Progress Novel Untitled dan Problemnya


Well, setelah akhir-akhir ini disibukan dengan novel untitled ini, gue mau cerita sedikit tentang progressnya.

Jadi gue udah nulis sebanyak lima bab, dan sekarang sudah mau otw ke bab enam. Tapi banyak yang bilang kalau konfliknya kayak belum muncul, padahal ini udah pertengahan cerita. Gue memang baru mau cerita tentang penderitaan tokoh utama itu di bab enam sama bab tujuh. Tapi seperti tadi, gue merasa telat konfliknya.

Gue pernah baca blognya mas Dendi di dendiriandi.com di sana dia bilang bahwa lebih bagus novel itu konfliknya langsung ditayangkan lebih dulu. Kalau ga ya ceritanya bakal ditinggalin pembaca karena ceritanya belum berkembang.

Oh ya, gue juga punya masalah sama karakter-karakter dalam novel itu. Karakter yang sebagiannya nyata itu protes ke gue, bilang bahwa gue sesuka hati memainkan karakter. Oh ya, karakter di sana juga banyak banget, setelah Audrey (Alwin), temen kosnya yang 14, Andin, Ayah Bunda, belum lagi temen-temennya di kampus ntar, terus juga ada cerita-cerita masa lalunya. Jadi gue merasa terlalu banyak make tokoh, takutnya ga fokus.

Novel ini kan jalan ceritanya perpindahan roh ya, dari Audrey ke Alwin pas dia kecelakaan pesawat, bad news-nya adalah gue belum menemukan judul yang pas buat novel ini. Astagaaa!

Another problem is, gue suka nunda-nunda buat nulis. Nonton dulu lah, baca dulu lah, main game dulu, apalagi sekarang puasa, malesnya kebangetan. Selain itu, semua referensi buku yang biasa jadi inspirasi gue ketinggalan di nangor.

And the ultimate problem is, charger laptop rusak. Menghalangi pergerakan banget, setelah kemaren service ulang, sekarang ada aja masalahnya.

Well, anyone can help?
Read More … Progress Novel Untitled dan Problemnya

Novel Bab 5



Lima



I wouldn’t choose any companion in the world but you

- Shakespeare

Senja di Jatinangor begitu damai. Dari balkon kosan, terlihat beberapa anak berlarian di gang sempit, bapak-bapak yang sibuk mengurusi burungnya (binatang-red), dan Aa delivery service yang sumringah mengantarkan makanan ke kosan-kosan. Oh ya, Jatinangor juga punya pemandangan sunset yang bagus. Langit tampak indah dengan warna jingga kemerahan, seperti pipi seorang gadis yang malu karena ketahuan ngupil di foto buku tahunan.
Gue sudah kembali dari Depok, menunggu masa perkuliahan yang tinggal beberapa hari lagi. Sambil menunggu itu, gue memutuskan untuk stay di Nangor saja. Menngunjungi banyak tempat, kenalan dengan lebih banyak orang, makan makanan yang berbeda di warteg setiap hari, dan menjahili orang yang berbeda.
Tentu saja gue menempati kosan kembali. Oh ya, kalau di sini orang-orang menyebut kos-kosan dengan nama “pondok.” Ada Pondok Wira, Pondok Az-Zahra, Pondok Pedekate, Pondok Nusantara, dan masih banyak nama lain yang lebih aneh lagi. Kosan gue sendiri namanya Pondok Muslimah. Terdiri dari dua lantai dan 14 kamar. Di bawah ada enam kamar layak huni, dan di atas ada tujuh kamar. Bingung kan satu kamar lagi kemana? Jadi satu lagi itu gudang, kecuali ada yang berminat mengisinya.
Penghuni pondok gue juga ada 14, jadi ada yang sekamar berdua. Beberapa di antaranya mungkin sudah pernah gue sebut, namun yang lainnya belum. Sejauh ini gue sudah lumayan kenal sama mereka. Nah, kali ini gue akan nyeritain mereka satu-satu sesuai sudut pandang gue yang minus lima dan silindris setengah.
Kiran
Bagi yang pertama kali bertemu pasti menyangka, “Ini anak kece juga ya?” Bagi yang cowok pasti bilang, “Wah gila maan! Gaul.” Yang cewek pasti bergumam, “Njirr stylish banget!” Tapi setelah mengenalnya pasti mereka semua serempak bilang, “Tolooong jangan bawa gue ke dunia lo yang freak itu!” Jika ini film, akan ada gerakan flash back waktu secara cepat dan kembali ke awal pertemuan. Lalu orang-orang akan bilang, “Oke, nama lo siapa tadi?” dengan takut-takut.
Kiran adalah gabungan anak yang urakan, suka parno sendiri, terkadang bisa sangat menggoda, tapi kadang bisa sangat rajin. Dia juga rajin belajar diluar gayanya yang kece badai, selain itu dia juga teman curhat yang paling polos diantara yang lain.
Lana
Biasa dipanggil LAN dan tersedia di gedung-gedung perkantoran....oke itu Local Area Network! Fokus Dre! Fokus! Orangnya misterius, jarang keluar kamar, dan jarang ngobrol sama anak kosan lain. Tetangga sebelah gue, tetapi paling jarang ketemu gue. Pernah baca novel Eclair? Jika di sana Stephanic ingin mengetahui apa yang dilakukan tetangganya sebelum meninggal, maka gue pengen sekali tahu apa yang dilakukannya di kamar.
Lana kuliah keperawatan, tapi yang ada di otaknya dan bindernya cuma gambar. Struktur bangunan, beton-beton, besi, semen, konstruksi, yap! Benar sekali! Dia ingin jadi arsitek. Tapi putaran nasib membawanya bertemu dengan kami, dan sepertinya dia belum siap dengan pertemuan ini.
Widi
Anaknya supel, kuliah statistika, hobi ketawa meskipun sesuatu yang ditertawakannya tidak lucu sama sekali. Dari dulu sih orangnya suka ngerjain, beda tipis sama gue yang suka jahil. Orangnya tinggi dan tiap masuk kamar gue takut kepalanya kejedot kusen pintu.
Gue kenal Widi sejak di Padang, tapi gue nggak tahu nama dia. Anak statistika, hobinya gila-gilaan bareng gue. Meskipun sudah kenal dan suka gaul bareng sejak di Padang dulu, gue melupakan satu hal esensial: nama. Sejak di Padang, gue nggak pernah tahu nama anak ini. Dan ternyata....dia juga begitu.
Martha
Namanya Martha, kepanjangannya Marthabak, oke itu nama makanan yang berbahan dasar tepung dan telor. Sama kayak Widi, dia anak Statistika juga. Punya rambut bagus kayak Lindsay Lohan dan badan kayak Alison Brie yang sedang gemuk. Anaknya kalem, tanpa alasan suka senyum-senyum sendiri kalau ketemu gue. Martha punya logat batak yang kalau ngomong sama orang, orangnya juga ikut-ikutan Batak.
Husna
Orang yang bertemu dia pasti terkesan karena ia shalih, khatam tiga kali, dan baik sekali. Husna adalah anak yang besar dari lingkungan pesantren. Biasanya kalau di kosan dia selalu pakai rok. Pakaiannya juga selalu tertutup, dan kalau sudah ngomong soal agama, nggak ada tandingannya. Gue harap nanti Husna bisa membawakan program religi kayak, “Mama Husna curhaaat dooong!”
Naya
Seperti yang pernah gue bilang, Naya itu kalem. Kuliahnya Sastra Inggris sehingga jangan salah jika kalian mendapatinya suka nonton film tanpa subtitle. Hobinya teleponan kalau orang-orang sudah tidur. Terus main permainan tutup telepon tuh,
“Kamu yang tutup duluan yaah”
“Kamuu ajaaa”
“Engga kamuuu ajaaa”
Habis itu pasang tampang sok unyu yang sebetulnya memuakkan. Oke, kalian pernah lihat stand up comedy yang bertajuk seperti ini? Kurang lebih deskripsinya seperti itu.
Yaya
Anaknya polos tapi bisa menggelinjang tiba-tiba. Hal yang ngenes pas habis kenalan sama dia adalah ketika dia terlalu excited ngeliat gue dan tidak memperhatikan jalan, dia nabrak meja setrikaan. Dan gue tahu, itu sakit banget! No matter, urang awak yang satu ini kuliah statistika dan punya kelebihan lemak yang bisa dipakai buat hibernasi di musim dingin. Sukanya sama sekuel Twilight, One Direction, kadang suka juga dengerin Maroon Five, Bruno Mars, pokoknya lagu yang bisa bikin happy deh.
Caca
Kalau ini film pendek, maka akan ada backsound lagu Bruno Mars yang Count on Me dan langsung terpampang foto Cacadia lagi monyongin bibir, plus nama. Jadi anak ini memang asli bisa banget monyongin bibir. Pas lagi ngambek, pas lagi bete, tiba-tiba dia monyong, dan itu lucu banget. Orangnya asli unyu, punya pipi yang enak banget buat dicubitin. Intinya sih, orangnya enak banget buat diangkat jadi adek kandung (?)
Tapi meskipun unyu begitu, dia dan keluarganya sedikit idiot. Beberapa hari yang lalu, waktu gue lagi internetan di atas, gue tiba-tiba dimintain tolong sama bapaknya buat bukain pintu kamar. Jadi mereka sekeluarga sudah dua jam terkunci di kamar dan kosan lagi kosong. Berawal dari check and ricek gembok baru sih. Begitulah kejadian aneh yang gue ingat tentang dia.
Deefa
Gue udah sering cerita kan tentang neng yang satu ini? Senyumnya yang bikin tentram, sinar matanya yang penuh semangat, dan pembawaannya yang selalu ceria. Namun dibalik semua itu siapa yang tahu? Deefa adalah orang yang kalau diajak ngobrol bisa bikin semangat lagi, bikin nggak galau, dan easy going. Pokoknya dia adalah segala yang dibutuhkan sebagai teman (pacar doong?) Ah, tapi mata gue telah jatuh pada seseorang bermata sayu itu.
Anak sistem informasi yang satu ini ngakunya tidak begitu suka dengan dunia IT, tapi bisa menginstall ulang komputer dengan cepat, unlock wifi, suhu phtoshop, dan berbagai macam trik lainnya. Deefa adalah penggemar beratnya One Direction, dan lagu favoritnya adalah Little Things.
Nisa
Karakternya nggak jauh beda sama Deefa. Suka kemana-mana bareng, makan bareng, belajar bareng, bahkan tidur juga bareng (?) Kuliah Fisika, tapi tampangnya tidak seperti Hukum Archimedes ataupun teori mekanika kuantumnya Max Born, untungnya! Menyukai segala jenis hal tentang boy band dan girl band korea sekaligus dramanya. Penggemar berat Yoona SNSD, Krystal Fx, dan berharap suatu hari nanti bisa ikutan dance cover bareng mereka.
Rara
Selanjutnya ada Rara yang biasanya suka nyolot, lemot, dan kadang idiot. Dia adalah orang yang pede aja mau ngomongin apa. Penggemar K-Pop juga, tapi ngakunya masih ngefans berat sama Agnes Monica. Masih satu aliran sama Nisa yang begitu menyukai Yoona dan teman-teman, tapi Rara lebih suka sama Boa, Shinee, Suju, dll. Oh ya, dia masih tetap dengerin lagu-lagunya Alicia Keys, Pink, Rihana, dan penyanyi solo barat lainnya. Tunggu, ini berarti dia suka semua aliran musik ya?
Kuliah keperawatan sama seperti Lana, tapi punya kepribadian yang jauh beda sama temen sekamarnya, Tanri.
Tanri
Tanri ini orangnya kalem, mukanya suka jutek, dan tatapan matanya tajam, setajam silet. Kadang gue ngeri kalau lihat dia, berasa mau dipalak. Orangnya banyakan diem, tapi kadang suka ngaco. Pas Ospek Universitas jam lima pagi, dia sudah keluar dan siap berangkat. Terus tiba-tiba ngomong sendiri, “Eh kacamata gue ketinggalan ya? Pantesan kabur...” Gue speechless melihatnya.
Kuliah keperawatan juga tapi menyukai banyak hal tentang dunia silat, khususnya organisasi merpati putih. Mungkin dulu film favoritnya Joko Tingkir dan Wiro Sableng yang sekarang film sejenis itu sudah banyak sekuelnya di Indosiar. Tapi gue nggak berharap anak ini bakal naik elang kemana-mana, pelihara naga, atau kegiatan sejenis.
 Fana
Dia adalah seluruh definisi gue tentang cinta, dan jika nanti gue kehilangan seluruh definisi itu, gue akan tetap mencintainya. Jatuh cinta kadang membuat kita naif ya? Gue suka semua hal tentang dia. Matanya, senyumnya yang tipis, cara berjalannya, sikap misteriusnya, dan karakternya yang feminim. Meskipun gue belum banyak berinteraksi dengan dia, gue belum kenal dekat dengan dia, bahkan gue belum tahu orangnya seperti apa.
Tapi, seperti sebuah teori Psikologi Komunikasi. Ada karakter-karakter tertentu yang dimiliki seseorang dan sesuai dengan gambaran-gambaran yang ada dalam pengalaman kita, sehingga kita bisa saja benci ketika pertama kali melihatnya atau langsung suka ketika pertama kali bertemu. Padahal kita belum pernah bicara padanya. Itu kata Jalaluddin Rakhmat. Sederhananya begini, banyak sekali ingatan tentang orang-orang dalam pikiran kalian, yang dibenci ataupun dicintai. Nah tumpukan memori itu membuat kita melihat orang baru sesuai dengan persepsi kita terhadap orang-orang yang kita kenal di masa lalu. Misal ekspresi sendunya membuat kita merasa dekat, gaya humornya membuat kita nyaman di dekatnya, atau raut sinisnya langsung membuat kita benci.
Lalu, apakah gue jatuh cinta pada Fana karena ciri-cirinya kurang lebih sama dengan mantan gue sebelumnya? Bisa jadi begitu.
***
Selain suka baca bukunya Andrea Hirata, Dewi Lestari, Ahmad Fuadi, Damien Dematra, atau penulis-penulis novel lainnya seperti Fauzan Mukrim, Dendi Riandi, Roy Saputra, dan Pribadi Prananta, gue juga suka baca-baca novelnya Tere Liye. Gaya Bang Tere dalam menulis novel kadang memang bikin ngehe sendiri. Orang-orang yang sedang galau bisa jadi tambah galau dibuatnya. Buku-buku galaunya misalnya Sepotong Hati yang Baru, Berjuta Rasanya, atau Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah bisa bikin galau seharian.
Hanya perlu bersabar, dan semua skenario baik itu tercipta sendiri.” Itu kata Bang Tere dalam novelnya Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah, dan gue mengamininya. Rasa penasaran menyelimuti gue selama di Depok kemarin. Ya, gue penasaran dengan Fana. Mengapa dia begitu pendiam, mengapa dia terlihat sangat misterius? Dan kemungkinan-kemungkinan lain yang gue reka-reka sendiri di otak. Bahkan saat ini, saat menemani Deefa yang lagi menghias kamar, gue masih mikirin dia.
“Ini cocoknya di sini kai ya?” Deefa dengan semangat menata kamar dengan poster band favoritnya, One Direction.
“Hmmm....iya,” gue melihatnya dengan tatapan kosong.
Gue masih mengingat kejadian kemarin sore, pas gue tiba-tiba ketemu Fana di dekat jemuran. Gue langsung sumringah dan langsung menyapanya.
“Heeeei kamuuu...”
Dia menatap gue dengan bengong.
“Aaaah, maaf gue salah orang (lagi)” Ya, dengan malunya gue mengakui bahwa gue mengira itu Deefa.
Gue langsung pergi waktu itu, meninggalkannya dengan sejuta tanda tanya, “Ini orang geblek apa idiot ya? Salah orang melulu!”
Tupai tidak akan jatuh ke lubang yang sama. Yah, gue kan bukan tupai! Tidak masalah dong kalau khilaf lagi. Dan seperti kata Bang Tere lagi, “Ah, cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.” Maka pertemuan gue dengan Fana yang absurd tersebut adalah salah satu skenario Tuhan yang tidak gue pahami.
“Dre, kenapa? Kesambet setan mana?”
“Haaah....” Gue melongo, pertanyaan Deefa barusan membuat gue kembali ke bumi.
“Eh engga Dee, gue lagi ga enak badan aja kayaknya...’
“Hoo gitu? Balik kamar aja atuh, istirahaat. Aku bisa masangin posternya sendiri kok.”
“Gue keinget Nisa, Dee...”
Gue memang lagi ingat Fana, sekaligus ingat peristiwa yang dialami Nisa beberapa hari lalu. Peristiwa yang membuat kami malu sebagai teman.
***
“Udah udaah, tenaang. Kita makan dulu habis itu beli obat buat Nisa ya.”
Gue mencoba menghibur Deefa yang sedikit khawatir karena teman seperjuangannya sakit.
“Mudah-mudahan gapapa yaa...”
Malam ini gue makan berdua bareng Deefa...di warteg. Harusnya eksklusif karena ini makan malam pertama kami berdua saja. Tapi please gue tidak serendah itu untuk memanfaatkan keadaan. Nisa sendiri lagi sakit dan memutuskan untuk istirahat di kosan. Maka setelah makan malam, gue berkeliling ke apotek-apotek bersama Deefa untuk membeli obat.
Setelah mengecek keadaan dan memastikan keadaan Nisa baik-baik saja, gue memutuskan untuk balik ke kamar sendiri dan pamit pada Deefa. Di kamar gue memutuskan untuk baca-baca sebentar dan kemudian tidur. Sudah larut juga, pikir gue. Di kamar atas Nisa barangkali juga sedang tidur, mudah-mudahan saja sakitnya hanya demam biasa. Barangkali Deefa yang terlalu khawatir. Gue membatin dalam hati.
“Arrrrgghhh...” Jam tiga pagi dan gue terbangun karena alergi. Bintik-bintik merah muncul di kaki, gatal setengah mati, membuat gue tidak bisa tidur lagi.
Sambil mengolesi kaki dengan minyak kayu putih, gue membuka twitter dan melihat timeline. Nisa sedang mengeluhkan sakitnya di sana.
“Aduuuh sakit banget, udah ga kuat lagi...”
Kemudian gue me-reply tweet tersebut, “Iyaak teruskan! Tarik napas...hembuskaaan!” Tentu saja gue nggak bilang itu woooy!
“Kamu kenapa Nisa? Perlu minyak kayu putih atau obat?”
Gue memilih untuk membalas dengan normal, tak lama kemudian ada balasan lagi darinya.
“Gapapa kok Dre, nanti ngerepotin...”
“Yaudah, nanti kalo butuh sesuatu telepon aja ya...”
Bodohnya membalas seperti itu. Bukannya menyusul ke atas, gue malah mencoba tidur kembali.
Beberapa menit kemudian terdengar suara bel, lalu ada yang menyahut.
“Ayaaah?” Itu suara Nisa dari atas.
“Iyaaa...”
“Tuiiing,” dia melempar kunci kosan dari atas karena tidak sanggup turun ke bawah (ada saran bunyi kunci yang lebih baik?).
Ayahnya lalu masuk dan naik ke atas, dan gue nggak turun sama sekali. Beberapa kali suara grasak-grusuk terdengar dari atas. Gue nggak tahu itu apa, yang jelas sedang tidak ada pertandingan gulat di atas. Hingga beberapa menit kemudian Nisa dan ayahnya turun dan pergi. Mereka pulang ke rumah. Dan bodohnya gue karena tidak keluar dari kamar sama sekali. I didn’t get out of my room just even one minute! How pathetic I was.
Keesokan harinya gue menanyakan kejadian Nisa semalam pada Deefa.
“Dee, semalam tahu ga?”
“Iyaaa...aku tahu, dan aku baru keluar pas ayahnya Nisa dateng.”
“Mending, aku udah bangun waktu itu tapi ga keluar kamar. Bego banget malah!”
“Aku baru keluar pas ayahnya dateng, dan aku ga sadar kalo sebelum itu dia lagi sakit banget!”
Kami berdua terdiam, sama-sama menyesal karena tidak bisa menjadi teman yang dapat diandalkan.
“Aku kena tipes...”
Dua pesan masuk, satu di handphone gue, dan satu lagi untuk Deefa. Pesan itu, dari Nisa.
***
Semenjak Nisa sakit, apa-apa dilakuin Deefa bareng gue. Makan bareng, nonton streaming bareng, nyanyi-nyanyi nggak jelas bareng, ejek-ejekan bareng, mandi aja sih yang nggak bareng. Pernah suatu kali dia nemenin gue tidur, soalnya gue lagi ketakutan. Malam itu, dia membawa semua barang-barangnya ke kamar gue dan dengan ikhlas tidur bareng gue.
Gue nggak bisa tidur malam itu. Jadinya ya gue baca buku saja. Romannya Remy Sylado, Matahari, menemani gue menghabiskan malam yang dingin. Selain itu, Deefa mengigau yang tidak gue mengerti.
“Aku ga apa-apa, aku ga kenapa-napa...”
Gue yang bingung langsung melihat ke arahnya.
“Dee, kamu kenapa?”
Dia melihat ke gue lalu tersenyum, “Aku gapapa...” habis itu dia tidur lagi.
Malam itu, setelah melihatnya tertidur pulas, mengigau, dan semua hal yang sudah kita lewati bareng-bareng, gue menyadari satu hal. Gue tidak mencintainya, gue memang nyaman bersamanya, suka ngobrol lama-lama, dan menyukai sikap cerianya. Tapi bukan seperti ini definisi cinta yang pernah ada dalam kamus gue.
Semua definisi itu masih pada Fana...
Read More … Novel Bab 5
Copyright 2009 Aqueous Humor. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy