Progress Novel Untitled dan Problemnya


Well, setelah akhir-akhir ini disibukan dengan novel untitled ini, gue mau cerita sedikit tentang progressnya.

Jadi gue udah nulis sebanyak lima bab, dan sekarang sudah mau otw ke bab enam. Tapi banyak yang bilang kalau konfliknya kayak belum muncul, padahal ini udah pertengahan cerita. Gue memang baru mau cerita tentang penderitaan tokoh utama itu di bab enam sama bab tujuh. Tapi seperti tadi, gue merasa telat konfliknya.

Gue pernah baca blognya mas Dendi di dendiriandi.com di sana dia bilang bahwa lebih bagus novel itu konfliknya langsung ditayangkan lebih dulu. Kalau ga ya ceritanya bakal ditinggalin pembaca karena ceritanya belum berkembang.

Oh ya, gue juga punya masalah sama karakter-karakter dalam novel itu. Karakter yang sebagiannya nyata itu protes ke gue, bilang bahwa gue sesuka hati memainkan karakter. Oh ya, karakter di sana juga banyak banget, setelah Audrey (Alwin), temen kosnya yang 14, Andin, Ayah Bunda, belum lagi temen-temennya di kampus ntar, terus juga ada cerita-cerita masa lalunya. Jadi gue merasa terlalu banyak make tokoh, takutnya ga fokus.

Novel ini kan jalan ceritanya perpindahan roh ya, dari Audrey ke Alwin pas dia kecelakaan pesawat, bad news-nya adalah gue belum menemukan judul yang pas buat novel ini. Astagaaa!

Another problem is, gue suka nunda-nunda buat nulis. Nonton dulu lah, baca dulu lah, main game dulu, apalagi sekarang puasa, malesnya kebangetan. Selain itu, semua referensi buku yang biasa jadi inspirasi gue ketinggalan di nangor.

And the ultimate problem is, charger laptop rusak. Menghalangi pergerakan banget, setelah kemaren service ulang, sekarang ada aja masalahnya.

Well, anyone can help?
Read More … Progress Novel Untitled dan Problemnya

Novel Bab 5



Lima



I wouldn’t choose any companion in the world but you

- Shakespeare

Senja di Jatinangor begitu damai. Dari balkon kosan, terlihat beberapa anak berlarian di gang sempit, bapak-bapak yang sibuk mengurusi burungnya (binatang-red), dan Aa delivery service yang sumringah mengantarkan makanan ke kosan-kosan. Oh ya, Jatinangor juga punya pemandangan sunset yang bagus. Langit tampak indah dengan warna jingga kemerahan, seperti pipi seorang gadis yang malu karena ketahuan ngupil di foto buku tahunan.
Gue sudah kembali dari Depok, menunggu masa perkuliahan yang tinggal beberapa hari lagi. Sambil menunggu itu, gue memutuskan untuk stay di Nangor saja. Menngunjungi banyak tempat, kenalan dengan lebih banyak orang, makan makanan yang berbeda di warteg setiap hari, dan menjahili orang yang berbeda.
Tentu saja gue menempati kosan kembali. Oh ya, kalau di sini orang-orang menyebut kos-kosan dengan nama “pondok.” Ada Pondok Wira, Pondok Az-Zahra, Pondok Pedekate, Pondok Nusantara, dan masih banyak nama lain yang lebih aneh lagi. Kosan gue sendiri namanya Pondok Muslimah. Terdiri dari dua lantai dan 14 kamar. Di bawah ada enam kamar layak huni, dan di atas ada tujuh kamar. Bingung kan satu kamar lagi kemana? Jadi satu lagi itu gudang, kecuali ada yang berminat mengisinya.
Penghuni pondok gue juga ada 14, jadi ada yang sekamar berdua. Beberapa di antaranya mungkin sudah pernah gue sebut, namun yang lainnya belum. Sejauh ini gue sudah lumayan kenal sama mereka. Nah, kali ini gue akan nyeritain mereka satu-satu sesuai sudut pandang gue yang minus lima dan silindris setengah.
Kiran
Bagi yang pertama kali bertemu pasti menyangka, “Ini anak kece juga ya?” Bagi yang cowok pasti bilang, “Wah gila maan! Gaul.” Yang cewek pasti bergumam, “Njirr stylish banget!” Tapi setelah mengenalnya pasti mereka semua serempak bilang, “Tolooong jangan bawa gue ke dunia lo yang freak itu!” Jika ini film, akan ada gerakan flash back waktu secara cepat dan kembali ke awal pertemuan. Lalu orang-orang akan bilang, “Oke, nama lo siapa tadi?” dengan takut-takut.
Kiran adalah gabungan anak yang urakan, suka parno sendiri, terkadang bisa sangat menggoda, tapi kadang bisa sangat rajin. Dia juga rajin belajar diluar gayanya yang kece badai, selain itu dia juga teman curhat yang paling polos diantara yang lain.
Lana
Biasa dipanggil LAN dan tersedia di gedung-gedung perkantoran....oke itu Local Area Network! Fokus Dre! Fokus! Orangnya misterius, jarang keluar kamar, dan jarang ngobrol sama anak kosan lain. Tetangga sebelah gue, tetapi paling jarang ketemu gue. Pernah baca novel Eclair? Jika di sana Stephanic ingin mengetahui apa yang dilakukan tetangganya sebelum meninggal, maka gue pengen sekali tahu apa yang dilakukannya di kamar.
Lana kuliah keperawatan, tapi yang ada di otaknya dan bindernya cuma gambar. Struktur bangunan, beton-beton, besi, semen, konstruksi, yap! Benar sekali! Dia ingin jadi arsitek. Tapi putaran nasib membawanya bertemu dengan kami, dan sepertinya dia belum siap dengan pertemuan ini.
Widi
Anaknya supel, kuliah statistika, hobi ketawa meskipun sesuatu yang ditertawakannya tidak lucu sama sekali. Dari dulu sih orangnya suka ngerjain, beda tipis sama gue yang suka jahil. Orangnya tinggi dan tiap masuk kamar gue takut kepalanya kejedot kusen pintu.
Gue kenal Widi sejak di Padang, tapi gue nggak tahu nama dia. Anak statistika, hobinya gila-gilaan bareng gue. Meskipun sudah kenal dan suka gaul bareng sejak di Padang dulu, gue melupakan satu hal esensial: nama. Sejak di Padang, gue nggak pernah tahu nama anak ini. Dan ternyata....dia juga begitu.
Martha
Namanya Martha, kepanjangannya Marthabak, oke itu nama makanan yang berbahan dasar tepung dan telor. Sama kayak Widi, dia anak Statistika juga. Punya rambut bagus kayak Lindsay Lohan dan badan kayak Alison Brie yang sedang gemuk. Anaknya kalem, tanpa alasan suka senyum-senyum sendiri kalau ketemu gue. Martha punya logat batak yang kalau ngomong sama orang, orangnya juga ikut-ikutan Batak.
Husna
Orang yang bertemu dia pasti terkesan karena ia shalih, khatam tiga kali, dan baik sekali. Husna adalah anak yang besar dari lingkungan pesantren. Biasanya kalau di kosan dia selalu pakai rok. Pakaiannya juga selalu tertutup, dan kalau sudah ngomong soal agama, nggak ada tandingannya. Gue harap nanti Husna bisa membawakan program religi kayak, “Mama Husna curhaaat dooong!”
Naya
Seperti yang pernah gue bilang, Naya itu kalem. Kuliahnya Sastra Inggris sehingga jangan salah jika kalian mendapatinya suka nonton film tanpa subtitle. Hobinya teleponan kalau orang-orang sudah tidur. Terus main permainan tutup telepon tuh,
“Kamu yang tutup duluan yaah”
“Kamuu ajaaa”
“Engga kamuuu ajaaa”
Habis itu pasang tampang sok unyu yang sebetulnya memuakkan. Oke, kalian pernah lihat stand up comedy yang bertajuk seperti ini? Kurang lebih deskripsinya seperti itu.
Yaya
Anaknya polos tapi bisa menggelinjang tiba-tiba. Hal yang ngenes pas habis kenalan sama dia adalah ketika dia terlalu excited ngeliat gue dan tidak memperhatikan jalan, dia nabrak meja setrikaan. Dan gue tahu, itu sakit banget! No matter, urang awak yang satu ini kuliah statistika dan punya kelebihan lemak yang bisa dipakai buat hibernasi di musim dingin. Sukanya sama sekuel Twilight, One Direction, kadang suka juga dengerin Maroon Five, Bruno Mars, pokoknya lagu yang bisa bikin happy deh.
Caca
Kalau ini film pendek, maka akan ada backsound lagu Bruno Mars yang Count on Me dan langsung terpampang foto Cacadia lagi monyongin bibir, plus nama. Jadi anak ini memang asli bisa banget monyongin bibir. Pas lagi ngambek, pas lagi bete, tiba-tiba dia monyong, dan itu lucu banget. Orangnya asli unyu, punya pipi yang enak banget buat dicubitin. Intinya sih, orangnya enak banget buat diangkat jadi adek kandung (?)
Tapi meskipun unyu begitu, dia dan keluarganya sedikit idiot. Beberapa hari yang lalu, waktu gue lagi internetan di atas, gue tiba-tiba dimintain tolong sama bapaknya buat bukain pintu kamar. Jadi mereka sekeluarga sudah dua jam terkunci di kamar dan kosan lagi kosong. Berawal dari check and ricek gembok baru sih. Begitulah kejadian aneh yang gue ingat tentang dia.
Deefa
Gue udah sering cerita kan tentang neng yang satu ini? Senyumnya yang bikin tentram, sinar matanya yang penuh semangat, dan pembawaannya yang selalu ceria. Namun dibalik semua itu siapa yang tahu? Deefa adalah orang yang kalau diajak ngobrol bisa bikin semangat lagi, bikin nggak galau, dan easy going. Pokoknya dia adalah segala yang dibutuhkan sebagai teman (pacar doong?) Ah, tapi mata gue telah jatuh pada seseorang bermata sayu itu.
Anak sistem informasi yang satu ini ngakunya tidak begitu suka dengan dunia IT, tapi bisa menginstall ulang komputer dengan cepat, unlock wifi, suhu phtoshop, dan berbagai macam trik lainnya. Deefa adalah penggemar beratnya One Direction, dan lagu favoritnya adalah Little Things.
Nisa
Karakternya nggak jauh beda sama Deefa. Suka kemana-mana bareng, makan bareng, belajar bareng, bahkan tidur juga bareng (?) Kuliah Fisika, tapi tampangnya tidak seperti Hukum Archimedes ataupun teori mekanika kuantumnya Max Born, untungnya! Menyukai segala jenis hal tentang boy band dan girl band korea sekaligus dramanya. Penggemar berat Yoona SNSD, Krystal Fx, dan berharap suatu hari nanti bisa ikutan dance cover bareng mereka.
Rara
Selanjutnya ada Rara yang biasanya suka nyolot, lemot, dan kadang idiot. Dia adalah orang yang pede aja mau ngomongin apa. Penggemar K-Pop juga, tapi ngakunya masih ngefans berat sama Agnes Monica. Masih satu aliran sama Nisa yang begitu menyukai Yoona dan teman-teman, tapi Rara lebih suka sama Boa, Shinee, Suju, dll. Oh ya, dia masih tetap dengerin lagu-lagunya Alicia Keys, Pink, Rihana, dan penyanyi solo barat lainnya. Tunggu, ini berarti dia suka semua aliran musik ya?
Kuliah keperawatan sama seperti Lana, tapi punya kepribadian yang jauh beda sama temen sekamarnya, Tanri.
Tanri
Tanri ini orangnya kalem, mukanya suka jutek, dan tatapan matanya tajam, setajam silet. Kadang gue ngeri kalau lihat dia, berasa mau dipalak. Orangnya banyakan diem, tapi kadang suka ngaco. Pas Ospek Universitas jam lima pagi, dia sudah keluar dan siap berangkat. Terus tiba-tiba ngomong sendiri, “Eh kacamata gue ketinggalan ya? Pantesan kabur...” Gue speechless melihatnya.
Kuliah keperawatan juga tapi menyukai banyak hal tentang dunia silat, khususnya organisasi merpati putih. Mungkin dulu film favoritnya Joko Tingkir dan Wiro Sableng yang sekarang film sejenis itu sudah banyak sekuelnya di Indosiar. Tapi gue nggak berharap anak ini bakal naik elang kemana-mana, pelihara naga, atau kegiatan sejenis.
 Fana
Dia adalah seluruh definisi gue tentang cinta, dan jika nanti gue kehilangan seluruh definisi itu, gue akan tetap mencintainya. Jatuh cinta kadang membuat kita naif ya? Gue suka semua hal tentang dia. Matanya, senyumnya yang tipis, cara berjalannya, sikap misteriusnya, dan karakternya yang feminim. Meskipun gue belum banyak berinteraksi dengan dia, gue belum kenal dekat dengan dia, bahkan gue belum tahu orangnya seperti apa.
Tapi, seperti sebuah teori Psikologi Komunikasi. Ada karakter-karakter tertentu yang dimiliki seseorang dan sesuai dengan gambaran-gambaran yang ada dalam pengalaman kita, sehingga kita bisa saja benci ketika pertama kali melihatnya atau langsung suka ketika pertama kali bertemu. Padahal kita belum pernah bicara padanya. Itu kata Jalaluddin Rakhmat. Sederhananya begini, banyak sekali ingatan tentang orang-orang dalam pikiran kalian, yang dibenci ataupun dicintai. Nah tumpukan memori itu membuat kita melihat orang baru sesuai dengan persepsi kita terhadap orang-orang yang kita kenal di masa lalu. Misal ekspresi sendunya membuat kita merasa dekat, gaya humornya membuat kita nyaman di dekatnya, atau raut sinisnya langsung membuat kita benci.
Lalu, apakah gue jatuh cinta pada Fana karena ciri-cirinya kurang lebih sama dengan mantan gue sebelumnya? Bisa jadi begitu.
***
Selain suka baca bukunya Andrea Hirata, Dewi Lestari, Ahmad Fuadi, Damien Dematra, atau penulis-penulis novel lainnya seperti Fauzan Mukrim, Dendi Riandi, Roy Saputra, dan Pribadi Prananta, gue juga suka baca-baca novelnya Tere Liye. Gaya Bang Tere dalam menulis novel kadang memang bikin ngehe sendiri. Orang-orang yang sedang galau bisa jadi tambah galau dibuatnya. Buku-buku galaunya misalnya Sepotong Hati yang Baru, Berjuta Rasanya, atau Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah bisa bikin galau seharian.
Hanya perlu bersabar, dan semua skenario baik itu tercipta sendiri.” Itu kata Bang Tere dalam novelnya Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah, dan gue mengamininya. Rasa penasaran menyelimuti gue selama di Depok kemarin. Ya, gue penasaran dengan Fana. Mengapa dia begitu pendiam, mengapa dia terlihat sangat misterius? Dan kemungkinan-kemungkinan lain yang gue reka-reka sendiri di otak. Bahkan saat ini, saat menemani Deefa yang lagi menghias kamar, gue masih mikirin dia.
“Ini cocoknya di sini kai ya?” Deefa dengan semangat menata kamar dengan poster band favoritnya, One Direction.
“Hmmm....iya,” gue melihatnya dengan tatapan kosong.
Gue masih mengingat kejadian kemarin sore, pas gue tiba-tiba ketemu Fana di dekat jemuran. Gue langsung sumringah dan langsung menyapanya.
“Heeeei kamuuu...”
Dia menatap gue dengan bengong.
“Aaaah, maaf gue salah orang (lagi)” Ya, dengan malunya gue mengakui bahwa gue mengira itu Deefa.
Gue langsung pergi waktu itu, meninggalkannya dengan sejuta tanda tanya, “Ini orang geblek apa idiot ya? Salah orang melulu!”
Tupai tidak akan jatuh ke lubang yang sama. Yah, gue kan bukan tupai! Tidak masalah dong kalau khilaf lagi. Dan seperti kata Bang Tere lagi, “Ah, cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.” Maka pertemuan gue dengan Fana yang absurd tersebut adalah salah satu skenario Tuhan yang tidak gue pahami.
“Dre, kenapa? Kesambet setan mana?”
“Haaah....” Gue melongo, pertanyaan Deefa barusan membuat gue kembali ke bumi.
“Eh engga Dee, gue lagi ga enak badan aja kayaknya...’
“Hoo gitu? Balik kamar aja atuh, istirahaat. Aku bisa masangin posternya sendiri kok.”
“Gue keinget Nisa, Dee...”
Gue memang lagi ingat Fana, sekaligus ingat peristiwa yang dialami Nisa beberapa hari lalu. Peristiwa yang membuat kami malu sebagai teman.
***
“Udah udaah, tenaang. Kita makan dulu habis itu beli obat buat Nisa ya.”
Gue mencoba menghibur Deefa yang sedikit khawatir karena teman seperjuangannya sakit.
“Mudah-mudahan gapapa yaa...”
Malam ini gue makan berdua bareng Deefa...di warteg. Harusnya eksklusif karena ini makan malam pertama kami berdua saja. Tapi please gue tidak serendah itu untuk memanfaatkan keadaan. Nisa sendiri lagi sakit dan memutuskan untuk istirahat di kosan. Maka setelah makan malam, gue berkeliling ke apotek-apotek bersama Deefa untuk membeli obat.
Setelah mengecek keadaan dan memastikan keadaan Nisa baik-baik saja, gue memutuskan untuk balik ke kamar sendiri dan pamit pada Deefa. Di kamar gue memutuskan untuk baca-baca sebentar dan kemudian tidur. Sudah larut juga, pikir gue. Di kamar atas Nisa barangkali juga sedang tidur, mudah-mudahan saja sakitnya hanya demam biasa. Barangkali Deefa yang terlalu khawatir. Gue membatin dalam hati.
“Arrrrgghhh...” Jam tiga pagi dan gue terbangun karena alergi. Bintik-bintik merah muncul di kaki, gatal setengah mati, membuat gue tidak bisa tidur lagi.
Sambil mengolesi kaki dengan minyak kayu putih, gue membuka twitter dan melihat timeline. Nisa sedang mengeluhkan sakitnya di sana.
“Aduuuh sakit banget, udah ga kuat lagi...”
Kemudian gue me-reply tweet tersebut, “Iyaak teruskan! Tarik napas...hembuskaaan!” Tentu saja gue nggak bilang itu woooy!
“Kamu kenapa Nisa? Perlu minyak kayu putih atau obat?”
Gue memilih untuk membalas dengan normal, tak lama kemudian ada balasan lagi darinya.
“Gapapa kok Dre, nanti ngerepotin...”
“Yaudah, nanti kalo butuh sesuatu telepon aja ya...”
Bodohnya membalas seperti itu. Bukannya menyusul ke atas, gue malah mencoba tidur kembali.
Beberapa menit kemudian terdengar suara bel, lalu ada yang menyahut.
“Ayaaah?” Itu suara Nisa dari atas.
“Iyaaa...”
“Tuiiing,” dia melempar kunci kosan dari atas karena tidak sanggup turun ke bawah (ada saran bunyi kunci yang lebih baik?).
Ayahnya lalu masuk dan naik ke atas, dan gue nggak turun sama sekali. Beberapa kali suara grasak-grusuk terdengar dari atas. Gue nggak tahu itu apa, yang jelas sedang tidak ada pertandingan gulat di atas. Hingga beberapa menit kemudian Nisa dan ayahnya turun dan pergi. Mereka pulang ke rumah. Dan bodohnya gue karena tidak keluar dari kamar sama sekali. I didn’t get out of my room just even one minute! How pathetic I was.
Keesokan harinya gue menanyakan kejadian Nisa semalam pada Deefa.
“Dee, semalam tahu ga?”
“Iyaaa...aku tahu, dan aku baru keluar pas ayahnya Nisa dateng.”
“Mending, aku udah bangun waktu itu tapi ga keluar kamar. Bego banget malah!”
“Aku baru keluar pas ayahnya dateng, dan aku ga sadar kalo sebelum itu dia lagi sakit banget!”
Kami berdua terdiam, sama-sama menyesal karena tidak bisa menjadi teman yang dapat diandalkan.
“Aku kena tipes...”
Dua pesan masuk, satu di handphone gue, dan satu lagi untuk Deefa. Pesan itu, dari Nisa.
***
Semenjak Nisa sakit, apa-apa dilakuin Deefa bareng gue. Makan bareng, nonton streaming bareng, nyanyi-nyanyi nggak jelas bareng, ejek-ejekan bareng, mandi aja sih yang nggak bareng. Pernah suatu kali dia nemenin gue tidur, soalnya gue lagi ketakutan. Malam itu, dia membawa semua barang-barangnya ke kamar gue dan dengan ikhlas tidur bareng gue.
Gue nggak bisa tidur malam itu. Jadinya ya gue baca buku saja. Romannya Remy Sylado, Matahari, menemani gue menghabiskan malam yang dingin. Selain itu, Deefa mengigau yang tidak gue mengerti.
“Aku ga apa-apa, aku ga kenapa-napa...”
Gue yang bingung langsung melihat ke arahnya.
“Dee, kamu kenapa?”
Dia melihat ke gue lalu tersenyum, “Aku gapapa...” habis itu dia tidur lagi.
Malam itu, setelah melihatnya tertidur pulas, mengigau, dan semua hal yang sudah kita lewati bareng-bareng, gue menyadari satu hal. Gue tidak mencintainya, gue memang nyaman bersamanya, suka ngobrol lama-lama, dan menyukai sikap cerianya. Tapi bukan seperti ini definisi cinta yang pernah ada dalam kamus gue.
Semua definisi itu masih pada Fana...
Read More … Novel Bab 5

Novel Bab 4


Empat


“Kak Audrey…kak Audrey ayooo siniii”
Suara itu berusaha menuntun gue melewati sebuah terowongan gelap, nggak ada cahaya dan sama sekali lembap. Gue hanya bisa menurut, berjalan mengikuti tanpa bersuara.
“Kakaak ayooo cepaaat, sebelum gerbangnya ditutup!”
Suara Katia terdengar panik, kini gue sudah setengah berlari, dan dia berada di ujung terowongan yang penuh cahaya.
“Katiaa….tungguuu!”
Gue berteriak panik, terowongan itu semakin lama semakin menutup, jalan keluar itu semakin kabur. Gue panik, terus berlari walaupun napas tersengal. Dan gue tetap memanggil Katia. Menatap wajahnya yang penuh harap di ujung terowongan.
“Kakaaaaaak!”
Teriakan terakhirnya, terowongan itu tertutup. Sempurna gelap dan lembap.
***
“Mimpi buruk lagi.”
Gue sempurna terbangun setelah mendengar ada pesan masuk di handphone. Cuma pemberitahuan bahwa mulai hari ini, 6 Agustus, tidak ada lagi urusan di kampus. Maba bisa pulang kampung dan senior bisa mengakhiri dramanya.
Gue mengusap muka, akhir-akhir ini memang sering mimpi buruk. Tapi yang ini lumayan menyeramkan. Ada Katia pula. Apa maksudnya gue terjebak dalam terowongan yang gelap dan lembab?
Oh Ibu! Bahkan mimpi buruk terlihat lebih buruk ketika kita terjaga.
Gue mengusap-usap muka (lagi). Jam enam pagi, nanti siang gue akan kembali ke Depok. Sementara esoknya ayah akan pulang ke Padang. Gue memutuskan untuk liburan di Depok sembari menunggu masa perkuliahan dimulai. Gue nggak akan pulang, mungkin semester depan saja. Terlalu banyak kenangan berhamburan di Padang, gue nggak mau tiba-tiba jadi melankolis di sana.
Gue beranjak dari tempat tidur dan memutuskan untuk mandi. Segenggam air gue basuhkan ke muka.
“Setiapku memandangmu merana hatiku, terulang kisah rupa wajah sayu, menetes sendu rindu pilu ragu, mengusik bisu kelabu dirimu. Ku membelaimu merenung diriku, tersirat ingin ucap rasa cinta, sadarkah bila saya cinta kamu….”
Gue teringat pernah mengirimkan sms ini secara random beberapa bulan lalu. Katanya secara random, padahal gue cuma mengirimkan ini ke Katia doang. Kemudian dibalas oleh dia,
“Lagi galau ya, Kak?”
Gue nggak membalas lagi. Itu memang yang gue rasakan. Berusaha meyakinkan orang yang dicintai untuk melupakan masa lalu yang pernah menyakitinya, itu sulit.
“Byuuur!”
Siraman pertama mengenai badan gue! Terasa dingin air Jatinangor pagi ini.
Sesungguhnya ku berpura-pura
Relakan kau pilih cinta yang kau mau
Sesungguhnya ku tak pernah rela
Karena ku yang bisa, membuat hatimu utuh
…..
Katia memang pergi dari orang yang menyakitinya, dan dia memilih sepupu gue setelah itu. Cuma rasa sakit dan kecewa yang tersisa buat gue. Sore itu, beberapa hari menjelang ujian akhir sekolah, sepupu gue, Bima, datang ke rumah. Dia bercerita bahwa dia baru jadian dengan Katia, berkat gue. Gue langsung antusias dan menyuruhnya untuk mentraktir gue sore itu. Tentu saja, dua loyang besar pizza langsung diantar ke rumah beberapa menit kemudian. Orang-orang rumah juga turut senang kebagian pizza yang dibawa Bima. Gue nggak berhenti tersenyum hingga Bima pulang.
Namun setelah itu gue tersenyum dan menertawakan diri gue sendiri. Hebat banget akting gue barusan. I’m crying hard, yet trying to be cool at the same times. Sebuah ungkapan dari novel Trave(love)ing yang sama banget dengan yang gue rasakan.
“Byuuur!”
Semburan terakhir untuk menyadarkan gue dari lamunan ini.
***
Kisah tentang lesbian tak selalu menjijikan. Gue memang butchi (cewek yang seperti cowok), tapi gue nggak punya femme (cewek feminim yang suka cewek tomboi). Mungkin gue nggak seratus persen homoseksual, karena gue nggak merasakan ketertarikan fisik pada mereka. Gue suka mereka dari hati, udah gitu aja.
Lebih baik selalu patah hati seperti ini, dari pada gue memiliki kekasih sesama jenis dan menambah runyam pikiran gue. Masalah gue sekarang saja sudah banyak, dan gue nggak mau menambahnya lagi.
Gue berfiuuuh dalam hati. Seperti ada yang iseng meletakkan televisi besar di kepala gue dan memutar semua memori yang berusaha gue lupakan. Ah sudahlah, mari pikirkan hal yang lain, seperti misalnya….
“Deefa, Nisa, gue nitip kamar ya ke kalian. Gue balik ke depok hari ini, sukses ya kalian ospeknya.” Gue merogoh hp dari kantong celana dan mengirim pesan yang sama ke mereka berdua. Sejauh ini, memang cuma kontak mereka yang gue punya.
Gue lagi di bus, ternyata suasana antara bus di jawa dan bus lintas sumatera memang beda ya. Mulai dari suara pedagangnya sampai barang yang dijajakan.
“Mijon mijon, mijonnya mijon, A, Teh…”
Seorang pedagang melewati gue dan meneriakan kata-kata itu di dalam bus. Baiklah, mereka menyebut Mizone dengan “Mijon” dan itu unik! Gue baru saja mengetikkannya di twitter sembari menghalau rasa bosan.
“Korannya A, Teh, Persib barusan menang melawan persija!”
“Tahu tarahu, bakpao barapau bapau, pau!”
Jangan kira ini rapper yang disediakan bus sebagai fasilitas bagi penumpangnya. Ini masih pedagang yang menjajakan tahu dan bakpao di bus ini. Perjalanan ke Depok bisa ditempuh selama tiga jam jika lewat tol, namun bisa jadi berjam-jam jika melewati puncak. Dan bus ini, melewati puncak. Which is, berjam-jam akan dihabiskan dengan sia-sia.
Beberapa penumpang mulai duduk di tempatnya masing-masing. Tak jauh dari gue ada pemuda dan pemudi yang asik ngobrol, mungkin berdebat soal kebutuhan rumah tangga dan BBM yang naik. Dua bangku di depan gue, ada pemuda yang memberikan minuman kepada kekasihnya semberi tersenyum sinis. Mungkin ia baru saja membubuhkan racun pada minuman itu. Sementara di tempat duduk seberang ada seorang cewek yang menelepon,
“Aku lagi di jalan,” ia menjawab dengan nada galau.
“Oh yaudah kalo kamu udah sampai kabari aku ya!” Itu bukan jawaban dari kekasihnya, melainkan jawaban dari gue yang kebetulan sedang menelepon.
“Kamu bakalan jemput aku kan?”
“Belum tahu, ini aja aku belum sampai.” Teman gue di seberang menanyakan keberadaan gue.
“Susah banget sih mau ketemu kamu!” Si cewek ngomong dengan ketus dan ragu-ragu melihat ke arah gue.
“Kamu yang egois…” Gue balik menatap si cewek dengan aneh. Kok obrolan gue dengan dia mendadak nyambung gitu ya?
Cewek itu sepertinya sadar yang terjadi, dia lalu mematikan telepon dan memalingkan wajah. Gue sendiri juga baru memutuskan sambungan dengan teman di seberang sana, yang janjian mau ketemu di Depok.
 Sesuai prediksi, perjalanan dari Jatinangor ke Depok memakan waktu enam jam, itu jam semua loh. Ketimbang turun di Kampung Rambutan, gue dan ayah memutuskan untuk turun di Bogor dan menyambung ke Depok dengan angkot. Tidak cukup satu apalagi dua angkot, tiga angkot ikut andil dalam mengantarkan gue ke rumah kakak sepupu di sana. Sampai di rumahnya gue tidak mengenali apa pun kecuali kasur!
***
Waktu dua minggu di Depok banyak gue habiskan dengan pekerjaan mulia, yaitu: magang jadi pembantu. Semenjak citra perempuan dari dulu dikenal sebagai citra pigura, citra pinggan, citra nampan, dll, gue paham bahwa sebagai perempuan, kita tidak akan lepas dari dapur. Maka, gue yang masih mengaku sebagai perempuan, wajib mempelajari hal ini.
Banyak hal yang gue pelajari, masak, mulai dari masakan yang mudah ataupun yang sulit, beres-beres rumah a.k.a nyapu, nyuci piring, ngepel, nyuci baju, dsb. Karena yang namanya kodrat sebagai perempuan tidak bisa diubah, mari kita belajar menerimanya. Walaupun mungkin jiwa gue sangat laki. Oh ya, apakah kata-kata “magang jadi pembantu” terlihat sangat sarkasme? Kalau begitu lupakan saja, mari kita ganti istilah ini dengan “membabu buta” (sambil pasang senyum khas sales MLM).
Selain itu, hal lain yang gue lakukan adalah…menggalau. Eh coret! Maksudnya, mengenal Deefa lebih dalam. Salah satunya lewat sms ini.
“Hei Dee, kamu apa kabar? Masih ingat aku kan?”
Gue tunggu sampai tiga hari dan sms itu nggak dibalas.
“Hei Deefa, ini Audrey. Kemaren ga ada pulsa ya jadinya ga bales sms? Eh apa kabar?”
Dua hari berlalu tetap tidak ada balasan. Ah gue kira alam semesta bersekongkol untuk menjauhkan kami eaak.
“Hei Deefa, ada apa sebenarnya denganmu? Kenapa ga pernah balas smsku?”
Balasannya membuat gue nyaris semaput, “Maaf Mbak, saya bukan orang yang Mbak maksud. DAN TOLOOONG JANGAN SMS KESINI LAGIII!!”
Andai yang dia kirim adalah pesan suara, dan andai ini kartun, maka rambut gue sudah terbang tidak beraturan, bibir gue juga seperti diterbangkan angin topan mendengar suaranya. Tapi karena ini dunia nyata, mari kita lupakan saja scene barusan.
Karena mengetahui kenyataan pahit bahwa gue salah nomor, which is nomor tersebut berasal dari penjaga kos yang salah baca nomor hp di pintu kamarnya Deefa. Great! Gue memutuskan untuk menghubungi Nisa.
“Nis, kemaren gue sms Deefa ga dibales-bales, taunya gue salah orang dan gue dimaki-maki. Lo punya nomornya?”
Setelah diketawain sampai puas sama Nisa, gue dikasih nomornya Deefa.
“Hahaha watir pisan maneh teh! Nih nomornya +62857633###” (artinya kamu keren banget-red, tapi sebelum digampar oleh orang Sunda asli karena terjemahannya salah, mari lupakan saja).
Gue berpikir berulang kali sebelum mengiriminya pesan. Tiba-tiba gue nge-blank, nggak tahu harus bilang apa. Apa harus dengan ini,
“Selamat nomor Anda berhasil memenangkan undian dari restoran kami. Anda bisa menukarkan hadiahnya….”
Lupakan, itu basi! Atau ini,
“Malam ini akan ada malaikat hitam di sampingmu. Jika kamu ingin ia memberikan keajaiban padamu, kirimkan sms ini ke-15 orang atau ibumu akan mati….”
Lupakan! Itu menakutkan. Atau mungkin begini,
“Tolong kirimkan mama pulsa 25ribu ke nomor AS ya, ini mama lagi di kantor polisi karena ngebut-ngebutan di jalan sampai nabrak mobil polisinya. Cepet ya, mama mau nelpon pengacara!”
Tidak, tidak! Itu tidak logis.
Gue galau, tidak punya ide sama sekali untuk mengirimi dia pesan pertama. Gue harus bilang apa? Hanya ada dua pilihan yang dapat gue lakukan:
1.      Menunggu ide
2.      Menunggu ide sambil boker
Maka gue memutuskan untuk melakukan hal yang pertama. Cukup lama gue dapat ide, setelah menggunting kuku, menggunting kuku, dan menggunting kuku. Gue mulai mengetikan pesan di ponsel.
“Hei Deefa, ini aku Audrey, yang di kosan waktu itu. Masih ingat kan?”
Gue memulainya dengan sesuatu yang normal.
***
….
Mau dikatakan apa lagi
Kita tak akan pernah satu
Engkau di sana, aku di sini
Meski hatiku memilihmu
….
Sudah ke dua puluh empat kalinya lagu ini gue putar melalui headset dari tadi. Galau time! Suara Yovie, Mario, dan Carlo tak lelah mengalun dari ipod. Yah setidaknya ini bukan film SuckSeed sehingga penyanyinya tidak harus hadir saat Ped lagi galau. Kalau nggak gue harus bayar Kahitna berapa buat nyanyi selama ini? Maka berterimakasihlah pada teknologi! Gue garing? Oke toyor!
Percuma sebenarnya memikirkan cinta yang tak pernah diizinkan di dunia ini. Tapi mengapa Tuhan menciptakannya? Apakah untuk membuat kita belajar unuk menerima? Untuk ikhlas, bahwa kita berbeda dari orang lain? Umur gue saat ini delapan belas, dan sejak gue jatuh cinta pertama kalinya di umur delapan tahun, gue belum mengerti.
Kadang gue memikirkan, apakah gue sama dengan manusia lain? Satu sisi hati gue bilang, “Iya, lo sama dengan mereka. Sama-sama punya perasaan, sama-sama pernah jatuh cinta.” Sisi yang lain dari diri gue berontak, “Nggak, lo berbeda! Dan perasaan ini tidak pernah diinginkan orang lain!”
Kita Bhineka Tunggal Ika, tapi masih tetap banyak perlakuan tidak senonoh pada mereka yang “berbeda.” Hinaan, makian, mungkin jadi makanan sehari-hari buat mereka. Kalau dilihat dari sisi yang lebih luas, tidak cuma homoseksual yang mendapat perlakuan seperti ini. Coba lihat yang beda kepercayaan, yang beda ras, yang beda suku. Do you think we’re still in the zone ‘aman, damai, dan tidak apa-apa’?
Banyak media yang menayangkan perlakuan-perlakuan tersebut. Perang dan bersitegang karena ‘perbedaan’ tadi. Do you still wanna say that we’re okay? Mungkin Tuhan ingin kita belajar menerima perbedaan ini, bukan hanya mereka yang berbeda tersebut, tapi juga mereka yang ada di sekitarnya.
Mungkin, nanti.
***
Apakah kalian masih merasa mual membaca cerita gue ini? Ayolah, belajar menerima perbedaan itu. Kita sama-sama manusia, dan kita sama-sama punya rasa, rasa yang berbeda.
Sejauh ini gue tidak melakukan apa-apa untuk kesembuhan gue. Okay, let me confess something! Yang sebenarnya adalah gue nggak pengen siapapun tahu tentang ini. Tidak keluarga gue, tidak juga orang yang gue suka. Gue nggak tahu apa yang akan mereka lakukan jika mengetahui kenyataan ini. Mengusir gue dari rumah? Memaki-maki? Ah, bisa jadi lebih buruk dari itu.
Ngomong-ngomong soal keluarga, gue punya banyak cerita yang unik dari kecil. Ah mungkin gue memang terlahir berbeda. Dari kecil pikiran gue memang sudah aneh sih. Salah satu penyebabnya adalah hobi gue nonton televisi. Kadang gue bertingkah seperti berpura-pura kabur dari rumah, kadang seperti mau bunuh diri, atau seperti pengembara dari Samia. Bisa saja tiba-tiba gue bilang, “Tidaaak! Aku mau pergi saja dari rumah ini!” Kemudian orang-orang melihati gue dengan aneh. Atau, “Lebih baik aku mati daripada harus melihat wajahmu lagi!” Kemudian kue yang dipegang abang terjatuh dan dia melongo. Seperti ini misalnya, ada satu pikiran absurd yang gue tanyakan ke ibu,
“Bu, kita ini main sinetron ya?” Gue menarik-narik baju ibu yang saat itu sedang memasak di dapur.
“Tidak nak, kita menjalani kehidupan ini seperti yang sebenarnya, kita tidak main sinetron.”
“Oh, tapi kenapa aku dimarahin terus ya kayak di tv?”
“Oh itu karena kamu nakal.” Ibu lalu mengelus kepalaku dengan lembut.
Gue bertanya seperti itu karena gue selalu merasa diintai oleh kamera. Sementara anak lain bertanya pada ibunya, “Ma, laper itu apa sih?” atau, “Ma, kok ada hujan sih?” Pertanyaan yang keren, kan? Tapi menurut gue, pertanyaan kita sewaktu kecil dan bagaimana orang tua mendidik kita dulu akan mempengaruhi karakter kita nantinya.
Oh ya, biasanya kalau waktu kecil lagi jalan-jalan ke mall, gue pegangan tangan sama ayah biar nggak hilang. Tapi karena waktu itu gue lagi melihat-lihat cokelat di cake shop, gue tidak menyadari bahwa sudah ditinggalkan. Gue yang panik pun hanya bisa melakukan dua hal,
1.      Mencari ayah
2.      Mencari ayah sambil menangis
Gue memutuskan untuk melakukan yang pertama, gue mencari ayah kemana-mana. Setelah lihat kiri kanan, akhirnya gue menemukan beliau yang saat itu memakai baju kemeja putih. Tanpa melihat wajahnya, gue langsung saja menggenggam tangan orang itu. Tetapi tiba-tiba ada yang berteriak,
“Hei hei tunguuu!” Ternyata itu Ibu!
Gue dan orang itu kaget dan ia langsung melepas tangan gue. Ternyata itu bukan ayah! Jadi karena gue terlalu pendek, gue tidak melihat wajah orang itu dan langsung memegang tangannya. Aduh, anak macam apa sih yang salah mengenali bapaknya? Rasanya gue ingin dipecat saja jadi anak saat itu juga. Malu woooy!

Semua perasaan kangen bisa tumbuh tiba-tiba ketika kita merasa jauh. Sepertinya dalil itu berlaku pada gue saat ini. Kangen rumah!
Read More … Novel Bab 4
Copyright 2009 Aqueous Humor. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy