Fana



Fana, izinkan aku bercerita pada hujan malam ini tentang cantiknya dirimu. Hujan di bulan Januari telah membawa kita bersama hari ini. Bukankah kita berjanji untuk pergi nonton berdua? Maka dengan nekat aku membeli tiket itu siang tadi, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama denganmu. Kuatkah aku?

Satu Januari. Semalam tahun baru dan kau lebih memilih tidur ketimbang menikmati kembang api bersamaku. Kau tahu? Aku hanya menunggumu. Berjam-jam aku berharap kau keluar untuk sekedar menonton televisi. Tetapi nyatanya kau tak datang bahkan hingga 2013 menyambut kita. Aku sempat tertidur di ruang TV saking mengantuknya, tapi aku mencoba tetap kuat menunggu hingga 00.00 itu. Padahal aku tak peduli dengan pergantian tahun tiap tahun itu.

Waktu berdetak terlalu lama. Aku mencoba memejamkan mata tapi tak bisa. Bahkan saat setengah tertidur dan terjaga, aku masih berujar dalam hati, “Fana, kamu dimana? Keluarlah, aku mohon. Aku membutuhkanmu!” Aku tahu semua itu tak ada gunanya.

Maka aku beranikan diri tadi pagi untuk sekedar mengirimimu pesan singkat, “Bisakah kamu menemani saya menonton film nanti? Dengan Sammy juga.” Kau tahu? Sammy tidak termasuk ke dalam daftar orang yang akan kuajak nonton. Hanya kamu, selalu kamu. Sammy hanyalah teman agar aku tidak grogi menghabiskan waktu berdua denganmu.

Kamu adalah alasanku untuk bahagia dan bersedih sekaligus. Kamu tahu kan betapa kecewanya aku tadi pagi karena kamu tidak bersamaku menyambut malam tahun baru itu. Aku tak peduli pada tahun barunya, aku hanya peduli padamu.

Kau mengiyakan ajakanku untuk menonton film itu. Aku senang, sekaligus gugup. Jantungku berdetak kuat. Entah apa rasanya hatiku saat itu. Dan kau selalu berhasil membuatku gugup mengenai apa-apa yang berhubungan denganmu.
*

Aku memutuskan untuk membeli tiket itu duluan. Aku hanya tak ingin kehabisan tiket. Dengan perasaan campur aduk  aku berjalan kaki ke bioskop. Memesan tiket untuk tiga orang, Aku, Sammy, dan kamu. Aku tahu kau hanya bergurau saat bilang ingin dibayarkan. Tapi anggaplah ini sebagai pemberian seorang teman, (tak lebih).

Perasaanku masih campur aduk setelah kembali dari bioskop. Sedih dan gugup bercampur jadi satu. Sedih karena aku bahkan belum melihat wajahmu hari ini ataupun semalam, dan gugup karena beberapa jam lagi kau akan menonton film bersamaku, untuk pertama kali. Kombinasi yang aneh, sepertinya.

Setengah tiga sore, hujan. Melamun adalah salah stau opsi untuk menghabiskan waktu. Tiba-tiba ada pesan darimu, “Aku tak bisa ikut nonton nanti malam, tugasku masih belum beres.” Kemudian rasanya sebelah hatiku hancur dilindas mobil. Ingin rasanya memaki dirimu dan tidak lagi tersenyum padamu. Aku kecewa berat. Bahkan berpikir untuk mencabik saja tiket yang sudah kubeli tadi. Tapi tidak, aku harus realistis.
“Tak apa-apa sih, tapi aku sudah beli tiketnya. Ya sudah aku cari orang lain saja.” Aku mengetiknya dengan setengah kecewa karena hati baru saja terlindas mobil. Kemudian aku tak menyadari sebuah pesan masuk darimu,
“Oh tiketnya sudah dibeli? Ya sudah, aku jadi ikut.”

Ah sudah berapa kali kamu mempermainkan perasaanku hari ini. Tanpa kamu tahu, aku telah jatuh dalam dan semakin dalam.
*

Waktu berdetak sangat lama. Hingga jam tujuh malam, waktu yang sudah ditentukan untuk kita. Aku sudah siap sejak pukul setengah tujuh. Satu harapanku saat itu, kamu berdandan yang cantik. Aku selalu terhibur tiap melihatmu tampil begitu cantik. Karena hatiku telah kamu, mataku telah kamu.

Nyatanya kamu benar-benar cantik malam ini. Maka kita berangkat. Di bawah hujan, sepayung berdua. Klise memang, tetapi aku menikmatinya.

Kita sampai di bioskop beberapa saat sebelum film dimulai. Pada saat itu Sammy belum datang. Ah bisa-bisanya anak itu terlambat. Lalu apa yang terjadi pada kita, memainkan lakon kekasihkah? Kita hanya saling berpandangan. Aku menatapku dalam, sementara kamu membalas dengan tersenyum.

Sammy datang setelah beberapa kali ditelepon. Ia datang sambil nyengir sementara aku sedikit manyun. Benar dugaanku, Sammy bisa memecah sunyi di antara kita berdua. Ia membuat banyolan atau sekedar menceritakan pengalaman memalukanku. Ia dan aku berhasil membuatmu tertawa malam itu.

Tak kusangka ternyata yang menonton hanya 10 orang. Kita bertiga terkejut bukan? Kalau tahu begitu tak perlu kubeli tiket tadi siang. Kukira penuh bioskop ini oleh gerombolan manusia. Kita menonton dengan seksama, aku duduk di tengah, di antara kamu dan Sammy. “Cinta Tapi Beda,” sebuah film yang menceritakan kisah cinta pria dan wanita yang berbeda keyakinan. Kita menikmati film itu sambil sesekali berkomentar. Ya setidaknya Sammy adalah kritikus film yang baik jika ia tidak mengkritik film itu saat aku tengah khusyuk menonton.

Di tengah film kita masih sempat mengobrol. Aku lupa yang kita bicarakan. Aku hanya terpesona pada wajahmu. Di tengah keremangan, diterpa sedikit sinar dari layar besar itu, ternyata begitu indah. Kau tersenyum padaku, entahlah. Kemudian tangan kita bersisian. Andai aku bisa menggenggamnya. Bolehkah aku bermimpi untuk sekedar menggenggam tanganmu?

Kita tak lagi saling mengobrol saat klimaks film muncul. Pria dan wanita itu tak direstui oleh keluarganya. Padahal mereka telah berusaha untuk meminta restu. Kemudian aku merasa kisah tersebut mirip denganku, dalam konteks yang berbeda. Aku mencintaimu namun tak boleh memilikimu. Tapi kau tak mencintaiku, bahkan tak perlu kau tahu.

Inilah cinta yang berbatas perbedaan
Yang membuat jarak di antara kita
Meski keyakinan ini tak sejalan
Kita kan trus perjuangkan
Cinta ini abadi selamanya

Suara Hendra Abeth masih terngiang-ngiang di telingaku sejak pemutaran film itu. Judul lagunya Perbedaan. Terdengar syahdu sekaligus menusuk, membuatku mati secara perlahan. Meregang sakit yang tak berujung.

Secara tidak langsung, lagu tersebut cocok untukku. Cinta kita berbatas perbedaan, tidak memang. Kita sama, satu bentuk tubuh, kelamin yang sama. Soal jarak? Tentu saja, cinta ini menjadikan jarak kita makin kentara. Walaupun sebenarnya kita bisa begitu dekat, tapi hatiku selalu ragu untuk mengetuk pintu hatimu. Keyakinan tak merestui kita bersama. Juga bukan kita yang akan memperjuangkan cinta ini untuk abadi, hanya aku. Hanya aku!
*

Film itu selesai, mereka bersatu. Lalu bagaimana dengan kita?

Diam-diam aku menangis sendirian. Menangis untukmu juga untuk diriku sendiri. Ya Tuhan, betapa aku mencintai perempuan di sampingku ini dan betapa aku tak dapat memilikinya. Aku harus melupakannya sementara aku masih mencintainya. Ya Tuhan haruskah aku melupakannya? Atau haruskah aku menerima kekuranganku ini tanpa protes padamu? Lalu bagaimana dengan sakit yang selalu menusuk-nusuk ulu hatiku ini?

Semua pertanyaan itu sesungguhnya tak pernah bisa kujawab. Aku selalu stuck setiap kali pemikiran itu muncul dalam benakku. Haruskah ikhlas atau memaksakan diri untuk menjadi normal? Ini tidaklah semudah yang orang-orang pikir. Menjadi seseorang dengan kelainan hati berbeda, aku tak bilang seks. Aku tak pernah ingin menodai perempuan yang kucintai itu. Lantas kelainan macam apa ini? Sementara orang-orang di luar sana hanya dapat memaki-maki kekurangan kami tanpa pernah mau merasakan sakitnya. Mereka hanya men-judge tanpa pernah tahu luka yang kami torehkan sendiri.

Aku masih terduduk lama saat film itu selesai dan lampu bioskop kembali dinyalakan. Terang benderang sudah, dan semoga baik Sammy ataupun kamu tak melihat merah di mataku barusan. Sammy masih tetap berkomentar mengenai film tersebut padaku. Kelihatannya ia sangat tertarik karena ia juga berbeda keyakinan denganku. Sementara kamu telah berjalan duluan meninggalkan kami di belakang.

Aku benar-benar ingin menangis kecuali Sammy terus berkoar-koar di telingaku. Sesungguhnya aku hanya bisa berjalan sambil menunduk. Masih di pelataran bioskop itu. Hujan di malam hari sekitar pukul sembilan malam. Keadaan mulai gelap dan toko-toko mulai tutup. Hanya lampu jalanan dan pendar lampu mobil yang menyinari jalanan. Sementara Sammy meninggalkan kita ke toilet. Kita terpaku, aku dengan pikiranku, dan kamu dengan lamunanmu yang entah.

Sammy kembali dari toilet sambil nyengir. Kemudian kita memutuskan untuk berjalan kaki saja. Bukankah tempat tinggal kita cukup dekat dari bioskop ini. Berjalan di tengah hujan, sepayung berdua. Sesekali Bau tubuhmu diantar angin ke indera penciumanku. Selalu khas. Satu hal, aku selalu cinta pada bau tubuhmu. Kau membiarkan wangi tubuhmu apa adanya, tanpa perlu menggunakan parfum.
*

Kita dan Sammy berpisah di sebuah gang menuju tempat tinggalnya. Tinggal aku dan kamu, tak ada yang mengganggu lagi. Kita singgah sebentar di mini market karena kau hendak membeli sesuatu. Aku hanya memperhatikanmu. Yakinkah aku pada perasaanku sendiri?

Kita telah sampai di depan pintu kos-kosan. Kamu yang membuka kuncinya. Aku hanya memperhatikannya. Hingga akhirnya bibirku berujar sesuatu yang akan kusesali selamanya,
“Fana, aku…..aku mencintaimu.” Aku mengambil napas panjang, membuat jeda di antara kalimat tersebut.
Kamu tidak menjawab, hanya menatapku dengan sayu.

Aku kaku, tak bergerak. Tak percaya dengan yang kulakukan barusan. Kamu menunduk, lalu menangis, seperti memohon pertolongan. Tubuhku bergetar dan tiba-tiba hatiku luruh.

Entah apa yang akan terjadi setelah ini, Tuhan.


(2013)


0 comments:

Posting Komentar

Copyright 2009 Aqueous Humor. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy