RSS

Hal-hal yang bisa dilakukan Sehari-hari Saat KKN Tanpa Internet




Hal-hal yang bisa dilakukan Sehari-hari Saat KKN Tanpa Internet

  1.  Membaca rasi bintang 
  2.  Berdebat apa warna langit
  3. Pergi ke warung terdekat, membeli makanan ringan, dan melakukan nomor 1
  4. Atau combo 1, 2, dan 3
  5. Tidur
  6. Bangun
  7. Tidur lagi
  8. Bershower dan meratapi nasib (karena di desa tak ada shower bisa diganti dengan mandi di bawah  pancuran)
  9. Sambil mendengar lagu The Script
  10. Mempelajari permainan baru (remi, uno, domino, dll)
  11. Jika kamu telah memainkan semua jenis permainan yang kamu ketahui, buatlah permainan baru.
  12. Asal jangan main perempuan
  13. Ramal jodoh dari remi atau domino
  14. Jika ternyata dia bukan jodohmu, silakan melakukan nomor 8 dan 9
  15. Hunting foto 
  16. Hunting pacar bagi yang jomblo 
  17.  Jika gagal, bisa melakukan nomor 8 dan 9 
  18. Membangun candi
  19. Memikirkan bagaimana cara menciptakan perdamaian dunia
  20. Mempelajari hal-hal baru seperti terbang, meramal, atau merekrut anggota Avengers yang baru
  21. Rajin ke pengajian, karena banyak makanan di pengajian
  22. Membantu petani panen di sawah dengan harapan dapat membawa pulang sekarung padi
  23. Menggemburkan sawah
  24. Menanam palawija
  25. Membantu petani di ladang
  26. Tunggu....sepertinya tiga poin di atas ada di buku Bahasa Indonesia SD -___-
  27. Membuka foto-foto lama dan menelusuri kenangan yang tersimpan di dalamnya
  28. Atau membaca chat history....sampai bego
  29. Membuat meme dari muka lugu teman-temanmu
  30. Atau dari muka kepala desa
  31. Atau muka LPPM
  32. Asal jangan ketahuan (nanti nilai KKN nya E++)
  33. Bermain gitar di siskamling
  34. Asal jangan dini hari
  35. Ditambah lagu lingsir wengi 
  36.  Menonton film, tapi jangan film yang tersimpan di folder yang di-hidden bersama file-file lain yang tabu dibicarakan di ruang publik ini (you know what).
  37. Bersama  teman-teman KKN ke alfamart  naik pick up 
  38. Ke mall naik pick up 
  39.  Menelpon gojek dan minta diantar ke alfamart (jauuuh) *kan ga ada internet*
  40. Silaturrahmi ke rumah ibu-ibu PKK di jam makan siang
  41. Atau makan malam
  42. Mendongakan kepala. Secara kalo ada internet di gadget, bikin kepala kita sering menunduk.
  43. Membuat daftar "Hal-hal yang bisa dilakukan Sehari-hari Saat KKN Tanpa Internet" saat magang dan mempost nya menggunakan internet kantor


Bukan rahasia umum lagi jika Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah penempatan mahasiswa di daerah-daerah yang jauh dari kota, keramaian, dan juga akses internet. Pengalaman saya saat KKN Januari lalu, di sebuah desa bernama Linggamulya, Tasikmalaya, Jawa Barat, internet adalah hal yang tabu bagi kami. Jika mau internetan harus keluar rumah dulu atau ke tempat-tempat yang kuat signalnya.

Tapi ada untungnya juga internet di KKN susah, ya namanya kita kan berinteraksi dan belajar dari masyarakat. Supaya kita gak fokus ke HP melulu, supaya gak dikira sombong karena punya gadget mahal, dan interaksi dengan warga lancar.

Nah selamat KKN ya buat Anak Unand yang KKN-nya udah jalan beberapa hari dan anak Unpad yang KKN habis lebaran. Selamat KP buat anak ITB dan selamat jobtre buat sebagian anak Unpad.

*salim*
*irmaout*
Read More … Hal-hal yang bisa dilakukan Sehari-hari Saat KKN Tanpa Internet

Menafsirkan Kebahagiaan




Saya ndak pandai menafsirkan kebahagiaan, mungkin Anda juga. Sebelumnya, sebagai orang Minang, saya akan menggunakan kata ‘ndak’ ketimbang ‘tidak.’ Betapa hal-hal sederhana seringkali membuat kita bersedih, tidak bahagia. Betapa banyak kekurangan saya selama ini membuat saya ndak pandai menikmati hidup. Betapa seringnya mengeluh, acap kali merasa kelelahan, hingga kita lupa seperti apa rasanya bahagia.

Anggaplah kita tak punya kekasih lalu merasa bersedih. Anggaplah cinta ditolak, bertepuk sebelah tangan, terpendam, beda agama, dan sebagainya, menjadi penghalang kita untuk bahagia. Kita punya kekurangan, pendek, gemuk, hitam, tak cantik, tak tampan, dan kita enggan merasa bahagia. Kita tak pintar, tak pede, punya suara cempreng, sensitif, lalu kita benar-benar lupa untuk bahagia.

Padahal masih banyak orang di luar sana ingin menjadi seperti kita. Baju masih punya, rumah masih punya, makan (walaupun sederhana) masih bisa kenyang, sakit Insya Allah jarang. Lalu apa lagi? Sakit dikecewakan biarlah, dijauhi kawan sudah biasa, bertepuk sebelah tangan duhai astaga! Kita tak bisa menjaminkan bahagia kita pada orang lain. Duh apa gunanya punya kekasih tampan, cantik, kaya, dan lain-lain jika jiwa sendiri tak bisa menjaganya. Apa gunanya punya banyak kawan jika hati tak pernah tentram.

Pernah suatu kali saya menanyakan kabar seorang kawan, dan ia menjawab, “Aku sedang menikmati hidup.” Tentram benar mendengarnya. Jauh lebih baik dari jawaban ‘baik.’ Karena seringkali tiap orang akan menjawab kabarnya baik jika ditanya apa kabar, padahal ia sedang sakit hati, patah hati, baru dipecat, baru menangis, baru kemalingan, dan sebagainya. Jadi alangkah bagusnya jika kita punya jawaban lain selain jawaban mainstream tersebut.

Sungguh, untuk apa terlalu memikirkan kejelekan demi kejelekan yang ada. Nikmatilah sekali-kali bau tanah sehabis hujan, kunang-kunang di malam hari, matahari yang baru terbit, bau kopi sebelum diminum, angin semilir, dan masih banyak lagi cara untuk menafsirkan bahagia.

Saya ndak punya resep untuk kebahagiaan Anda. Anda sendiri yang harus menemukannya. Karena betapa saya sering bersedih akan kekurangan-kekurangan saya, segala sesuatu yang belum saya miliki, seringkali membuat saya ndak bersyukur dan lupa caranya bahagia. Betapa saya membuang-buang waktu untuk berpikir, stres, kurang tidur, dan kemudian sakit.

Saya bahagia ketika menuliskan ini hujan tiba, akhirnya hujan bulan juni yang tabah itu. Seperti langit pun ingin berseru, “Akhirnya kamu bisa berdamai dan berbahagia.” Pada akhirnya saya ingin menutup tulisan ini dengan sajak Arti Chopra yang saya comot dari sebuah novel;

betapa tahun-tahun berharga
terbuang percuma mencari bahagia
ke mana-mana
sementara sepanjang masa
bahagia berada di dalam diri kita
serupa sebutir benih terlunta
menanti berbunga


Read More … Menafsirkan Kebahagiaan

Aku Mencintaimu Dengan Sepenuh Fiksi




Kau tak pernah suka puisi dan cintaku yang fiksi. Katamu, kau hanya berpegang pada logika, tak percaya bahasa dan sansekerta. Cinta yang bertolak pada fiksi tak lebih dari bualan semata.

Kau suka memandangi hujan dari balik jendela? Percayalah hujan hanya sebuah fiksi. Laiknya cinta, manusia telah menciptakan berbagai imajinasi tentang hujan. Hujan dikait-kaitkan dengan rindu, dikaitkan dengan kenangan, hujan dikaitkan dengan kasih tak sampai dan takdir untuk tetap sendirian. Kau lebih fiksi dariku, tak tahukah kau?

Cinta hanyalah kumpulan imajinasi yang diolah manusia. Cinta ada dalam kepala manusia. Berbagai bentuk cinta diolah dalam cerita sedih, menyenangkan, cerita-cerita yang membuatmu tertawa atau menangis. Dan aku hanya memberi pijakan atau patokan pada cinta itu, aku menjadikannya puisi.

Suatu hari kau akan sadar, kau tak mampu terus-terusan realistis. Setiap orang membutuhkan drama, kehidupan ini adalah drama. Kita adalah lakon kehidupan dalam sebuah opera sabun. Aku membiarkan diriku terhanyut dalam fiksi-fiksi itu, karena aku tak percaya seseorang bisa melulu realistis tanpa embel-embel drama.

Kau akan percaya puisi dan cintaku yang fiksi. Aku tak pernah bisa bicara banyak, mengeluarkan ratusan kata. Oh syukurlah Tuhan menciptakan puisi. Sehingga aku bisa bercerita dalam beberapa potong kata. Tahukah kau, puisi tak turun begitu saja dari langit? Laiknya perasaan,  tak ada yang hadir begitu saja.


Puisi yang indah diciptakan dengan penuh perasaan. Tak peduli betapa sederhana kata-katanya. Dan suatu hari kau akan paham, aku mencintaimu dengan sepenuh fiksi. 
Read More … Aku Mencintaimu Dengan Sepenuh Fiksi

Diet, Gaya Hidup, dan Media





Inilah Pertanda Anda Butuh Diet

Baiklah, kali ini saya ingin berbagi pengalaman mengenai diet. Sepertinya diet memang lagi hits ya? Tidak hanya perempuan, laki-laki juga mulai mendambakan tubuh ideal. Tempat gym, zumba, atau lapangan lari menjadi semakin ramai. Lari sore, nge-gym, zumba, atau yoga menjadi tren masa kini. Sepatu lari, armband, suplemen diet, diet mayo, diet gula, dan aplikasi running menjadi gaya hidup yang mengisi hari-hari kita.

Terlepas dari konsep diet untuk sehat dan membentuk tubuh ideal, media memiliki campur tangan yang besar dalam membangun kognisi masyarakat mengenai citra tubuh. Dari berbagai tayangan iklan, serial, dan film di televisi, juga berita,  artikel,  dan  iklan  di  media  cetak,  seolah  menyampaikan  pesan  bahwa  yang menarik adalah mereka yang memiliki tubuh ideal; tinggi dan langsing. Dengan memiliki tubuh yang ideal, seseorang bisa memiliki segalanya dan hidup bahagia. Itulah salah satu mitos yang dipercayai oleh masyarakat.

Media Membentuk Pandangan Mengenai Tubuh Ideal

Lantas kini, apakah kita diet untuk sehat atau hanya terbawa oleh opini media? Tanpa kita sadari, kita membentuk pandangan bahwa tubuh ideal itu adalah yang terbaik. Memiliki berat badan ideal dan bentuk tubuh proporsional adalah opini yang sedang digencarkan media. Agar apa? Agar suplemen diet laku di pasaran, agar produk pelangsing mau dibeli orang, agar gym atau zumba menjadi gaya hidup. Sebaiknya itu yang perlu Anda ketahui sebelum memulai diet!

Saya juga melakukan diet. Sejak kuliah di Fikom Unpad menaikkan berat badan saya sebanyak 10 kg! Sebelumnya, saya tidak pernah peduli dengan berat tubuh. Karena saat SMA, aktivitas fisik yang padat membuat makanan yang saya konsumsi sesuai dengan aktivitas yang saya lakukan.

Namun sejak kuliah, gerak fisik yang kurang dan pola makan yang tidak benar karena saya perantau, membuat berat badan saya naik. Berat yang awalnya 50 kg naik menjadi 60 kg. Baru sekitar Juli 2014 lalu saya sadar bahwa berat tubuh saya tidak proporsional. Lebih mudah lelah, sulit gerak, dan tentunya pakaian yang menyempit. Mulai sejak itu, saya melaksanakan hidup sehat. Lari sore, makan yang benar, banyak makan buah dan sayur, dan mengurangi gula. Dalam beberapa bulan, saya berhasil menurunkan 5 kg.

Saya tidak terlalu ambisius untuk menurunkan 5 kg lagi. Karena aktivitas fisik saya memang kurang, paling hanya jalan di kampus dan lari sore. Sebenarnya antara aktivitas fisik dan pola makan kita saling berkaitan. Jika aktivitas fisik Anda banyak dan porsi makan Anda sedikit, Anda bisa kurus. Namun ketika aktivitas fisik Anda sedikit dan tetap makan banyak, berat badan Anda akan terus naik. Itulah yang belum bisa saya kontrol. Tidak masalah, yang penting sehat.

Saya cukup kasihan melihat teman-teman diet dengan tidak benar. Tidak sarapan pagi, makan siang sedikit, dan tidak makan malam, itu bukan diet yang benar. Atau melakukan diet mayo. Diet mayo ini adalah diet dengan tidak mengonsumsi gula atau garam selama 13 hari, sehingga makanan terasa hambar. Jenis makanannya sendiri berupa kentang rebus, daging rebus, atau ayam yang direbus. Tidak ada gula, tidak ada garam, otomatis lemas! Kalian pikir kita tidak butuh energi dari gula atau glukosa? Seorang teman saya benar-benar lemas dan tidak nafsu makan karena diet mayo. Bagaimana mau nafsu jika seluruh makanannya hambar.

Satu Esensi Diet Adalah Menjaga Pola Makan

Biasanya orang-orang yang melakukan diet mayo berat badannya akan turun dengan cepat. Namun setelah diet selesai, berat badan mereka naik lagi. Karena setelah nafsu makan dikebiri, kita akan jadi sangat rakus. Teman saya turun 4 kg saat diet mayo, dan naik 2 kg lagi setelah diet selesai.

Maka saya hanya menyarankan begini. Jika memang Anda ingin diet, lakukanlah diet demi kesehatan. Bukan demi tubuh langsing dan ideal. Olahraga tiga sampai empat kali seminggu, kurangi makan nasi, kurangi makanan berlemak seperti gorengan atau gulai, makan buah yang cukup, dan minum air putih yang banyak. Karena air putih dapat melarutkan lemak dan buah dapat melancarkan pencernaan. Sudah cukup kok, Anda bisa turun 5 kg dalam sebulan atau dua bulan. Yang pasti, kurangi cemilan.

Lari Dapat Membakar Lemak Secara Efektif

Menjaga berat badan itu intinya habit dan balance. Harus seimbang antara gerak tubuh dan porsi makan. Dietlah yang benar, jangan terlalu memforsir tubuh. Jika tidak ingin makan nasi, gantilah dengan karbohidrat lain. Misalnya mengonsumsi oatmeal dan susu di pagi hari, makan siang yang benar, dan sorenya makan buah atau sayur. Itu lebih baik. Bisa pula Anda mengurangi karbohidrat dengan roti atau ubi.


Cintailah tubuh Anda, lakukan diet yang benar. Jangan mudah terpengaruh dengan opini media. Mengurangi berat badan itu perlu waktu dan usaha. Dan yang penting, dietlah untuk kesehatan, bukan karena propaganda media atas tubuh ideal. (*)



Read More … Diet, Gaya Hidup, dan Media

Kembali Menjadi Manusia di Linggamulya



Sekarang aku melihat rahasia pembuatan orang terbaik itu adalah untuk tumbuh di udara terbuka dan untuk makan dan tidur dengan bumi. – Soe Hok Gie


Bersatu dengan alam, itulah yang ingin kukatakan. Beruntung karena kampusku, Universitas Padjadjaran masih mewajibkan mahasiswanya mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). KKN dijadikan beban SKS dan kita patut mensyukurinya. Tidak semua orang berkesempatan menyatu dan berselaras dengan alam, merasakan kemurnian yang tidak kita dapatkan di kota.

Mungkin aku seperti orang norak yang menggilai hal-hal alami. Aku bukan tak pernah mengalami ini sebelumnya, aku hanya suka merasakan sensasi menyatu dengan alam yang kurindukan belakangan ini. Desa Linggamulya di Tasikmalaya akan selalu kurindukan. Kealamian itu adalah hadiah, yang akan hilang bila tak benar-benar dinikmati. Apakah kalian merindukan KKN juga? Biar saja orang-orang menertawaiku. Mereka tidak tahu, hidup di kota bisa mengubah kita.

Meskipun tersiksa karena tidak ada signal, jauh dari fasilitas modern, mall dan mini market, desa menawarkan sesuatu yang dibutuhkan jiwa. Sebuah hal yang alami; udara sejuk, bebas dari polusi, ingar bingar, dan keberisikan. Tak bisa dipungkiri, kota membuat kita menjadi individualis, mengubah kita menjadi orang yang kasar, cemas, dan penuh ketakutan. Sedikit sekali ruang kemanusiaan di sana, sekejap saja di kota, kau akan berubah menjadi manusia yang berbeda.

Banyak hal-hal yang tidak bebas kita ekspresikan di kota macam Jakarta, misalnya. Ia mengambil kebebasan kita, ketenangan yang kita butuhkan. Mengubah cara kita berpikir dan berperilaku. Kota membuat segalanya tergesa-gesa, cepat, dan dinamis. Kita tak lagi dapat menikmati ritme hidup di sana.

Kadang aku berpikir, betapa nikmatnya ketika bangun tidur lalu mencuci muka, menyeduh kopi, dan membaca koran. Tidak seperti sekarang, bangun tidur lalu mengecek segala notifikasi handphone. Membaca linimasa dan kabar di dunia maya. Di desa, hal-hal macam ini tidak bisa dilakukan karena keterbatasan signal. Aku bersyukur akan hal itu, aku merindukan masa sebelum teknologi berkembang. Terlalu lama dengan handphone tidak memanusiakan kita. Membuat kita tidak menikmati sekitar dan tidak bebas ngobrol dengan lawan bicara.

Desa Linggamulya menawarkan hal yang benar-benar baru. Sebut saja panen di sawah, menandur, menangkap belut, berpanas-panas, membajak sawah berlumpur, dll. Aku membebaskan diri dan membiarkan kulit menghitam, merah, dan iritasi. Hujan-hujanan, naik kolbak, bermain di kebun, mencari bambu di hutan, dan mandi di mata air. 

Mata air yang pernah kami kunjungi adalah Cimanggung. Ia merupakan mata air yang menjadi surga bagi pertanian Desa Linggamulya. Mata air ini cukup jauh, tidak dapat ditempuh dengan jalan kaki. Aku bersama teman-teman naik kolbak untuk mencapai sampai di sana. Setelah turun dari kolbak, kami harus melewati sawah, kebon, berbecek-becek, melewati ilalang, dan getah pohon, agar bisa sampai disana. Air yang mengalir di Cimanggung sangat dingin, cocok untuk melepaskan dahaga. Kami merendam kaki hingga membasuh muka di sana. Konon, siapa yang membasuh muka di sana akan mendapat jodoh. Siapa tahu?

Mata Air Cimanggung, Desa Linggamulya

Pengalaman lain yang tidak boleh dilupakan adalah membajak sawah dan panen. Pertama kali masuk ke sawah, kami sempat ragu mencelupkan kaki ke tanah berlumpur tersebut. Namun salah seorang teman kami, Fawzi, mencoba menaiki kerbau dan membantu membajak sawah. Kami  berteriak menyemangati dan kegirangan melihat aksi Fawzi. Ia sangat semangat menaiki kerbau dan membajak sekeliling sawah.

Fawzi Membajak Sawah

Proses Tanam Mundur
Setelah sukses membajak sawah, keesokan harinya kami ikut panen di Geger Hanjuang, salah satu dusun di Linggamulya. Para petani cukup antusias melihat kami membantu panen. Dengan sigap kami memotong padi dengan arit. Kami membagi pekerjaan, ada yang memotong padi, membawa padi ke tempat perontokan, dan ngagebug (merontokkan padi dari tangkainya).

Menyabit Padi Siap Panen
Keringat bercucuran, terik matahari membakar kulit, tangan iritasi, dan lelah. Kami yang belum profesional dengan sembrono memotong seluruh padi yang ada. Padahal beberapa padi belum siap panen. Itulah akibatnya ketika mahasiswa Fikom dan Ekonomi panen, belum ada pengalaman sama sekali. Meskipun menghancurkan panen, kami paham hari itu, menjadi petani bukan sekedar profesi, tapi juga merawat padi dengan penuh kesabaran.

Tidak hanya menjadi bolang di mata air dan sawah, kami juga pernah menangkap belut, mengikat padi yang lepas, ikut pengajian warga, mengajar di SD, membantu bidan di puskesmas, atau membantu industri moring dan kerupuk. Kami senang melakukan hal-hal tersebut. Penduduk desa juga antusias melihat kami turut serta membantu pekerjaan mereka. Otomatis rumah KKN yang kecil itu selalu ramai oleh anak kecil yang bermain, ibu-ibu yang membawakan makanan, atau karang taruna yang sekedar mengobrol.
Aku akan selalu merindukan masa-masa KKN itu. Tak dapat dipungkiri, teman-teman dan masyarakat desa merupakan bagian dari proses pendewasaanku. Banyak hal baru yang kupelajari, salah satunya adalah menyelaraskan diri dengan alam.

Namun, waktu yang benar-benar kita nikmati itu sangat cepat berlalu. Entah mengapa hal-hal yang indah begitu cepat menghilang. Rasanya sedih ketika kembali ke kota dan kembali menjadi diri yang dulu, sebelum KKN. Tidak ada lagi panen di sawah, bermain di mata air, menangkap belut, jalan-jalan sore, atau pengajian di masjid. Boleh jadi aku tak akan mengalami suasana seperti ini lagi. Tapi aku sangat berterima kasih karena pernah belajar di desa itu. Desa yang menjadi inspirasi bagi tulisan ini, desa yang membuatku kembali menjadi manusia. (*)

Anggota KKNM Linggamulya 2015



Irma Garnesia
Manajemen Komunikasi,
Fikom Unpad Bandung


Read More … Kembali Menjadi Manusia di Linggamulya

Menjelma Senja




#1

Dengan mulut menguap, dan sisa penat yang masih lekat di tangan kiriku yang sibuk menulis, betis yang ngilu karena berlari, keringat yang mengucur sedari tadi, dan napas yang terengah-engah karena berlari, kucoba melangkah ke luar pagar sekolah. Sudah sore begini aku baru dapat pulang. Pelajaran jam terakhir benar-benar membuat bola mataku mengatup sempurna.

Dengan mengendap-endap, kucoba melarikan diri dari rapat ekskul. Masih ada saja alasan yang harus membuatku pulang sore-sore. Dua jam sebelum rapat ini akan diadakan, aku sudah di sms duluan, mungkin takut aku akan lari, seperti yang kerap kulakukan.

Beberapa menit saja aku sudah tiba di gerbang tua yang menghubungkan sekolah ini ke jalan. Ramai. Sudirman yang dipenuhi motor, mobil, angkot, dan bus yang lalu lalang, sementara di trotoar ini pejalan kaki asik menekurkan kepala, menghitung kerikil yang ada. Beberapa penjual makanan dan minuman sedang mengelap keringat mereka yang bercucuran, yang lainnya sibuk melayani pelanggan di gerobak mereka yang kumuh.

Mataku celingak celinguk kiri kanan. Menunggu angkot yang lewat. Angkot berwarna merah dengan motif lukisan kartun conan. Itulah yang baru saja kulihat. Tanpa ragu langsung kunaiki angkot ini.

Aku tahu sekali setiap angkot yang ada di kotaku ini memilik tujuan yang sama, yaitu mencari penumpang. Tapi inikah gaya mereka untuk memikat hati para penumpang yang bertaburan? Dengan memasang motif lukisan yang semrawut dan acak-acakan? Inikah yang mereka sebut dengan gaya dinamis?

#2

Terlalu lama menunggu penumpang. Angkot yang kunaiki ini melaju perlahan bagai siput. Jalanan yang usang, berdebu, dan panas. Di dalamnya hanya ada aku., yang duduk paling sudut dekat speaker. Ruang lapang angkot ini sama sekali tak berisi. Bisa dibilang, hanya aku dan supirnya yang menghuni.

Sepuluh menit berlalu. Namun angkot ini seolah kehabisan bensin untuk sekedar melaju. Sampai sekarang baru ada dua penumpang. Jauh dari apa yang diharapkan. Padahal mobil baru nan bagus ini sangat layak untuk ditumpangi. Musik yang mengalun begitu lembut, ditambah wewangian yang sesekali tercium dari pewangi kendaraan, dan berbagai aksesori khas wanita. Ya, khas wanita.

Namun, tiba-tiba darahku berdesir cepat, jantungku berdetak kuat, sekujur tubuhku memanas, dan mukaku memerah seperti tomat, ketika melihat seseorang berjalan mendekati angkot ini. Seorang wanita bertubuh kecil, berbaju seragam sewarna denganku melempar senyum.

Dia mengenaliku, tentu saja. Kami berada di sekolah yang sama, berseragam putih abu-abu dengan lambang yang sama, dan sering bertatap muka ketika upacara bendera, istirahat di kantin, dan meminjam buku di perpustakaan. Telah lama aku mengenalinya, bahkan sebelum kami berpura-pura berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing.

Aku membalas senyumnya, “Dari mana?”
“Dari toko buku”, paparnya singkat. Senja yang kusam. Suaranya melemah, matanya sayu, dan ruas-ruas kepenatan jelas tergambar dari air wajahnya. Tapi ia hanya tersenyum, menggerakan ruas-ruas pipinya.

Ia duduk di sebelahku. Dekat, dan sangat dekat. Pun jantungku berdetak, kuat, dan makin kuat. Aku grogi di dekatnya, salah tingkah, tak tahu harus berbuat apa, haruskah bicara sembari tersenyum, atau diam saja.
Apa yang dibelinya di toko buku? Mengapa aku tak melihat buku yang baru saja dibelinya? Dengan siapa gerangan ia kesana? Ah… entahlah!

#3

Luna. Sudah tiga tahun ini aku mengenalnya. Dan sudah tiga tahun ini pula aku diam-diam menyukainya. Menyukai hampir seluruh bagian dari dirinya. Caranya tersenyum, berkata-kata, memandang lawan bicara, bercanda, marah, bersedih, dan menangis. Aku tak akan melewatkan sedikitpun momen berharga dengannya.

Namun apalah artinya semua itu. Berawal dari pertemuan singkat di sebuah angkot tiga tahun yang lalu, saat kami masih putih biru, berangkat ke sekolah di pagi yang kelabu. Saat itu aku untuk pertama kalinya antara mataku dan matanya dipertemukan. Sepanjang perjalanan, aku hanya memperhatikannya, cara dia menatap orang lain dengan matanya yang tajam namun teduh, membaca buku, melirik penumpang lain, dan aku akan mengalihkan pandangan jika ia curiga padaku.

Dengan tatapannya yang tajam, aku sangat menyukainya. Matanya yang bak bakso membuatku tergila-gila. Entah kenapa, aku jadi tertarik padanya. Sejak takdir bersepakat dengan sebuah angkot untuk mempertemukan kami berdua pada setiap pagi yang hampir sama. Kelabu.

Aku dan dia beda SMP. Sebelum akhirnya aku sempat berharap akan satu sekolah dan itu memang terjadi. Mulai sejak itu aku akan mencari tahu dirinya. Menelusuri seluk beluk kehidupannya, berbagai macam cara kulakukan. Mencari jati dirinya di internet lewat google, situs jejaring sosial seperti facebook, dan friendster.

Awal sekali aku bertemu dia, aku berharap dia adalah anak lugu. Setidaknya aku salah besar karena ternyata dugaanku itu salah. Aku memang bukan peramal yang bisa membaca sifat seseorang. Bagaimana tidak, aku hanya menilainya di angkot. Sebuah pertemuan singkat yang membuatku mengaguminya.

#3

“larut dengan diri masing-masing
diam dan kaku, bersikeras ingin menjadi batu”

Penggalan puisi yang kubaca tadi pagi kembali mengerjaiku. Setelah sebelumnya aku sempat dipermalukan karena suaraku serak tiba-tiba, kini aku dan Luna juga menjadi lakon dalam puisi itu.

Angkot melaju semakin kencang dan semakin penuh. Kini aku dan dia sebelahan. Tak ada pembatas antara kami berdua. Bisa dipastikan tubuh kami bersentuhan, namun bibir kami saling diam.

Senja semakin megental. Ia sempat beberapa kali menghela napas lain dari biasanya. Penatkah? Mungkin. Tetesan keringat membasahi keningnya. Lalu ia mengelapnya dengan tissue yang ia ambil dari tas merah muda yang sejak tadi berada di pangkuannya.

Kami masih memainkan pantomime. Begitu juga penumpang lain. Tapi aku tahu kami sedang tidak berada di panggung dengan penonton berdasi kupu–kupu, memainkan recital piano, memakai tuxedo berwarna putih dan berada di bawah tirai berwarna marun. Kami hanya sedang duduk dan menerawang dengan pikiran masing-masing.

Luna tengah sibuk sendiri. Mengurusi pesan-pesan yang bergilir mampir di telepon genggamnya. Aku sempat melirik, namun tak bisa melihat pesan yang dibacanya lantaran ukuran font yang sangat kecil.

Sempat beberapa kali aku mencoba mengalihkan perhatian. Misalnya dengan pura-pura tidur, baca buku, atau melihat pepohonan yang dilalui angkot ini. Namun, gagal! Aku tak bisa tidur karena tiap aku memejam, aku hanya akan membayangkan wajahnya dengan tangan yang seakan menerkam aku, tapi aku rela tertelan ke dalam hatinya. Aku tak bisa baca buku karena itu dapat merusak mata, dan satu lagi, aku tak bisa mengalihkan pandangan ke jalan karena aku selalu meliriknya.

Ah, aku mulai bosan. Oh ya, mungkin kau bertanya, kenapa aku tak mengajaknya bicara. Sebenarnya terlalu banyak yang ingin kubicarakan. Pelajaran di sekolah pagi tadi, pentas seni kemarin, guru yang paling pemarah di kelas, tugas di sekolah, murid yang dihukum, dan kabarnya hari ini.

Tapi, aku tak ingin bicara. Perasaanku terlalu kuat untuk menahanku agar tidak bertutur kata. Mulutku jadi bisu seketika.

Tadi aku hanya bertanya, “Dari mana?” Tidakkah itu kata-kata bodoh dari seseorang yang telah lama saling mengenal, bahkan sampai tiga tahun?

Mungkin kau pikir aku bodoh, karena membiarkan kesempatan ini berlalu. Mungkin sekarang kau sedang mencemoohiku lantaran aku cuma pecundang di dekatnya, atau kau sedang gemas dengan diriku yang lumpuh tiba-tiba.

#4

Jarum arlojiku mengarah pada angka 16.34, ketika aku meliriknya yang melingkar di pergelangan tanganku. Aku masih ingat, di jam yang sama aku pernah membuatkan cerpen untuknya. Di hadiah ulang tahunnya tentang kisah cintanya.

Di sana, aku pernah berkisah tentang diriku yang telah lama menyukainya. Walaupun dia memilih lelaki lain, di cerita itu aku sempat merelakannya. Tentu saja di kehidupan sebenarnya aku takkan pernah melakukan hal itu. Tapi aku memang membiarkannya. Membiarkannya mencintai lelaki lain yang tidak juga mencintainya.

Dia sempat kaget membaca cerpen itu. Bertanya ia setelah membaca HVS lima lembar itu.

“Hei...kamu suka sama aku?”
“Tentu saja nggak Lun, itu kan cuma cerita...”
“Oh...Hmmm”, ia tersenyum kemudian.

Aku memang tak akan meninggalkan momen saat dia tersenyum. Aku akan memandanginya, dan aku tak pernah bosan melirik bibirnya yang seperti gincu warna merah.

Pernah pertama kali, saat aku dan dia baru masuk SMA. Saat itu senja. Kami berdua baru pulang MOS (Masa Orientasi Siswa). Aku juga sedang sakit, sepertinya dia juga. Lantaran terlalu penat dengan aktifitas seharian. Kebetulan kami satu kelas waktu itu. Jadi aku bisa mengenalnya, dan memperhatikannya.

Aku tak menyadari ketika dia memanggilku sambil berlari.
Di, kamu mau pulang?” Hei dia memanggilku.“Iya...kamu mau bareng Luna?” aku membaca nama yang tertera di nametag-nya.
Oh iya belum kenalan, padahal kita sering ketemu ya?” ia menjulurkan tangan serta tersenyum dan menampakkan barisan gigi yang rapi.
“Panggil aku Alan...”, aku menyambut perkenalan itu dengan menjabat tangannya.

Aku senang sekali hari itu. Punya kesempatan untuk bisa pulang dengan dia. Di jalan kami ngobrol banyak sekali.

Tentunya setiap poin dari percakapan kami akan kusimpan di memori terdalam yang selalu akan kuingat. Dari situ sejak pertama kali itu aku mengenal sedikit dari bagian hidupnya yang kelabu.

#5

Lelaki mana yang tak akan menyukainya Luna—kalaupun ada, pasti lelaki itu dungu. Dengan wajah yang putih mulus, bibir mungil berwarna merah muda, dan rambut yang panjangnya sebahu. Sungguh sempurna—setidaknya di mataku.

Berulang kali aku berpikir, menatap langit-langit angkot, mencari topik pembicaraan dengan perempuan yang telah lama mengurung hatiku ini, seperti mengurung sebuah merpati putih di sangkarnya.

Tentang kisah cintanya? Basi. Aku tak ingin membuatnya bersedih hanya untuk mengenang lelaki hujan itu. Lelaki yang seperti hujan di hatinya. Yang pernah aku deskripsikan sebagai seorang yang paling beruntung, karena pernah dicintai oleh Luna.

Andaikan lelaki itu aku!

Rumahku dan rumahnya hampir dekat. Memang rumah kami tak terlalu jauh. Hanya jarak beberapa meter saja. Perlahan penumpang angkot ini mulai menyusut, aku makin kecut saja karena cuma aku dan dia yang tersisa.

Pemandangan seperti biasa. Belantara hijau ala komplek kecilku akan kembali terlihat. Aku suka berada di sini mencium aromanya yang wangi. Sewangi parfum yang sedang dikenakan Luna sekarang. Sempat beberapa kali parfum itu disedu oleh hidungku, dalam hari yang sama. Wangi bunga sepertinya, tidak membuatku pusing, wanginya lembut dan tidak terlalu keras, cukup nikmat untuk dihidu.

Pemandangan hijau ini membawaku ke jalan menyusuri rumah Luna. Rupanya ia akan turun duluan. Senang rasanya bisa pulang bersama perempuan ini. Setidaknya telah lama aku menantikan momen ini—walaupun kami hanya memainkan pantomime—sejak pertama kali bertemu.

Mobil ini berhenti pada sebuah gang menuju rumah Luna. Ia menyetop angkot ini. Bersiap-siap hendak turun, dan melirik padaku, sepertinya ada sesuatu yang akan dia ucapkan.

Di, aku duluan ya...” lagi-lagi dia melempar senyum, membuatku kepayang.
Tiba-tiba saja, tanpa kusadari, aku mengucapkan sesuatu,
“Luna tunggu!”
Ucapanku barusan menyetop langkahnya, membuatnya berbalik dan menoleh padaku.
“Luna...aku suka sama kamu!”

Dia diam. Begitu pun aku. Namun matanya mencair tiba-tiba. Secair senja. Lalu diam-diam aku juga ikut-ikutan menjelma senja.



(2010)
Read More … Menjelma Senja

Fana


Fana, izinkan aku bercerita pada hujan malam ini tentang cantiknya dirimu. Hujan di bulan Januari telah membawa kita bersama hari ini. Bukankah kita berjanji untuk pergi nonton berdua? Maka dengan nekat aku membeli tiket itu siang tadi, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama denganmu. Kuatkah aku?

Satu Januari. Semalam tahun baru dan kau lebih memilih tidur ketimbang menikmati kembang api bersamaku. Kau tahu? Aku hanya menunggumu. Berjam-jam aku berharap kau keluar untuk sekedar menonton televisi. Tetapi nyatanya kau tak datang bahkan hingga 2013 menyambut kita. Aku sempat tertidur di ruang TV saking mengantuknya, tapi aku mencoba tetap kuat menunggu hingga 00.00 itu. Padahal aku tak peduli dengan pergantian tahun tiap tahun itu.

Waktu berdetak terlalu lama. Aku mencoba memejamkan mata tapi tak bisa. Bahkan saat setengah tertidur dan terjaga, aku masih berujar dalam hati, “Fana, kamu dimana? Keluarlah, aku mohon. Aku membutuhkanmu!” Aku tahu semua itu tak ada gunanya.

Maka aku beranikan diri tadi pagi untuk sekedar mengirimimu pesan singkat, “Bisakah kamu menemani saya menonton film nanti? Dengan Sammy juga.” Kau tahu? Sammy tidak termasuk ke dalam daftar orang yang akan kuajak nonton. Hanya kamu, selalu kamu. Sammy hanyalah teman agar aku tidak grogi menghabiskan waktu berdua denganmu.

Kamu adalah alasanku untuk bahagia dan bersedih sekaligus. Kamu tahu kan betapa kecewanya aku tadi pagi karena kamu tidak bersamaku menyambut malam tahun baru itu. Aku tak peduli pada tahun barunya, aku hanya peduli padamu.

Kau mengiyakan ajakanku untuk menonton film itu. Aku senang, sekaligus gugup. Jantungku berdetak kuat. Entah apa rasanya hatiku saat itu. Dan kau selalu berhasil membuatku gugup mengenai apa-apa yang berhubungan denganmu.
*

Aku memutuskan untuk membeli tiket itu duluan. Aku hanya tak ingin kehabisan tiket. Dengan perasaan campur aduk  aku berjalan kaki ke bioskop. Memesan tiket untuk tiga orang, Aku, Sammy, dan kamu. Aku tahu kau hanya bergurau saat bilang ingin dibayarkan. Tapi anggaplah ini sebagai pemberian seorang teman, (tak lebih).

Perasaanku masih campur aduk setelah kembali dari bioskop. Sedih dan gugup bercampur jadi satu. Sedih karena aku bahkan belum melihat wajahmu hari ini ataupun semalam, dan gugup karena beberapa jam lagi kau akan menonton film bersamaku, untuk pertama kali. Kombinasi yang aneh, sepertinya.

Setengah tiga sore, hujan. Melamun adalah salah stau opsi untuk menghabiskan waktu. Tiba-tiba ada pesan darimu, “Aku tak bisa ikut nonton nanti malam, tugasku masih belum beres.” Kemudian rasanya sebelah hatiku hancur dilindas mobil. Ingin rasanya memaki dirimu dan tidak lagi tersenyum padamu. Aku kecewa berat. Bahkan berpikir untuk mencabik saja tiket yang sudah kubeli tadi. Tapi tidak, aku harus realistis.
“Tak apa-apa sih, tapi aku sudah beli tiketnya. Ya sudah aku cari orang lain saja.” Aku mengetiknya dengan setengah kecewa karena hati baru saja terlindas mobil. Kemudian aku tak menyadari sebuah pesan masuk darimu,
“Oh tiketnya sudah dibeli? Ya sudah, aku jadi ikut.”

Ah sudah berapa kali kamu mempermainkan perasaanku hari ini. Tanpa kamu tahu, aku telah jatuh dalam dan semakin dalam.
*

Waktu berdetak sangat lama. Hingga jam tujuh malam, waktu yang sudah ditentukan untuk kita. Aku sudah siap sejak pukul setengah tujuh. Satu harapanku saat itu, kamu berdandan yang cantik. Aku selalu terhibur tiap melihatmu tampil begitu cantik. Karena hatiku telah kamu, mataku telah kamu.

Nyatanya kamu benar-benar cantik malam ini. Maka kita berangkat. Di bawah hujan, sepayung berdua. Klise memang, tetapi aku menikmatinya.

Kita sampai di bioskop beberapa saat sebelum film dimulai. Pada saat itu Sammy belum datang. Ah bisa-bisanya anak itu terlambat. Lalu apa yang terjadi pada kita, memainkan lakon kekasihkah? Kita hanya saling berpandangan. Aku menatapku dalam, sementara kamu membalas dengan tersenyum.

Sammy datang setelah beberapa kali ditelepon. Ia datang sambil nyengir sementara aku sedikit manyun. Benar dugaanku, Sammy bisa memecah sunyi di antara kita berdua. Ia membuat banyolan atau sekedar menceritakan pengalaman memalukanku. Ia dan aku berhasil membuatmu tertawa malam itu.

Tak kusangka ternyata yang menonton hanya 10 orang. Kita bertiga terkejut bukan? Kalau tahu begitu tak perlu kubeli tiket tadi siang. Kukira penuh bioskop ini oleh gerombolan manusia. Kita menonton dengan seksama, aku duduk di tengah, di antara kamu dan Sammy. “Cinta Tapi Beda,” sebuah film yang menceritakan kisah cinta pria dan wanita yang berbeda keyakinan. Kita menikmati film itu sambil sesekali berkomentar. Ya setidaknya Sammy adalah kritikus film yang baik jika ia tidak mengkritik film itu saat aku tengah khusyuk menonton.

Di tengah film kita masih sempat mengobrol. Aku lupa yang kita bicarakan. Aku hanya terpesona pada wajahmu. Di tengah keremangan, diterpa sedikit sinar dari layar besar itu, ternyata begitu indah. Kau tersenyum padaku, entahlah. Kemudian tangan kita bersisian. Andai aku bisa menggenggamnya. Bolehkah aku bermimpi untuk sekedar menggenggam tanganmu?

Kita tak lagi saling mengobrol saat klimaks film muncul. Pria dan wanita itu tak direstui oleh keluarganya. Padahal mereka telah berusaha untuk meminta restu. Kemudian aku merasa kisah tersebut mirip denganku, dalam konteks yang berbeda. Aku mencintaimu namun tak boleh memilikimu. Tapi kau tak mencintaiku, bahkan tak perlu kau tahu.

Inilah cinta yang berbatas perbedaan
Yang membuat jarak di antara kita
Meski keyakinan ini tak sejalan
Kita kan trus perjuangkan
Cinta ini abadi selamanya

Suara Hendra Abeth masih terngiang-ngiang di telingaku sejak pemutaran film itu. Judul lagunya Perbedaan. Terdengar syahdu sekaligus menusuk, membuatku mati secara perlahan. Meregang sakit yang tak berujung.

Secara tidak langsung, lagu tersebut cocok untukku. Cinta kita berbatas perbedaan, tidak memang. Kita sama, satu bentuk tubuh, kelamin yang sama. Soal jarak? Tentu saja, cinta ini menjadikan jarak kita makin kentara. Walaupun sebenarnya kita bisa begitu dekat, tapi hatiku selalu ragu untuk mengetuk pintu hatimu. Keyakinan tak merestui kita bersama. Juga bukan kita yang akan memperjuangkan cinta ini untuk abadi, hanya aku. Hanya aku!
*

Film itu selesai, mereka bersatu. Lalu bagaimana dengan kita?

Diam-diam aku menangis sendirian. Menangis untukmu juga untuk diriku sendiri. Ya Tuhan, betapa aku mencintai perempuan di sampingku ini dan betapa aku tak dapat memilikinya. Aku harus melupakannya sementara aku masih mencintainya. Ya Tuhan haruskah aku melupakannya? Atau haruskah aku menerima kekuranganku ini tanpa protes padamu? Lalu bagaimana dengan sakit yang selalu menusuk-nusuk ulu hatiku ini?

Semua pertanyaan itu sesungguhnya tak pernah bisa kujawab. Aku selalu stuck setiap kali pemikiran itu muncul dalam benakku. Haruskah ikhlas atau memaksakan diri untuk menjadi normal? Ini tidaklah semudah yang orang-orang pikir. Menjadi seseorang dengan kelainan hati berbeda, aku tak bilang seks. Aku tak pernah ingin menodai perempuan yang kucintai itu. Lantas kelainan macam apa ini? Sementara orang-orang di luar sana hanya dapat memaki-maki kekurangan kami tanpa pernah mau merasakan sakitnya. Mereka hanya men-judge tanpa pernah tahu luka yang kami torehkan sendiri.

Aku masih terduduk lama saat film itu selesai dan lampu bioskop kembali dinyalakan. Terang benderang sudah, dan semoga baik Sammy ataupun kamu tak melihat merah di mataku barusan. Sammy masih tetap berkomentar mengenai film tersebut padaku. Kelihatannya ia sangat tertarik karena ia juga berbeda keyakinan denganku. Sementara kamu telah berjalan duluan meninggalkan kami di belakang.

Aku benar-benar ingin menangis kecuali Sammy terus berkoar-koar di telingaku. Sesungguhnya aku hanya bisa berjalan sambil menunduk. Masih di pelataran bioskop itu. Hujan di malam hari sekitar pukul sembilan malam. Keadaan mulai gelap dan toko-toko mulai tutup. Hanya lampu jalanan dan pendar lampu mobil yang menyinari jalanan. Sementara Sammy meninggalkan kita ke toilet. Kita terpaku, aku dengan pikiranku, dan kamu dengan lamunanmu yang entah.

Sammy kembali dari toilet sambil nyengir. Kemudian kita memutuskan untuk berjalan kaki saja. Bukankah tempat tinggal kita cukup dekat dari bioskop ini. Berjalan di tengah hujan, sepayung berdua. Sesekali Bau tubuhmu diantar angin ke indera penciumanku. Selalu khas. Satu hal, aku selalu cinta pada bau tubuhmu. Kau membiarkan wangi tubuhmu apa adanya, tanpa perlu menggunakan parfum.
*

Kita dan Sammy berpisah di sebuah gang menuju tempat tinggalnya. Tinggal aku dan kamu, tak ada yang mengganggu lagi. Kita singgah sebentar di mini market karena kau hendak membeli sesuatu. Aku hanya memperhatikanmu. Yakinkah aku pada perasaanku sendiri?

Kita telah sampai di depan pintu kos-kosan. Kamu yang membuka kuncinya. Aku hanya memperhatikannya. Hingga akhirnya bibirku berujar sesuatu yang akan kusesali selamanya,
“Fana, aku…..aku mencintaimu.” Aku mengambil napas panjang, membuat jeda di antara kalimat tersebut.
Kamu tidak menjawab, hanya menatapku dengan sayu.

Aku kaku, tak bergerak. Tak percaya dengan yang kulakukan barusan. Kamu menunduk, lalu menangis, seperti memohon pertolongan. Tubuhku bergetar dan tiba-tiba hatiku luruh.

Entah apa yang akan terjadi setelah ini, Tuhan.


(2013)


Read More … Fana
Copyright 2009 Aqueous Humor. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy