Lima
I wouldn’t
choose any companion in the world but you
- Shakespeare
Senja di Jatinangor begitu damai. Dari
balkon kosan, terlihat beberapa anak berlarian di gang sempit, bapak-bapak yang
sibuk mengurusi burungnya (binatang-red), dan Aa delivery service yang sumringah mengantarkan makanan ke
kosan-kosan. Oh ya, Jatinangor juga punya pemandangan sunset yang bagus. Langit tampak indah dengan warna jingga
kemerahan, seperti pipi seorang gadis yang malu karena ketahuan ngupil di foto
buku tahunan.
Gue sudah kembali dari Depok, menunggu
masa perkuliahan yang tinggal beberapa hari lagi. Sambil menunggu itu, gue
memutuskan untuk stay di Nangor saja.
Menngunjungi banyak tempat, kenalan dengan lebih banyak orang, makan makanan
yang berbeda di warteg setiap hari, dan menjahili orang yang berbeda.
Tentu saja gue menempati kosan kembali.
Oh ya, kalau di sini orang-orang menyebut kos-kosan dengan nama “pondok.” Ada
Pondok Wira, Pondok Az-Zahra, Pondok Pedekate, Pondok Nusantara, dan masih
banyak nama lain yang lebih aneh lagi. Kosan gue sendiri namanya Pondok
Muslimah. Terdiri dari dua lantai dan 14 kamar. Di bawah ada enam kamar layak
huni, dan di atas ada tujuh kamar. Bingung kan satu kamar lagi kemana? Jadi
satu lagi itu gudang, kecuali ada yang berminat mengisinya.
Penghuni pondok gue juga ada 14, jadi
ada yang sekamar berdua. Beberapa di antaranya mungkin sudah pernah gue sebut,
namun yang lainnya belum. Sejauh ini gue sudah lumayan kenal sama mereka. Nah,
kali ini gue akan nyeritain mereka
satu-satu sesuai sudut pandang gue yang minus lima dan silindris setengah.
Kiran
Bagi yang pertama kali bertemu pasti
menyangka, “Ini anak kece juga ya?” Bagi yang cowok pasti bilang, “Wah gila
maan! Gaul.” Yang cewek pasti bergumam, “Njirr stylish banget!” Tapi setelah mengenalnya pasti mereka semua serempak
bilang, “Tolooong jangan bawa gue ke dunia lo yang freak itu!” Jika ini film, akan ada gerakan flash back waktu secara cepat dan kembali ke awal pertemuan. Lalu
orang-orang akan bilang, “Oke, nama lo siapa tadi?” dengan takut-takut.
Kiran adalah gabungan anak yang urakan,
suka parno sendiri, terkadang bisa sangat menggoda, tapi kadang bisa sangat
rajin. Dia juga rajin belajar diluar gayanya yang kece badai, selain itu dia
juga teman curhat yang paling polos diantara yang lain.
Lana
Biasa dipanggil LAN dan tersedia di
gedung-gedung perkantoran....oke itu Local
Area Network! Fokus Dre! Fokus! Orangnya misterius, jarang keluar kamar,
dan jarang ngobrol sama anak kosan lain. Tetangga sebelah gue, tetapi paling
jarang ketemu gue. Pernah baca novel Eclair?
Jika di sana Stephanic ingin mengetahui apa yang dilakukan tetangganya sebelum
meninggal, maka gue pengen sekali tahu apa yang dilakukannya di kamar.
Lana kuliah keperawatan, tapi yang ada
di otaknya dan bindernya cuma gambar. Struktur bangunan, beton-beton, besi,
semen, konstruksi, yap! Benar sekali! Dia ingin jadi arsitek. Tapi putaran nasib
membawanya bertemu dengan kami, dan sepertinya dia belum siap dengan pertemuan
ini.
Widi
Anaknya supel, kuliah statistika, hobi
ketawa meskipun sesuatu yang ditertawakannya tidak lucu sama sekali. Dari dulu
sih orangnya suka ngerjain, beda tipis sama gue yang suka jahil. Orangnya
tinggi dan tiap masuk kamar gue takut kepalanya kejedot kusen pintu.
Gue kenal Widi sejak di Padang, tapi
gue nggak tahu nama dia. Anak
statistika, hobinya gila-gilaan bareng gue. Meskipun sudah kenal dan suka gaul
bareng sejak di Padang dulu, gue melupakan satu hal esensial: nama. Sejak di
Padang, gue nggak pernah tahu nama
anak ini. Dan ternyata....dia juga begitu.
Martha
Namanya Martha, kepanjangannya Marthabak,
oke itu nama makanan yang berbahan dasar tepung dan telor. Sama kayak Widi, dia
anak Statistika juga. Punya rambut bagus kayak Lindsay Lohan dan badan kayak
Alison Brie yang sedang gemuk. Anaknya kalem, tanpa alasan suka senyum-senyum
sendiri kalau ketemu gue. Martha punya logat batak yang kalau ngomong sama
orang, orangnya juga ikut-ikutan Batak.
Husna
Orang yang bertemu dia pasti terkesan
karena ia shalih, khatam tiga kali, dan baik sekali. Husna adalah anak yang
besar dari lingkungan pesantren. Biasanya kalau di kosan dia selalu pakai rok.
Pakaiannya juga selalu tertutup, dan kalau sudah ngomong soal agama, nggak ada tandingannya. Gue harap nanti
Husna bisa membawakan program religi kayak, “Mama Husna curhaaat dooong!”
Naya
Seperti yang pernah gue bilang, Naya
itu kalem. Kuliahnya Sastra Inggris sehingga jangan salah jika kalian
mendapatinya suka nonton film tanpa subtitle.
Hobinya teleponan kalau orang-orang sudah tidur. Terus main permainan tutup
telepon tuh,
“Kamu yang tutup duluan yaah”
“Kamuu ajaaa”
“Engga kamuuu ajaaa”
Habis itu pasang tampang sok unyu yang
sebetulnya memuakkan. Oke, kalian pernah lihat stand up comedy yang bertajuk seperti ini? Kurang lebih
deskripsinya seperti itu.
Yaya
Anaknya polos tapi bisa menggelinjang
tiba-tiba. Hal yang ngenes pas habis kenalan sama dia adalah ketika dia terlalu
excited ngeliat gue dan tidak
memperhatikan jalan, dia nabrak meja setrikaan. Dan gue tahu, itu sakit banget!
No matter, urang awak yang satu ini
kuliah statistika dan punya kelebihan lemak yang bisa dipakai buat hibernasi di
musim dingin. Sukanya sama sekuel Twilight, One Direction, kadang suka juga
dengerin Maroon Five, Bruno Mars, pokoknya lagu yang bisa bikin happy deh.
Caca
Kalau ini film pendek, maka
akan ada backsound lagu Bruno Mars
yang Count on Me dan langsung
terpampang foto Cacadia lagi monyongin bibir,
plus nama. Jadi
anak ini memang asli bisa banget monyongin bibir. Pas lagi ngambek, pas lagi
bete, tiba-tiba dia monyong, dan itu lucu banget. Orangnya asli unyu, punya
pipi yang enak banget buat dicubitin. Intinya sih, orangnya enak banget buat
diangkat jadi adek kandung (?)
Tapi meskipun unyu begitu, dia dan keluarganya sedikit idiot.
Beberapa hari yang lalu, waktu gue lagi internetan di atas, gue tiba-tiba
dimintain tolong sama bapaknya buat bukain pintu kamar. Jadi mereka sekeluarga
sudah dua jam terkunci di kamar dan kosan lagi kosong. Berawal dari check and ricek gembok baru sih.
Begitulah kejadian aneh yang gue ingat tentang dia.
Deefa
Gue udah sering cerita kan tentang neng yang satu ini?
Senyumnya yang bikin tentram, sinar matanya yang penuh semangat, dan
pembawaannya yang selalu ceria. Namun dibalik semua itu siapa yang tahu? Deefa
adalah orang yang kalau diajak ngobrol bisa bikin semangat lagi, bikin nggak galau, dan easy going. Pokoknya dia adalah segala yang dibutuhkan sebagai
teman (pacar doong?) Ah, tapi mata
gue telah jatuh pada seseorang bermata sayu itu.
Anak sistem informasi yang satu ini ngakunya tidak begitu
suka dengan dunia IT, tapi bisa menginstall ulang komputer dengan cepat, unlock wifi, suhu phtoshop, dan berbagai
macam trik lainnya. Deefa adalah penggemar beratnya One Direction, dan lagu favoritnya adalah Little Things.
Nisa
Karakternya nggak
jauh beda sama Deefa. Suka kemana-mana bareng, makan bareng, belajar bareng,
bahkan tidur juga bareng (?) Kuliah Fisika, tapi tampangnya tidak seperti Hukum
Archimedes ataupun teori mekanika kuantumnya Max Born, untungnya! Menyukai
segala jenis hal tentang boy band dan
girl band korea sekaligus dramanya.
Penggemar berat Yoona SNSD, Krystal Fx, dan berharap suatu hari nanti bisa
ikutan dance cover bareng mereka.
Rara
Selanjutnya ada Rara yang biasanya suka nyolot, lemot,
dan kadang idiot. Dia adalah orang yang pede aja mau ngomongin apa. Penggemar
K-Pop juga, tapi ngakunya masih ngefans berat sama Agnes Monica. Masih satu
aliran sama Nisa yang begitu menyukai Yoona dan teman-teman, tapi Rara lebih
suka sama Boa, Shinee, Suju, dll. Oh ya, dia masih tetap dengerin lagu-lagunya
Alicia Keys, Pink, Rihana, dan penyanyi solo barat lainnya. Tunggu, ini berarti
dia suka semua aliran musik ya?
Kuliah keperawatan sama seperti Lana, tapi punya
kepribadian yang jauh beda sama temen sekamarnya, Tanri.
Tanri
Tanri ini orangnya kalem, mukanya suka jutek, dan tatapan
matanya tajam, setajam silet. Kadang gue ngeri kalau lihat dia, berasa mau
dipalak. Orangnya banyakan diem, tapi
kadang suka ngaco. Pas Ospek Universitas jam lima pagi, dia sudah keluar dan
siap berangkat. Terus tiba-tiba ngomong sendiri, “Eh kacamata gue ketinggalan
ya? Pantesan kabur...” Gue speechless
melihatnya.
Kuliah keperawatan juga tapi menyukai banyak hal tentang
dunia silat, khususnya organisasi merpati putih. Mungkin dulu film favoritnya
Joko Tingkir dan Wiro Sableng yang sekarang film sejenis itu sudah banyak
sekuelnya di Indosiar. Tapi gue nggak
berharap anak ini bakal naik elang kemana-mana, pelihara naga, atau kegiatan
sejenis.
Fana
Dia adalah seluruh definisi gue tentang cinta, dan jika
nanti gue kehilangan seluruh definisi itu, gue akan tetap mencintainya. Jatuh
cinta kadang membuat kita naif ya? Gue suka semua hal tentang dia. Matanya,
senyumnya yang tipis, cara berjalannya, sikap misteriusnya, dan karakternya
yang feminim. Meskipun gue belum banyak berinteraksi dengan dia, gue belum
kenal dekat dengan dia, bahkan gue belum tahu orangnya seperti apa.
Tapi, seperti sebuah teori Psikologi Komunikasi. Ada karakter-karakter
tertentu yang dimiliki seseorang dan sesuai dengan gambaran-gambaran yang ada
dalam pengalaman kita, sehingga kita bisa saja benci ketika pertama kali
melihatnya atau langsung suka ketika pertama kali bertemu. Padahal kita belum
pernah bicara padanya. Itu kata Jalaluddin Rakhmat. Sederhananya begini, banyak
sekali ingatan tentang orang-orang dalam pikiran kalian, yang dibenci ataupun
dicintai. Nah tumpukan memori itu membuat kita melihat orang baru sesuai dengan
persepsi kita terhadap orang-orang yang kita kenal di masa lalu. Misal ekspresi
sendunya membuat kita merasa dekat, gaya humornya membuat kita nyaman di
dekatnya, atau raut sinisnya langsung membuat kita benci.
Lalu, apakah gue jatuh cinta pada Fana karena
ciri-cirinya kurang lebih sama dengan mantan gue sebelumnya? Bisa jadi begitu.
***
Selain suka baca bukunya Andrea Hirata, Dewi Lestari, Ahmad
Fuadi, Damien Dematra, atau penulis-penulis novel lainnya seperti Fauzan
Mukrim, Dendi Riandi, Roy Saputra, dan Pribadi Prananta, gue juga suka
baca-baca novelnya Tere Liye. Gaya Bang Tere dalam menulis novel kadang memang
bikin ngehe sendiri. Orang-orang yang
sedang galau bisa jadi tambah galau dibuatnya. Buku-buku galaunya misalnya
Sepotong Hati yang Baru, Berjuta Rasanya, atau Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah
bisa bikin galau seharian.
“Hanya perlu
bersabar, dan semua skenario baik itu tercipta sendiri.” Itu kata Bang Tere
dalam novelnya Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah, dan gue mengamininya. Rasa
penasaran menyelimuti gue selama di Depok kemarin. Ya, gue penasaran dengan
Fana. Mengapa dia begitu pendiam, mengapa dia terlihat sangat misterius? Dan
kemungkinan-kemungkinan lain yang gue reka-reka sendiri di otak. Bahkan saat
ini, saat menemani Deefa yang lagi menghias kamar, gue masih mikirin dia.
“Ini cocoknya di sini kai ya?” Deefa dengan semangat
menata kamar dengan poster band favoritnya, One Direction.
“Hmmm....iya,” gue melihatnya dengan tatapan kosong.
Gue masih mengingat kejadian kemarin sore, pas gue
tiba-tiba ketemu Fana di dekat jemuran. Gue langsung sumringah dan langsung
menyapanya.
“Heeeei kamuuu...”
Dia menatap gue dengan bengong.
“Aaaah, maaf gue salah orang (lagi)” Ya, dengan malunya
gue mengakui bahwa gue mengira itu Deefa.
Gue langsung pergi waktu itu, meninggalkannya dengan
sejuta tanda tanya, “Ini orang geblek apa idiot ya? Salah orang melulu!”
Tupai tidak akan jatuh ke lubang yang sama. Yah, gue kan
bukan tupai! Tidak masalah dong kalau khilaf lagi. Dan seperti kata Bang Tere
lagi, “Ah, cinta selalu saja misterius.
Jangan diburu-buru atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.” Maka
pertemuan gue dengan Fana yang absurd tersebut adalah salah satu skenario Tuhan
yang tidak gue pahami.
“Dre, kenapa? Kesambet setan mana?”
“Haaah....” Gue melongo, pertanyaan Deefa barusan membuat
gue kembali ke bumi.
“Eh engga Dee, gue lagi ga enak badan aja kayaknya...’
“Hoo gitu? Balik kamar aja atuh, istirahaat. Aku bisa
masangin posternya sendiri kok.”
“Gue keinget Nisa, Dee...”
Gue memang lagi ingat Fana, sekaligus ingat peristiwa
yang dialami Nisa beberapa hari lalu. Peristiwa yang membuat kami malu sebagai
teman.
***
“Udah udaah, tenaang. Kita makan dulu habis itu beli obat
buat Nisa ya.”
Gue mencoba menghibur Deefa yang sedikit khawatir karena
teman seperjuangannya sakit.
“Mudah-mudahan gapapa yaa...”
Malam ini gue makan berdua bareng Deefa...di warteg.
Harusnya eksklusif karena ini makan malam pertama kami berdua saja. Tapi please gue tidak serendah itu untuk
memanfaatkan keadaan. Nisa sendiri lagi sakit dan memutuskan untuk istirahat di
kosan. Maka setelah makan malam, gue berkeliling ke apotek-apotek bersama Deefa
untuk membeli obat.
Setelah mengecek keadaan dan memastikan keadaan Nisa
baik-baik saja, gue memutuskan untuk balik ke kamar sendiri dan pamit pada
Deefa. Di kamar gue memutuskan untuk baca-baca sebentar dan kemudian tidur.
Sudah larut juga, pikir gue. Di kamar atas Nisa barangkali juga sedang tidur,
mudah-mudahan saja sakitnya hanya demam biasa. Barangkali Deefa yang terlalu
khawatir. Gue membatin dalam hati.
“Arrrrgghhh...” Jam tiga pagi dan gue terbangun karena
alergi. Bintik-bintik merah muncul di kaki, gatal setengah mati, membuat gue
tidak bisa tidur lagi.
Sambil mengolesi kaki dengan minyak kayu putih, gue
membuka twitter dan melihat timeline. Nisa sedang mengeluhkan sakitnya di sana.
“Aduuuh sakit banget, udah ga kuat lagi...”
Kemudian gue me-reply
tweet tersebut, “Iyaak teruskan! Tarik napas...hembuskaaan!” Tentu saja gue
nggak bilang itu woooy!
“Kamu kenapa Nisa? Perlu minyak kayu putih atau obat?”
Gue memilih untuk membalas dengan normal, tak lama
kemudian ada balasan lagi darinya.
“Gapapa kok Dre, nanti ngerepotin...”
“Yaudah, nanti kalo butuh sesuatu telepon aja ya...”
Bodohnya membalas seperti itu. Bukannya menyusul ke atas,
gue malah mencoba tidur kembali.
Beberapa menit kemudian terdengar suara bel, lalu ada
yang menyahut.
“Ayaaah?” Itu suara Nisa dari atas.
“Iyaaa...”
“Tuiiing,” dia melempar kunci kosan dari atas karena
tidak sanggup turun ke bawah (ada saran bunyi kunci yang lebih baik?).
Ayahnya lalu masuk dan naik ke atas, dan gue nggak turun
sama sekali. Beberapa kali suara grasak-grusuk terdengar dari atas. Gue nggak tahu itu apa, yang jelas sedang
tidak ada pertandingan gulat di atas. Hingga beberapa menit kemudian Nisa dan
ayahnya turun dan pergi. Mereka pulang ke rumah. Dan bodohnya gue karena tidak
keluar dari kamar sama sekali. I didn’t
get out of my room just even one minute! How pathetic I was.
Keesokan harinya gue menanyakan kejadian Nisa semalam
pada Deefa.
“Dee, semalam tahu ga?”
“Iyaaa...aku tahu, dan aku baru keluar pas ayahnya Nisa
dateng.”
“Mending, aku udah bangun waktu itu tapi ga keluar kamar.
Bego banget malah!”
“Aku baru keluar pas ayahnya dateng, dan aku ga sadar
kalo sebelum itu dia lagi sakit banget!”
Kami berdua terdiam, sama-sama menyesal karena tidak bisa
menjadi teman yang dapat diandalkan.
“Aku kena tipes...”
Dua pesan masuk, satu di handphone gue, dan satu lagi untuk Deefa. Pesan itu, dari Nisa.
***
Semenjak Nisa sakit, apa-apa dilakuin Deefa bareng gue. Makan bareng, nonton streaming bareng, nyanyi-nyanyi nggak jelas bareng, ejek-ejekan bareng,
mandi aja sih yang nggak bareng.
Pernah suatu kali dia nemenin gue tidur, soalnya gue lagi ketakutan. Malam itu,
dia membawa semua barang-barangnya ke kamar gue dan dengan ikhlas tidur bareng
gue.
Gue nggak bisa
tidur malam itu. Jadinya ya gue baca buku saja. Romannya Remy Sylado, Matahari,
menemani gue menghabiskan malam yang dingin. Selain itu, Deefa mengigau yang
tidak gue mengerti.
“Aku ga apa-apa, aku ga kenapa-napa...”
Gue yang bingung langsung melihat ke arahnya.
“Dee, kamu kenapa?”
Dia melihat ke gue lalu tersenyum, “Aku gapapa...” habis
itu dia tidur lagi.
Malam itu, setelah melihatnya tertidur pulas, mengigau,
dan semua hal yang sudah kita lewati bareng-bareng, gue menyadari satu hal. Gue
tidak mencintainya, gue memang nyaman bersamanya, suka ngobrol lama-lama, dan
menyukai sikap cerianya. Tapi bukan seperti ini definisi cinta yang pernah ada
dalam kamus gue.
Semua definisi itu masih pada Fana...