku agar tidak bertutur kata. Mulutku jadi
bisu seketika.
Tadi aku hanya bertanya, “Dari
mana?” Tidakkah
itu kata-kata bodoh dari seseorang yang telah lama saling mengenal, bahkan
sampai tiga tahun?
Mungkin kau pikir aku bodoh,
karena membiarkan kesempatan ini berlalu. Mungkin sekarang kau sedang
mencemoohiku lantaran aku cuma pecundang di dekatnya, atau kau sedang gemas dengan diriku yang lumpuh
tiba-tiba.
#4
Jarum arlojiku mengarah pada angka
16.34, ketika aku meliriknya yang melingkar di pergelangan tanganku. Aku masih
ingat, di jam yang sama aku pernah membuatkan cerpen untuknya. Di hadiah ulang
tahunnya tentang kisah cintanya.
Di sana,
aku pernah berkisah tentang diriku yang telah lama menyukainya. Walaupun dia
memilih lelaki lain, di cerita itu aku sempat merelakannya. Tentu saja di
kehidupan sebenarnya aku takkan pernah melakukan hal itu. Tapi aku memang
membiarkannya. Membiarkannya mencintai lelaki lain yang tidak juga
mencintainya.
Dia sempat kaget membaca cerpen
itu. Bertanya ia setelah membaca HVS lima lembar itu.
“Hei...kamu suka sama aku?”
“Tentu saja nggak Lun, itu kan cuma
cerita...”
“Oh...Hmmm”, ia tersenyum
kemudian.
Aku memang tak akan meninggalkan
momen saat dia tersenyum. Aku akan memandanginya, dan aku tak pernah bosan
melirik bibirnya yang seperti gincu warna merah.
Pernah pertama kali, saat aku dan
dia baru masuk SMA. Saat itu senja. Kami berdua baru pulang MOS (Masa Orientasi
Siswa). Aku juga sedang sakit, sepertinya dia juga. Lantaran terlalu penat
dengan aktifitas seharian. Kebetulan kami satu kelas waktu itu. Jadi aku bisa
mengenalnya, dan memperhatikannya.
Aku tak menyadari ketika dia
memanggilku sambil berlari.
“Di, kamu mau pulang?” Hei dia memanggilku.“Iya...kamu
mau bareng Luna?”
aku membaca nama yang tertera di
nametag-nya.
“Oh iya belum kenalan, padahal kita sering ketemu ya?” ia menjulurkan tangan
serta tersenyum dan menampakkan barisan gigi yang rapi.
“Panggil aku Alan...”, aku
menyambut perkenalan itu dengan menjabat tangannya.
Aku senang sekali hari itu. Punya
kesempatan untuk bisa pulang dengan dia. Di jalan kami ngobrol banyak sekali.
Tentunya setiap poin dari
percakapan kami akan kusimpan di memori terdalam yang selalu akan kuingat. Dari
situ sejak pertama kali itu aku mengenal sedikit dari bagian hidupnya yang
kelabu.
#5
Lelaki mana yang tak akan menyukainya Luna—kalaupun ada, pasti
lelaki itu dungu. Dengan wajah yang putih mulus, bibir mungil berwarna merah muda, dan
rambut yang panjangnya sebahu. Sungguh sempurna—setidaknya di mataku.
Berulang kali aku berpikir, menatap langit-langit angkot, mencari topik pembicaraan dengan perempuan yang telah lama mengurung hatiku ini, seperti
mengurung sebuah merpati putih di sangkarnya.
Tentang kisah cintanya? Basi. Aku
tak ingin membuatnya bersedih hanya untuk mengenang lelaki hujan itu. Lelaki
yang seperti hujan di hatinya. Yang pernah aku deskripsikan sebagai seorang
yang paling beruntung, karena pernah dicintai oleh Luna.
Andaikan lelaki itu aku!
Rumahku dan rumahnya hampir dekat.
Memang rumah kami tak terlalu jauh. Hanya jarak beberapa meter saja. Perlahan
penumpang angkot ini mulai menyusut, aku makin kecut saja karena cuma aku dan
dia yang tersisa.
Pemandangan seperti biasa.
Belantara hijau ala komplek kecilku akan kembali terlihat. Aku suka berada di
sini mencium aromanya yang wangi. Sewangi parfum yang sedang dikenakan Luna sekarang. Sempat
beberapa kali parfum itu disedu oleh hidungku, dalam hari yang sama. Wangi bunga sepertinya,
tidak membuatku pusing, wanginya lembut dan tidak terlalu keras, cukup nikmat
untuk dihidu.
Pemandangan hijau ini membawaku ke
jalan menyusuri rumah Luna. Rupanya ia akan turun duluan. Senang rasanya bisa pulang bersama perempuan ini.
Setidaknya telah lama aku menantikan
momen ini—walaupun kami hanya memainkan pantomime—sejak
pertama kali bertemu.
Mobil ini berhenti pada sebuah gang menuju rumah Luna. Ia menyetop angkot ini. Bersiap-siap hendak turun, dan melirik padaku,
sepertinya ada sesuatu yang akan dia ucapkan.
“Di, aku duluan ya...” lagi-lagi dia melempar
senyum, membuatku kepayang.
Tiba-tiba saja, tanpa kusadari,
aku mengucapkan sesuatu,
“Luna tunggu!”
Ucapanku barusan menyetop
langkahnya, membuatnya berbalik dan menoleh padaku.
“Luna...aku suka sama kamu!”
Dia diam. Begitu pun aku. Namun matanya
mencair tiba-tiba. Secair senja. Lalu diam-diam aku juga ikut-ikutan menjelma
senja.
(2010)