Bersama Fiqho Falderiko, Uda SMANSA 2010
Read More …
Read More …

Saya berduet membaca puisi bersama ketua Teater SMA N 1 Padang (kiri), saat acara pemilihan Uda dan Uni SMANSA 2010.
Read More …

Saya bersama tim teater SMA N 1 Padang sedang membacakan puisi teatrikal dalam acara pemilihan Uda Uni SMANSA pada PKS VI lalu.
Read More …

Time Is Money VS Waktu Adalah Pedang

Sebelum menuliskan essay ini, penulis mendapat sebuah sms dari sepupunya yang tinggal di luar kota. Begini isinya,

“Liburan kemana?”

“Ke rumah,” (penulis menjawab dengan jujur dan polos)

“Ngapain aja?”

“Ngerjain pr…” (lagi-lagi menjawab dengan jujur dan polos)

“Oh sabar ya, aku bantu doa… ^^”

SMS diakhiri, penulis pun makin bingung. Ia berpikir, memangnya sabar dan doa bisa bikin PR selesai? Kalau sabar dalam menghadapi musibah mungkin masih mending, kalau sabar dalam bikin tugas? Aduh, seperti orang yang kena musibah saja. Terus, kalau doa bisa bikin pr cepat selesai? Oh di permak deh kalimatnya, “Aku doain biar stamina kamu kuat buat bikin PR.” Nah ini lebih bagus kan?

Flash back, saat terima rapor tanggal 18 November lalu, kita semua gempar. Kenapa? Selain nilai jelek atau nggak memuaskan, masih ada tugas yang diberikan selama liburan. Apa isi tugasnya? “Membuat 5 soal plus jawaban dari mata pelajaran yang di UN-kan.” Intinya kalau kelas XI IPA membuat soal Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Sedangkan yang lainnya penulis juga kurang tahu (dan tak ingin tahu).

Wah, mulai banyak komentar-komentar tak sedap yang ditangkap mata penulis. Pasti yang paling banyak adalah komentar tak setuju. Contohnya, “Liburan gini masih bikin PR? Tega!” Sebenarnya pengen jawab, “Kamu juga tega, ninggalin tugaas!” Atau komentar lain dari situs jejaring sosial Facebook, “Libur itu untuk istirahat, bukannya untuk bikin tugas!” Masih banyak lagi yang lainnya yang dengan berbagai mode.

Kurang masuk akal dengan judulnya. Memang, korelasinya jauh. Tapi mari kita hubungkan. Judul Time Is Money, siapa yang tak tahu dengan motto hidup yang telah banyak mengisi biodata orang-orang ini? Katanya time is money, tapi ini waktu libur hanya diisi dengan istirahat tok. Istirahat sih istirahat, tapi kerja otak jangan diistirahatkan selama-lamanya dong!

Ngomong-ngomong istilah time is money itu kebanyakan dipakai di Barat ya? Mengutip dari Mario Teguh, “Memiliki waktu tidak menjadikan kita kaya, tetapi menggunakannya dengan baik adalah sumber dari kekayaan.” Nah kalau ini sih nyambung dengan istilah time is money.

Tapi penulis lebih suka memakai istilah dari Arab ini, ‘waktu adalah pedang.’ Wah keren, waktu diibaratkan dengan pedang. Bagi yang bisa menggunakannya dengan baik, maka ia akan memenangkan peperangan, tapi bagi yang tak bisa menggunakannya dengan baik, maka matilah ia terhunud oleh pedangnya itu. Bahaya itu!

Sekarang kembali ke topik pertama, yaitu PR selama liburan. Kalau dipikir-pikir, memang sih. Liburan itu untuk merefleksi akal dan rasa, menenangkan otak sementara, dan yang pasti buat refreshing. Tapi itu tadi, sebaiknya ya jangan berlebihan. Otak ya jangan dipaksa untuk terlalu banyak bekerja ataupun tak bekerja sama sekali. Liburan itu sama dengan waktu yang berlebih-lebih. Selagi ada kesempatan, buatlah sesuatu yang menyenangkan. Intinya, isi waktu luang deh!

Yang penting itu, manfaatkan waktu liburan yang banyak ini dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai tak memiliki kekayaan waktu seperti di istilah time is money, atau malah mati terbunuh seperti di waktu adalah pedang. Nah, mau memilih istilah yang mana? (Irma Garnesia, SMA N 1 Padang)
Read More … Time Is Money VS Waktu Adalah Pedang

Sistem SKS VS Manula (Baca : Menjelang Kematian)

Ternyata selain kasus cicak lawan buaya, dan populernya cicak lawan Godzilla Biru, kini ada lagi, yaitu Sistem SKS VS Manula. Akh! Mungkin sedikit tidak nyambung, tapi inilah tugas penulis. Mari kita bahas saja biar terlihat korelasi antara sistem SKS dan Manula ini. Let’s check this out!
SKS (Sistem Kebut Semalam-red) adalah sistem yang biasa dipakai ketika menghadapi ujian. Bagaimana tidak, yang biasanya tak belajar lalu tiba-tiba ada ujian, yah di borong saja semalam! Pengertian seperti ini lebih populer dari SKS (Sistem Kredit Semester). Iya nggak? Jadi istilahnya, kalau mau ujian ya SKS aja!
Nah, kalau Manula.... (mari kita masuk ke alam religi) kan sudah tua. Istilahnya tinggal menunggu mati saja. tapi bukan bermaksud apa-apa ya. Kalau manula sudah mendekati angka kematian, pasti ibadahnya rajin sekali. Setiap hari, 5 kali sehari pasti ke Masjid untuk sholat berjamaah, terus kalau di rumah juga pasti sering mengaji dan berdoa. Juga yang sering penulis lihat adalah kalau orang tua itu bijaksana, iya kan? Seperti yang ada di pepatah, ‘makin tua makin bijaksana.’
Kenapa manula seperti itu? Ya, itu tadi. Karena akan menghadapi kematian. Lalu kenapa cuma Manula? Kenapa orang muda jarang yang bersikap baik dan ibadahnya rajin seperti manula? Iya, soalnya orang muda mengira umurnya masih panjang. Mereka mengira kalau mereka akan mati jika umurnya sudah lanjut. Makanya, kalau sudah tua ibadahnya jadi rajin. (Ini hanya untuk sebagian orang, sebenarnya masih banyak juga orang yang ibadahnya sangat baik tanpa mengenal umur)
Nah, kalau boleh saling menghubungakan, menurut penulis kematian itu hampir sama dengan ujian. Kenapa? Karena saat hidup di dunia, kita berlomba mencari amal baik sebanyak-banyaknya, dan itulah bekal kita di alam kubur dan di akhirat, setelah melewati kematian pastinya. Sama seperti ketika sekolah, kita berlomba-lomba mengumpulkan ilmu, untuk bekal kita menempuh ujian nanti. Kalau lulus, berarti kita selamat, tak perlu menanggung malu ataupun mengulang kembali.
Paham nggak sama maksudnya? Jadi kematian itu sama seperti ujian, dimana kita melewati tahap demi tahap untuk menentukan nasib kita selanjutnya. Apakah nasib yang baik atau buruk, itu tergantung hasil yang kita lakukan di dunia selama ini. (Jika anda belum mengerti, silahkan anda baca dua paragraf di atas ini berulang-ulang)
Nah, jika anda mengerti, mari kita lanjutnkan pembahasan ini. Kebanyakan orang memang melakukan sistem SKS untuk ujian, dan orang-orang mempersiapkan kematiannya ketika usianya senja. Kalau dipertanyakan, kok bisa seperti ini ya? Kita terkesan terburu-buru dalam mempersiapkan hal yang vital seperti itu, padahal waktu yang panjang telah diberikan pada kita semua.
Ada satu lagi ini, dimana seseorang itu tak memperdulikan kedua hal tersebut di atas. Masa bodohlah dengan semua itu, ia tak mempersiakan amal ataupun ketika ujiannya. Adakah yang seperti itu di masyarakat? Ada, bahkan banyak. Bahkan ada yang hanya mempersiapkan satu hal saja, seperti misalnya kematian atau hanya ujian.
Sepertinya penulis sudah cukup puas membeberkan pikirannya. Maka sudah saatnya tulisan ini diakhiri dengan satu pertanyaan, “Anda termasuk yang mana?” (Irma Garnesia)
    Read More … Sistem SKS VS Manula (Baca : Menjelang Kematian)

    Bencana Alam Atau Bencana Manusia

    Apa yang ada di benak anda ketika mendengar berita Gempa dan Tsunami di Mentawai beberapa waktu yang lalu? Atau mendengar berita bencana banjir di Wassior dan gunung merapi yang meletus di Yogyakarta? Tentu saja sangat iba. Bagaimana tidak, bencana itu terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan, dan menewaskan banyak jiwa. Yang pasti, bencana itu memporak-porandakan berbagai aspek kehidupan yang ada di sana.

    Berbagai jiwa merasa iba, berbagai kepala mengucapkan belasungkawanya, dan berbagai kepala berkaca-kaca. Tapi tidakkah kita ingin berkaca pada bencana alam itu? Tidak. Kita malah menyalahkan apa yang bisa kita salahkan, dan yang menjadi sasaran utama adalah presiden kita, Pak SBY.

    Suatu atikel yang saya baca menyatakan ‘SBY Dan Kepemimpinan Yang Identik Dengan Bencana.’ Apa mungkin bencana yang terus-terusan melanda Indonesia ada hubungannya dengan kepemimpinan SBY? Tentu saja kita tidak boleh memfonis begitu saja. Meski, awal-awal kemunculan SBY di kancah perpolitikan Indonesia sudah banyak peramal-peramal yang mengatakan, bencana akan terus-terusan melanda Indonesia jika SBY menjadi presiden. Salah satunya adalah ramalan Jangka Jayabaya yang menyatakan bahwa kepemimpinan SBY akan mengalami kegagalan.

    Apakah benar demikian? Walaupun peramal telah banyak yang meramalkan demikian, bahkan Raja Kediri, Jangka Jayabaya pun telah meramal sebelum SBY dilahirkan, tapi SBY bukanlah dalang dari semua ini. Tak bisa dipungkiri juga, memang beruntun bencana menimpa kepemimpinan SBY seperti, Tsunami di Aceh, letusan gunung merapi, gempa bumi, kecelakaan lalulintas (udara, darat, dan laut) dan yang teranyar adalah jebolnya Situ Gintung di Cireundeu, Ciputat, Tangerang Selatan, adalah bencana-bencana yang mengiringi perjalanan pemerintahan SBY selama lima tahun terakhir.

    Tak hanya bencana yang terjadi, isu-isu tentang bencana pun tak hent-hentinya mengalir. Contohnya saja ramalan gempa yang pernah dilakukan Deddy Corbuzier, ia meramalkan bahwa akan terjadi gempa dan tsunami di Padang pada tanggal yang telah ia tentukan. Parahnya lagi, ia akan masuk Islam atau akan mati jika prediksinya tak benar. Sekarang apa konsekuensinya? Setelah gempa dan tsunami yang ia ramalkan tak terjadi, apa yang ia lakukan? Tidak ada. Bahkan ramalan itu seolah tak pernah terjadi dan hilang di telan bumi.

    Satu hal yang penulis ingin tanyakan, “Lantas apa hubungannya gempa dan tsunami dengan agama Islam? Kenapa agama Islam seolah dijadikan sebagai bahan permainan?” Begitu juga dengan isu kiamat 2012, Mama Lauren juga meramalkan bahwa kiamat akan terjadi pada tahun 2012, dan apabila itu tak terjadi, ia juga akan masuk Islam. Tapi apa? Sebelum 2012, ia juga sudah meninggal.

    Lantas apa sebenarnya penyebab begitu banyaknya bencana yang melanda negeri kita ini? Mungkin perlu kita cermati kata-kata bijak berikut ini, "Tidak ada suatu perkara yang terjadi kecuali berasal dari diri kita sendiri," begitulah orang bijak menyampaikan. Bahkan Rasulullah SAW pernah mengingatkan umatnya tentang hal ini. Rasulullah SAW bersabda, "Bila umatku sudah melaksanakan 15 perkara maka bencana sudah pasti terjadi.

    Perkara itu adalah : bila negara sudah diakui/dimiliki oleh orang-orang tertentu, barang amanat jadi Ganimah (temuan), mengeluarkan zakat dianggap musibah bagi sikaya, suami sudah tunduk patuh terhadap istrinya untuk mengerjakan sesuatu yang keluar dari syariat (ajaran Islam), anak menyakiti kedua orang tuanya sementara kepada temannya berlaku baik, terjadi permusuhan caci mencaci antara jamaah mesjid karena perbedaan masalah/pendapat yang bukan prinsip yang mereka pegang, diantara yang menjadi memimpin umat baik yang memimpin masyarakat atau agama bukan dari keturunan yang baik-baik, seseorang memuliakan seseorang karena takut kejelekannya bukan karena wibawa atau karena akhlak dan ilmunya, orang mabuk dan maksiat sudah terlihat dimana-mana, seorang pria sudah senang memakai pakaian yang biasanya dipakai wanita, kedua orang tua diperlakukan seperti pembantu di dalam rumah tangga, sarana untuk maksiat tersebar dimana-mana, seperti bar, kasino, diskotik dan warung remang-remang, dancing, dugem dan hiburan yang berbau pornografi dan pornoaksi sudah dianggap kesenian belaka bahkan hiburan yang baik, bila umat akhir zaman sekarang ini sudah mencaci maki dan tidak menghiraukan pendapat-pendapat mereka (para ulama), bila umat akhir zaman semuanya sudah ingin berlomba-lomba menjadi seorang selebritis/penyanyi yang terkenal.

    Semua ini mengundang bencana. Lantas kita mau percaya yang mana? Pada isu yang menjerumuskan, pada ramalan yang disangkut pautkan pada presiden SBY? Atau pada 15 perkara di atas? Saatnya kita mengevaluasi diri kita sendiri, keluarga, lingkungan di sekitar kita, jika 15 perkara tadi sudah jelas didepan mata kita, selayaknya kita sebagai muslim saling mengingatkan dan memperbaiki. Jangan dulu berfikir bagaimana mengubah keadaan dunia, atau mengubah keadaan negara, atau mengubah keadaan masyarakat, atau mengubah keadaan keluarga, tapi mulailah mengubah diri kita sendiri kembali ke jalan yang sesuai dengan syariat Islam.

    Ingat firman Allah SWT dalam surah Ar-Ruum ayat 41 :
    Artinya :”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).

    Sebaiknya ini kembali menjadi renungan bagi kita semua. Satu pertanyaan yang hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya, “Apakah ini bencana alam atau bencana manusia?”
    Read More … Bencana Alam Atau Bencana Manusia

    Lulus Atau Mati!

    Judul tersebut mungkin belum pernah menjadi ide dalam workshop manapun tentang Ujian Nasional ataupun menjadi tema dalam berbagai seminar tentang kelulusan. Tapi ide ini muncul tatkala banyaknya fenomena yang berkembang seputar Ujian Nasional, dan  saat Ujian Nasional menjadi penentu nasib bagi mereka yang duduk di bangku pendidikan.

    Tajuk ‘Lulus Atau Mati’ bukan bermaksud untuk menakut-nakuti pelajar seluruhnya, sehingga harus memilih mati apabila tidak lulus Ujian Nasional. Tapi tajuk ini lebih mengarah  pada fakta yang telah terjadi di lapangan seputar efek negatif dan positif dari Ujian Nasional. Bagaimanapun Ujian Nasional adalah harga mati yang tak bisa ditawar bagi seluruh pelajar SD, SMP/MTs, SMA, SMK, dan tingkatan sekolah yang lain. Seluruh pelajar akan menghadapinya, suka atau tidak. Mereka harus menerima bahwa nilai Ujian Nasional sangat menentukan nasib mereka selanjutnya.

    Maka marilah kita membahas tajuk ‘Lulus Atau Mati’ secara eksplisit terlebih dahulu. Secara eksplisit, tajuk ini ingin membahas tentang banyaknya kasus yang terjadi dari mereka yang mengalami kegagalan dalam Ujian Nasional. Mereka yang memiliki mental cetek menjadi gampang down, berpikir pendek, dan melakukan hal yang tak semestinya dilakukan. Contohnya saja mereka yang tiba-tiba pingsan setelah mendengar pengumuman lulus, mencoba mengakhiri hidup dengan bunuh diri, atau melakukan aksi extreme yang membahayakan jiwa.

    Sedangkan secara implisit, tajuk ini mengacu pada dua pilihan. Antara lulus atau mati. Jika lulus, berarti bisa menjalani hidup dengan normal dan biasa, tapi jika tidak, berarti harus memilih mati. Mati di sini bukan berarti mengakhiri hidup seperti yang ditawarkan di atas, tapi harus memilih hal yang sama menyakitkannya dengan mati. Seperti misalnya mengikuti Ujian Paket C, atau mengulang setahun lagi.

    Sebenarnya Ujian Nasional adalah hal yang biasa, ujian yang biasa. Tapi paradigma yang berkembang di tubuh masyarakat Indonesia adalah sebaliknya. Seolah–olah ujian yang hanya beberapa hari itu adalah hal yang begitu penting—menentukan hidup dan mati. Paradigma ini membuat sebagian besar kita enggan untuk gagal, kita harus berhasil.

    Sebenarnya ada dua kecenderungan yang dilakukan seseorang saat dia berhasil atau malah gagal. Saat ia merasa dirinya telah mencapat titik keberhasilan, ia akan mengapresiasi diri setinggi-tingginya, lupa daratan pula. Tapi saat ia berada di titik terendah yakni kegagalan, ia akan jatuh sedalam-dalamnya ke dalam jurang keterpurukan. Inilah mengapa kita disebut sebagai seseorang yang hanya mempersiapkan pesta kemenangan, tapi tak pernah menyiapkan diri saat mengalami kegagalan. Sehingga jiwa-jiwa yang lemah akan merasa segalanya telah berakhir.

    Ini baru dari satu sudut pandang—bagi pelajar yang tidak lulus. Lantas bagaimana dengan sekolah mewah yang memiliki siswa dan siswi berkualitas? Sekolah yang mempunyai segudang fasilitas belajar, otak-otak encer yang sangat gampang mencerna tiap butir pelajaran yang diberikan. Mereka yang memiliki kemampuan lebih seperti di atas tak lagi memikirkan hal-hal seperti ‘kelulusan.’ Tak lagi ada dalam benak mereka, “Aku lulus tidak ya?” Pikiran mereka mengarah pada hal lebih, seperti misalnya, “Apakah aku bisa masuk ke sekolah itu?”

    Sekolah-sekolah yang memiliki siswa-siswi yang brilian tak perlu lagi mengkhawatirkan standar kelulusan, karena mereka yakin murid didikan mereka pasti bisa melewatinya. Bahkan mencari standar yang lebih tinggi, atau malah mengincar nilai sempurna. Tak urung mereka mendapatkannya dengan perjuangan internal dari dalam diri mereka dan eksternal dari lingkungan dan sekolah mereka.

    Maka dua hal ini selalu seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Antara mereka yang dengan entengnya memperoleh predikat lulus, dan mereka yang harus jungkir balik memikirkan kelulusan mereka.

    Kembali ke topik awal, sebenarnya Ujian Nasional pun bukanlah hal pelik yang harus mengerutkan dahi dan menyakitkan kepala. Ini adalah hal yang biasa. Yang perlu dibenahi adalah paradigma kita sebagai pelajar dan masyarakat. Bahwa Ujian Nasional bukanlah sebuah pilihan antara Lulus atau Mati. Melainkan sebuah konsekuensi yang harus diterima dari hubungan sebab akibat yang telah kita perbuat.

    Untuk itu, marilah kita cermati kata-kata dari Thomas Alva Edison berikut ini, “Bahwa kesuksesan adalah buah dari 1 % bakat dan 99 % kerja keras.” Hal ini juga berlaku dalam Ujian Nasional. Bahwa keberhasilan yang dipetik adalah buah dari kerja keras yang ditanam selama ini. Maka dari itu, yang diperlukan adalah sebuah pembiasaan. Jangan pernah takut membentur kegagalan, takut adalah kegagalan yang sesungguhnya. “Lulus atau Mati?”
    Read More … Lulus Atau Mati!

    Kurikulum DI Indonesia ; "Kurikulum Berubah, SIswa Pasrah!"

    Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.” Sejak tahun 1947, sudah ada 8 macam kurikulum dengan karakteristiknya masing-masing. Mari kita bahas satu-persatu. Let’s check this out!

    Mulai dari Rencana Pelajaran 1947 yang mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani. Selanjutnya adalah Rencana Pelajaran Terurai 1952, kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran. Berlanjut pada Kurikulum 1968 yang menitik beratkan pada Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan. Lanjut lagi pada Kurikulum 1975, “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Ada sedikit peningkatan pada Kurikulum 1984 yang mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Belum puas sampai di sana, masih ada Kurikulum 1994 yang lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan. Mari lanjut pada Kurikulum 2004 yang beken disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Terakhir muncullah Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

    Baru definisi tentang kurikulumnya saja, paragrafnya sudah sepanjang itu. Apalagi jika diutarakan plus minusnya, dampaknya, dan pendapat siswa serta masyarakat luas tentang kurikulum kita yang berjibun itu. Lalu bagaimanakah tanggapan siswa/siswi yang telah menjadi kelinci percobaan kurikulum di Indonesia? Hilman Rizaldi berkobar-kobar mengutarakan pendapatnya, “Harusnya kalau mau bikin sistem kurikulum, mestinya pusat melakukan perubahan secara bertahap. Kalau melakukan revolusi seperti ini, siswa juga yang jadi korbannya,” pungkas siswa kelas XI IPS itu. Benar juga yang diutarakan Hilman tersebut, siswa baru menyesuaikan dengan satu kurikulum, tau-tau sudah berubah lagi. Begitu seterusnya menuju KTSP kini.

    Senada dengan pendapat Hilman, Citra Devi Aulia juga menyatakan cuap-cuapnya, “Bagus sih diperbaharui terus, jadi kan ada inovasi-inovasi baru buat pendidikan. Tapi untuk KTSP sekarang masih kurang efektif, soalnya siswa sekarang terbiasa dicatatkan, diterangin secara detail. Akhirnya siswa lebih milih bimbel, karena belum puas cuma belajar di sekolah. Tapi masalahnya guru malah menganggap siswa lebih mementingkan bimbel daripada sekolah.”

    Memang, bimbingan belajar sekarang lagi jadi tren si kalangan pelajar. Banyak siswa yang memilih ikut les atau bimbel ketimbang belajar sendiri di rumah. Malah ada yang lebih mengandalkan les ketimbang belajar di sekolah. Jika begini, muncul pertanyaan baru, “Kalau lebih mengerti dengan bimbel, apa gunanya sekolah?” Wah, kalau begini bisa-bisa sekolah bangkrut. Pendapat Citra perlu dipertimbangkan, karena ternyata bimbel pun baru menjadi fenomena sekitar tahun 2005 sampai 2006, bisa dibilang semenjak KTSP beredar.

    Kritik pedas diajukan oleh Larissa Rahana Putri, “Kurikulum itu ganti setiap ganti menteri pendidikan? Berarti tiap menteri punya tujuan yang berbeda, bagus sih kalau tujuannya untuk kemajuan. Tapi bukannya boros ya? Kalau setiap kurikulum ganti, berarti bukunya juga ganti. Bayangkan kalau tiap tahun ganti, buku tahun ini masih sisa, eh udah ada buku baru, padahal materinya sama, cuma diacak.” Waw, memang banyak buku lama yang tak disentuh lagi oleh siswa, padahal isinya sangat bagus.

    Masih banyak penuturan-penuturan lain yang menyatakan tidak kesetujuan terhadap kurikulum yang melulu berubah ini. Tapi memang benar, dari sekian banyak kepala yang menyatakan ketidak setujuannya, masih ada juga yang setuju terhadap hal ini. Salah satunya Denada Florencia Leona, “Sistem perubahan kita sampai sekarang belum benar-benar mengalami perubahan yang signifikan, faktanya sistem pendidikan di negeri yang kita cintai ini memang selalu berubah, tapi hampir pasti perubahan yang ada bukan ke arah positif, tapi terkesan datar atau berkisar itu-itu saja malah makin mundur. Jadi kita tak perlu complain dengan sistem yang berubah ini, karena perubahan itu memang perlu dilakukan selama suatu bangsa itu ingin maju sampai ia menemukan yang terbaik. Sayangnya saja perubahan di Indonesia hanya diam di tempat. Bagai pepatah Minang, ‘Samo jo indak, ancak indak lai!’.

    Akhir kata, perubahan yang kita lakukan masih bersifat relatif. Sebagian orang ada yang setuju, dan sebagian lagi ada yang ingin merubahnya. Perubahan demi perubahan ini pun mengalami kontroversi di masyarakat. Akhirnya, siswa cuma bisa pasrah dan menerima segala yang terjadi di dunia pendidikan. Lantas, apa yang harus mereka lakukan? Toh demokrasi dan kebebasan mengemukakan pendapat seperti di pasal 28 itu tak mendapat perhatian besar. Lantas kalau seperti ini, mau dibawa kemana masalah ini?
    Read More … Kurikulum DI Indonesia ; "Kurikulum Berubah, SIswa Pasrah!"
    Copyright 2009 Aqueous Humor. All rights reserved.
    Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
    Bloggerized by Miss Dothy