Menjelma Senja




#1

Dengan mulut menguap, dan sisa penat yang masih lekat di tangan kiriku yang sibuk menulis, betis yang ngilu karena berlari, keringat yang mengucur sedari tadi, dan napas yang terengah-engah karena berlari, kucoba melangkah ke luar pagar sekolah. Sudah sore begini aku baru dapat pulang. Pelajaran jam terakhir benar-benar membuat bola mataku mengatup sempurna.

Dengan mengendap-endap, kucoba melarikan diri dari rapat ekskul. Masih ada saja alasan yang harus membuatku pulang sore-sore. Dua jam sebelum rapat ini akan diadakan, aku sudah di sms duluan, mungkin takut aku akan lari, seperti yang kerap kulakukan.

Beberapa menit saja aku sudah tiba di gerbang tua yang menghubungkan sekolah ini ke jalan. Ramai. Sudirman yang dipenuhi motor, mobil, angkot, dan bus yang lalu lalang, sementara di trotoar ini pejalan kaki asik menekurkan kepala, menghitung kerikil yang ada. Beberapa penjual makanan dan minuman sedang mengelap keringat mereka yang bercucuran, yang lainnya sibuk melayani pelanggan di gerobak mereka yang kumuh.

Mataku celingak celinguk kiri kanan. Menunggu angkot yang lewat. Angkot berwarna merah dengan motif lukisan kartun conan. Itulah yang baru saja kulihat. Tanpa ragu langsung kunaiki angkot ini.

Aku tahu sekali setiap angkot yang ada di kotaku ini memilik tujuan yang sama, yaitu mencari penumpang. Tapi inikah gaya mereka untuk memikat hati para penumpang yang bertaburan? Dengan memasang motif lukisan yang semrawut dan acak-acakan? Inikah yang mereka sebut dengan gaya dinamis?

#2

Terlalu lama menunggu penumpang. Angkot yang kunaiki ini melaju perlahan bagai siput. Jalanan yang usang, berdebu, dan panas. Di dalamnya hanya ada aku., yang duduk paling sudut dekat speaker. Ruang lapang angkot ini sama sekali tak berisi. Bisa dibilang, hanya aku dan supirnya yang menghuni.

Sepuluh menit berlalu. Namun angkot ini seolah kehabisan bensin untuk sekedar melaju. Sampai sekarang baru ada dua penumpang. Jauh dari apa yang diharapkan. Padahal mobil baru nan bagus ini sangat layak untuk ditumpangi. Musik yang mengalun begitu lembut, ditambah wewangian yang sesekali tercium dari pewangi kendaraan, dan berbagai aksesori khas wanita. Ya, khas wanita.

Namun, tiba-tiba darahku berdesir cepat, jantungku berdetak kuat, sekujur tubuhku memanas, dan mukaku memerah seperti tomat, ketika melihat seseorang berjalan mendekati angkot ini. Seorang wanita bertubuh kecil, berbaju seragam sewarna denganku melempar senyum.

Dia mengenaliku, tentu saja. Kami berada di sekolah yang sama, berseragam putih abu-abu dengan lambang yang sama, dan sering bertatap muka ketika upacara bendera, istirahat di kantin, dan meminjam buku di perpustakaan. Telah lama aku mengenalinya, bahkan sebelum kami berpura-pura berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing.

Aku membalas senyumnya, “Dari mana?”
“Dari toko buku”, paparnya singkat. Senja yang kusam. Suaranya melemah, matanya sayu, dan ruas-ruas kepenatan jelas tergambar dari air wajahnya. Tapi ia hanya tersenyum, menggerakan ruas-ruas pipinya.

Ia duduk di sebelahku. Dekat, dan sangat dekat. Pun jantungku berdetak, kuat, dan makin kuat. Aku grogi di dekatnya, salah tingkah, tak tahu harus berbuat apa, haruskah bicara sembari tersenyum, atau diam saja.
Apa yang dibelinya di toko buku? Mengapa aku tak melihat buku yang baru saja dibelinya? Dengan siapa gerangan ia kesana? Ah… entahlah!

#3

Luna. Sudah tiga tahun ini aku mengenalnya. Dan sudah tiga tahun ini pula aku diam-diam menyukainya. Menyukai hampir seluruh bagian dari dirinya. Caranya tersenyum, berkata-kata, memandang lawan bicara, bercanda, marah, bersedih, dan menangis. Aku tak akan melewatkan sedikitpun momen berharga dengannya.

Namun apalah artinya semua itu. Berawal dari pertemuan singkat di sebuah angkot tiga tahun yang lalu, saat kami masih putih biru, berangkat ke sekolah di pagi yang kelabu. Saat itu aku untuk pertama kalinya antara mataku dan matanya dipertemukan. Sepanjang perjalanan, aku hanya memperhatikannya, cara dia menatap orang lain dengan matanya yang tajam namun teduh, membaca buku, melirik penumpang lain, dan aku akan mengalihkan pandangan jika ia curiga padaku.

Dengan tatapannya yang tajam, aku sangat menyukainya. Matanya yang bak bakso membuatku tergila-gila. Entah kenapa, aku jadi tertarik padanya. Sejak takdir bersepakat dengan sebuah angkot untuk mempertemukan kami berdua pada setiap pagi yang hampir sama. Kelabu.

Aku dan dia beda SMP. Sebelum akhirnya aku sempat berharap akan satu sekolah dan itu memang terjadi. Mulai sejak itu aku akan mencari tahu dirinya. Menelusuri seluk beluk kehidupannya, berbagai macam cara kulakukan. Mencari jati dirinya di internet lewat google, situs jejaring sosial seperti facebook, dan friendster.

Awal sekali aku bertemu dia, aku berharap dia adalah anak lugu. Setidaknya aku salah besar karena ternyata dugaanku itu salah. Aku memang bukan peramal yang bisa membaca sifat seseorang. Bagaimana tidak, aku hanya menilainya di angkot. Sebuah pertemuan singkat yang membuatku mengaguminya.

#3

“larut dengan diri masing-masing
diam dan kaku, bersikeras ingin menjadi batu”

Penggalan puisi yang kubaca tadi pagi kembali mengerjaiku. Setelah sebelumnya aku sempat dipermalukan karena suaraku serak tiba-tiba, kini aku dan Luna juga menjadi lakon dalam puisi itu.

Angkot melaju semakin kencang dan semakin penuh. Kini aku dan dia sebelahan. Tak ada pembatas antara kami berdua. Bisa dipastikan tubuh kami bersentuhan, namun bibir kami saling diam.

Senja semakin megental. Ia sempat beberapa kali menghela napas lain dari biasanya. Penatkah? Mungkin. Tetesan keringat membasahi keningnya. Lalu ia mengelapnya dengan tissue yang ia ambil dari tas merah muda yang sejak tadi berada di pangkuannya.

Kami masih memainkan pantomime. Begitu juga penumpang lain. Tapi aku tahu kami sedang tidak berada di panggung dengan penonton berdasi kupu–kupu, memainkan recital piano, memakai tuxedo berwarna putih dan berada di bawah tirai berwarna marun. Kami hanya sedang duduk dan menerawang dengan pikiran masing-masing.

Luna tengah sibuk sendiri. Mengurusi pesan-pesan yang bergilir mampir di telepon genggamnya. Aku sempat melirik, namun tak bisa melihat pesan yang dibacanya lantaran ukuran font yang sangat kecil.

Sempat beberapa kali aku mencoba mengalihkan perhatian. Misalnya dengan pura-pura tidur, baca buku, atau melihat pepohonan yang dilalui angkot ini. Namun, gagal! Aku tak bisa tidur karena tiap aku memejam, aku hanya akan membayangkan wajahnya dengan tangan yang seakan menerkam aku, tapi aku rela tertelan ke dalam hatinya. Aku tak bisa baca buku karena itu dapat merusak mata, dan satu lagi, aku tak bisa mengalihkan pandangan ke jalan karena aku selalu meliriknya.

Ah, aku mulai bosan. Oh ya, mungkin kau bertanya, kenapa aku tak mengajaknya bicara. Sebenarnya terlalu banyak yang ingin kubicarakan. Pelajaran di sekolah pagi tadi, pentas seni kemarin, guru yang paling pemarah di kelas, tugas di sekolah, murid yang dihukum, dan kabarnya hari ini.

Tapi, aku tak ingin bicara. Perasaanku terlalu kuat untuk menahanku agar tidak bertutur kata. Mulutku jadi bisu seketika.

Tadi aku hanya bertanya, “Dari mana?” Tidakkah itu kata-kata bodoh dari seseorang yang telah lama saling mengenal, bahkan sampai tiga tahun?

Mungkin kau pikir aku bodoh, karena membiarkan kesempatan ini berlalu. Mungkin sekarang kau sedang mencemoohiku lantaran aku cuma pecundang di dekatnya, atau kau sedang gemas dengan diriku yang lumpuh tiba-tiba.

#4

Jarum arlojiku mengarah pada angka 16.34, ketika aku meliriknya yang melingkar di pergelangan tanganku. Aku masih ingat, di jam yang sama aku pernah membuatkan cerpen untuknya. Di hadiah ulang tahunnya tentang kisah cintanya.

Di sana, aku pernah berkisah tentang diriku yang telah lama menyukainya. Walaupun dia memilih lelaki lain, di cerita itu aku sempat merelakannya. Tentu saja di kehidupan sebenarnya aku takkan pernah melakukan hal itu. Tapi aku memang membiarkannya. Membiarkannya mencintai lelaki lain yang tidak juga mencintainya.

Dia sempat kaget membaca cerpen itu. Bertanya ia setelah membaca HVS lima lembar itu.

“Hei...kamu suka sama aku?”
“Tentu saja nggak Lun, itu kan cuma cerita...”
“Oh...Hmmm”, ia tersenyum kemudian.

Aku memang tak akan meninggalkan momen saat dia tersenyum. Aku akan memandanginya, dan aku tak pernah bosan melirik bibirnya yang seperti gincu warna merah.

Pernah pertama kali, saat aku dan dia baru masuk SMA. Saat itu senja. Kami berdua baru pulang MOS (Masa Orientasi Siswa). Aku juga sedang sakit, sepertinya dia juga. Lantaran terlalu penat dengan aktifitas seharian. Kebetulan kami satu kelas waktu itu. Jadi aku bisa mengenalnya, dan memperhatikannya.

Aku tak menyadari ketika dia memanggilku sambil berlari.
Di, kamu mau pulang?” Hei dia memanggilku.“Iya...kamu mau bareng Luna?” aku membaca nama yang tertera di nametag-nya.
Oh iya belum kenalan, padahal kita sering ketemu ya?” ia menjulurkan tangan serta tersenyum dan menampakkan barisan gigi yang rapi.
“Panggil aku Alan...”, aku menyambut perkenalan itu dengan menjabat tangannya.

Aku senang sekali hari itu. Punya kesempatan untuk bisa pulang dengan dia. Di jalan kami ngobrol banyak sekali.

Tentunya setiap poin dari percakapan kami akan kusimpan di memori terdalam yang selalu akan kuingat. Dari situ sejak pertama kali itu aku mengenal sedikit dari bagian hidupnya yang kelabu.

#5

Lelaki mana yang tak akan menyukainya Luna—kalaupun ada, pasti lelaki itu dungu. Dengan wajah yang putih mulus, bibir mungil berwarna merah muda, dan rambut yang panjangnya sebahu. Sungguh sempurna—setidaknya di mataku.

Berulang kali aku berpikir, menatap langit-langit angkot, mencari topik pembicaraan dengan perempuan yang telah lama mengurung hatiku ini, seperti mengurung sebuah merpati putih di sangkarnya.

Tentang kisah cintanya? Basi. Aku tak ingin membuatnya bersedih hanya untuk mengenang lelaki hujan itu. Lelaki yang seperti hujan di hatinya. Yang pernah aku deskripsikan sebagai seorang yang paling beruntung, karena pernah dicintai oleh Luna.

Andaikan lelaki itu aku!

Rumahku dan rumahnya hampir dekat. Memang rumah kami tak terlalu jauh. Hanya jarak beberapa meter saja. Perlahan penumpang angkot ini mulai menyusut, aku makin kecut saja karena cuma aku dan dia yang tersisa.

Pemandangan seperti biasa. Belantara hijau ala komplek kecilku akan kembali terlihat. Aku suka berada di sini mencium aromanya yang wangi. Sewangi parfum yang sedang dikenakan Luna sekarang. Sempat beberapa kali parfum itu disedu oleh hidungku, dalam hari yang sama. Wangi bunga sepertinya, tidak membuatku pusing, wanginya lembut dan tidak terlalu keras, cukup nikmat untuk dihidu.

Pemandangan hijau ini membawaku ke jalan menyusuri rumah Luna. Rupanya ia akan turun duluan. Senang rasanya bisa pulang bersama perempuan ini. Setidaknya telah lama aku menantikan momen ini—walaupun kami hanya memainkan pantomime—sejak pertama kali bertemu.

Mobil ini berhenti pada sebuah gang menuju rumah Luna. Ia menyetop angkot ini. Bersiap-siap hendak turun, dan melirik padaku, sepertinya ada sesuatu yang akan dia ucapkan.

Di, aku duluan ya...” lagi-lagi dia melempar senyum, membuatku kepayang.
Tiba-tiba saja, tanpa kusadari, aku mengucapkan sesuatu,
“Luna tunggu!”
Ucapanku barusan menyetop langkahnya, membuatnya berbalik dan menoleh padaku.
“Luna...aku suka sama kamu!”

Dia diam. Begitu pun aku. Namun matanya mencair tiba-tiba. Secair senja. Lalu diam-diam aku juga ikut-ikutan menjelma senja.



(2010)
Read More … Menjelma Senja

Fana


Fana, izinkan aku bercerita pada hujan malam ini tentang cantiknya dirimu. Hujan di bulan Januari telah membawa kita bersama hari ini. Bukankah kita berjanji untuk pergi nonton berdua? Maka dengan nekat aku membeli tiket itu siang tadi, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama denganmu. Kuatkah aku?

Satu Januari. Semalam tahun baru dan kau lebih memilih tidur ketimbang menikmati kembang api bersamaku. Kau tahu? Aku hanya menunggumu. Berjam-jam aku berharap kau keluar untuk sekedar menonton televisi. Tetapi nyatanya kau tak datang bahkan hingga 2013 menyambut kita. Aku sempat tertidur di ruang TV saking mengantuknya, tapi aku mencoba tetap kuat menunggu hingga 00.00 itu. Padahal aku tak peduli dengan pergantian tahun tiap tahun itu.

Waktu berdetak terlalu lama. Aku mencoba memejamkan mata tapi tak bisa. Bahkan saat setengah tertidur dan terjaga, aku masih berujar dalam hati, “Fana, kamu dimana? Keluarlah, aku mohon. Aku membutuhkanmu!” Aku tahu semua itu tak ada gunanya.

Maka aku beranikan diri tadi pagi untuk sekedar mengirimimu pesan singkat, “Bisakah kamu menemani saya menonton film nanti? Dengan Sammy juga.” Kau tahu? Sammy tidak termasuk ke dalam daftar orang yang akan kuajak nonton. Hanya kamu, selalu kamu. Sammy hanyalah teman agar aku tidak grogi menghabiskan waktu berdua denganmu.

Kamu adalah alasanku untuk bahagia dan bersedih sekaligus. Kamu tahu kan betapa kecewanya aku tadi pagi karena kamu tidak bersamaku menyambut malam tahun baru itu. Aku tak peduli pada tahun barunya, aku hanya peduli padamu.

Kau mengiyakan ajakanku untuk menonton film itu. Aku senang, sekaligus gugup. Jantungku berdetak kuat. Entah apa rasanya hatiku saat itu. Dan kau selalu berhasil membuatku gugup mengenai apa-apa yang berhubungan denganmu.
*

Aku memutuskan untuk membeli tiket itu duluan. Aku hanya tak ingin kehabisan tiket. Dengan perasaan campur aduk  aku berjalan kaki ke bioskop. Memesan tiket untuk tiga orang, Aku, Sammy, dan kamu. Aku tahu kau hanya bergurau saat bilang ingin dibayarkan. Tapi anggaplah ini sebagai pemberian seorang teman, (tak lebih).

Perasaanku masih campur aduk setelah kembali dari bioskop. Sedih dan gugup bercampur jadi satu. Sedih karena aku bahkan belum melihat wajahmu hari ini ataupun semalam, dan gugup karena beberapa jam lagi kau akan menonton film bersamaku, untuk pertama kali. Kombinasi yang aneh, sepertinya.

Setengah tiga sore, hujan. Melamun adalah salah stau opsi untuk menghabiskan waktu. Tiba-tiba ada pesan darimu, “Aku tak bisa ikut nonton nanti malam, tugasku masih belum beres.” Kemudian rasanya sebelah hatiku hancur dilindas mobil. Ingin rasanya memaki dirimu dan tidak lagi tersenyum padamu. Aku kecewa berat. Bahkan berpikir untuk mencabik saja tiket yang sudah kubeli tadi. Tapi tidak, aku harus realistis.
“Tak apa-apa sih, tapi aku sudah beli tiketnya. Ya sudah aku cari orang lain saja.” Aku mengetiknya dengan setengah kecewa karena hati baru saja terlindas mobil. Kemudian aku tak menyadari sebuah pesan masuk darimu,
“Oh tiketnya sudah dibeli? Ya sudah, aku jadi ikut.”

Ah sudah berapa kali kamu mempermainkan perasaanku hari ini. Tanpa kamu tahu, aku telah jatuh dalam dan semakin dalam.
*

Waktu berdetak sangat lama. Hingga jam tujuh malam, waktu yang sudah ditentukan untuk kita. Aku sudah siap sejak pukul setengah tujuh. Satu harapanku saat itu, kamu berdandan yang cantik. Aku selalu terhibur tiap melihatmu tampil begitu cantik. Karena hatiku telah kamu, mataku telah kamu.

Nyatanya kamu benar-benar cantik malam ini. Maka kita berangkat. Di bawah hujan, sepayung berdua. Klise memang, tetapi aku menikmatinya.

Kita sampai di bioskop beberapa saat sebelum film dimulai. Pada saat itu Sammy belum datang. Ah bisa-bisanya anak itu terlambat. Lalu apa yang terjadi pada kita, memainkan lakon kekasihkah? Kita hanya saling berpandangan. Aku menatapku dalam, sementara kamu membalas dengan tersenyum.

Sammy datang setelah beberapa kali ditelepon. Ia datang sambil nyengir sementara aku sedikit manyun. Benar dugaanku, Sammy bisa memecah sunyi di antara kita berdua. Ia membuat banyolan atau sekedar menceritakan pengalaman memalukanku. Ia dan aku berhasil membuatmu tertawa malam itu.

Tak kusangka ternyata yang menonton hanya 10 orang. Kita bertiga terkejut bukan? Kalau tahu begitu tak perlu kubeli tiket tadi siang. Kukira penuh bioskop ini oleh gerombolan manusia. Kita menonton dengan seksama, aku duduk di tengah, di antara kamu dan Sammy. “Cinta Tapi Beda,” sebuah film yang menceritakan kisah cinta pria dan wanita yang berbeda keyakinan. Kita menikmati film itu sambil sesekali berkomentar. Ya setidaknya Sammy adalah kritikus film yang baik jika ia tidak mengkritik film itu saat aku tengah khusyuk menonton.

Di tengah film kita masih sempat mengobrol. Aku lupa yang kita bicarakan. Aku hanya terpesona pada wajahmu. Di tengah keremangan, diterpa sedikit sinar dari layar besar itu, ternyata begitu indah. Kau tersenyum padaku, entahlah. Kemudian tangan kita bersisian. Andai aku bisa menggenggamnya. Bolehkah aku bermimpi untuk sekedar menggenggam tanganmu?

Kita tak lagi saling mengobrol saat klimaks film muncul. Pria dan wanita itu tak direstui oleh keluarganya. Padahal mereka telah berusaha untuk meminta restu. Kemudian aku merasa kisah tersebut mirip denganku, dalam konteks yang berbeda. Aku mencintaimu namun tak boleh memilikimu. Tapi kau tak mencintaiku, bahkan tak perlu kau tahu.

Inilah cinta yang berbatas perbedaan
Yang membuat jarak di antara kita
Meski keyakinan ini tak sejalan
Kita kan trus perjuangkan
Cinta ini abadi selamanya

Suara Hendra Abeth masih terngiang-ngiang di telingaku sejak pemutaran film itu. Judul lagunya Perbedaan. Terdengar syahdu sekaligus menusuk, membuatku mati secara perlahan. Meregang sakit yang tak berujung.

Secara tidak langsung, lagu tersebut cocok untukku. Cinta kita berbatas perbedaan, tidak memang. Kita sama, satu bentuk tubuh, kelamin yang sama. Soal jarak? Tentu saja, cinta ini menjadikan jarak kita makin kentara. Walaupun sebenarnya kita bisa begitu dekat, tapi hatiku selalu ragu untuk mengetuk pintu hatimu. Keyakinan tak merestui kita bersama. Juga bukan kita yang akan memperjuangkan cinta ini untuk abadi, hanya aku. Hanya aku!
*

Film itu selesai, mereka bersatu. Lalu bagaimana dengan kita?

Diam-diam aku menangis sendirian. Menangis untukmu juga untuk diriku sendiri. Ya Tuhan, betapa aku mencintai perempuan di sampingku ini dan betapa aku tak dapat memilikinya. Aku harus melupakannya sementara aku masih mencintainya. Ya Tuhan haruskah aku melupakannya? Atau haruskah aku menerima kekuranganku ini tanpa protes padamu? Lalu bagaimana dengan sakit yang selalu menusuk-nusuk ulu hatiku ini?

Semua pertanyaan itu sesungguhnya tak pernah bisa kujawab. Aku selalu stuck setiap kali pemikiran itu muncul dalam benakku. Haruskah ikhlas atau memaksakan diri untuk menjadi normal? Ini tidaklah semudah yang orang-orang pikir. Menjadi seseorang dengan kelainan hati berbeda, aku tak bilang seks. Aku tak pernah ingin menodai perempuan yang kucintai itu. Lantas kelainan macam apa ini? Sementara orang-orang di luar sana hanya dapat memaki-maki kekurangan kami tanpa pernah mau merasakan sakitnya. Mereka hanya men-judge tanpa pernah tahu luka yang kami torehkan sendiri.

Aku masih terduduk lama saat film itu selesai dan lampu bioskop kembali dinyalakan. Terang benderang sudah, dan semoga baik Sammy ataupun kamu tak melihat merah di mataku barusan. Sammy masih tetap berkomentar mengenai film tersebut padaku. Kelihatannya ia sangat tertarik karena ia juga berbeda keyakinan denganku. Sementara kamu telah berjalan duluan meninggalkan kami di belakang.

Aku benar-benar ingin menangis kecuali Sammy terus berkoar-koar di telingaku. Sesungguhnya aku hanya bisa berjalan sambil menunduk. Masih di pelataran bioskop itu. Hujan di malam hari sekitar pukul sembilan malam. Keadaan mulai gelap dan toko-toko mulai tutup. Hanya lampu jalanan dan pendar lampu mobil yang menyinari jalanan. Sementara Sammy meninggalkan kita ke toilet. Kita terpaku, aku dengan pikiranku, dan kamu dengan lamunanmu yang entah.

Sammy kembali dari toilet sambil nyengir. Kemudian kita memutuskan untuk berjalan kaki saja. Bukankah tempat tinggal kita cukup dekat dari bioskop ini. Berjalan di tengah hujan, sepayung berdua. Sesekali Bau tubuhmu diantar angin ke indera penciumanku. Selalu khas. Satu hal, aku selalu cinta pada bau tubuhmu. Kau membiarkan wangi tubuhmu apa adanya, tanpa perlu menggunakan parfum.
*

Kita dan Sammy berpisah di sebuah gang menuju tempat tinggalnya. Tinggal aku dan kamu, tak ada yang mengganggu lagi. Kita singgah sebentar di mini market karena kau hendak membeli sesuatu. Aku hanya memperhatikanmu. Yakinkah aku pada perasaanku sendiri?

Kita telah sampai di depan pintu kos-kosan. Kamu yang membuka kuncinya. Aku hanya memperhatikannya. Hingga akhirnya bibirku berujar sesuatu yang akan kusesali selamanya,
“Fana, aku…..aku mencintaimu.” Aku mengambil napas panjang, membuat jeda di antara kalimat tersebut.
Kamu tidak menjawab, hanya menatapku dengan sayu.

Aku kaku, tak bergerak. Tak percaya dengan yang kulakukan barusan. Kamu menunduk, lalu menangis, seperti memohon pertolongan. Tubuhku bergetar dan tiba-tiba hatiku luruh.

Entah apa yang akan terjadi setelah ini, Tuhan.


(2013)


Read More … Fana

Flshdisk Seorang Perempuan



#1

Siang dengan matahari tepat di atas ubun-ubun. Hangat yang berlebihan dapat kurasakan dari bola raksasa tua berwarna kuning kemerahan dan bulat ini. Tanpa terasa, tanganku kembali menyeka butir keringat yang jatuh perlahan di leher, kening, dan dadaku. Sementara itu wajahku masih pucat pasi dengan kantung mata yang makin membesar. Mungkin potret hidupku yang selalu acak - acakan.

Suara ribut di kelas, teriakan anak-anak--remaja--yang masih main kejar-kejaran, bekal makan siang, suara adzan zuhur, lalu lalang di kantin, pemandangan mengambil wudhu untuk segera menyapa Pencipta Alam ini. Semuanya begitu nyaring di benakku, namun tak satupun hal itu aku lakukan. Aku malah menemui seorang teman--perempuan yang katanya cantik--untuk menagih tugas ekskul.

Ditemani dengan seorang teman--pria--yang mengambil ekskul yang sama, aku menjulurkan langkah gontai menuju kelas perempuan itu. Lorong-lorong yang ribut, suara riuh “bocah-bocah” SMA, gelak, canda tawa, traktiran, suara lagu ulang tahun, sorak - sorak sorai karena baru menang perlombaan, jerit bahagia lantaran baru diterima, tangis sedih karena nilai jelek dalam ulangan, sudah makanan sehari-hari bagiku.

Dengan baju seragam kusut, acak-acakan, tampang kusut lantaran baru saja ada pelajaran membosankan, masalah yang bertumpuk, ditambah dengan deadline kerja yang tinggal beberapa hari lagi. Otomatis raut wajahku sangat kusam di depan perempuan itu. Dia hanya menatapku dengan pandangan biasa, dengan senyum sewajarnya. Dia habis makan, kulihat bercak kuah gulai di jilbabnya yang berwarna putih.

Anggun. Wanita--yang katanya cantik--dengan cukup antusias menyambut kami di kelasnya. Aku langsung saja menyeret kursi untuk membicarakan beberapa masalah. Begitupun Ardi, langsung membuka buku dan membaca beberapa surat yang akan kami bahas bersama.

“Langsung saja ya,” ucapku dengan nada datar disertai anggukan dari perempuan di sebelahku.

“Ini ada beberapa surat yang belum kamu tanda tangani, tolong tanda tangani sekarang ya!”

Tanpa suara, perempuan itu melakukan perintahku dengan mengambil pena di dalam tas ranselnya yang berwarna hijau. Tanpa suara pula dia langsung menumpahkan tinta pada blangko absen tersebut.

Bel masuk baru saja dibunyikan, Ardi yang dari tadi gelisah langsung bicara dengan tiba-tiba,

“Aku belum salat, kalian saja yang lanjutkan ya!”

“Baiklah,” ucapku dan dia--perempuan di sampingku--serempak.

Ardi langsung pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Kami berpandangan cukup lama sampai akhirnya perbincangan mata ini menyetop matanya dan mengisyaratkan padanya untuk bersikutat lagi dengan blangko absen tersebut.

#2

Anggun, perempuan yang katanya cantik. Entah sejak kapan kata “katanya” ini mengganggu struktur kalimat itu, yang jelas kata ini telah terpatri di dalam benakku cukup lama. Bahkan sejak pertama kali aku dan dia berpandangan--walaupun cuma sekilas.

Ada data yang kamu simpan di komputer ruang guru?”

“Ada, Dan,” dia tak menatapku saat ini, hanya mengucapkan iya sambil terus sibuk dengan surat menyurat itu.

“Kalau begitu ayo kita ambil kesana, jangan lupa bawa flashdiskmu ya!”

“Ok!”

Kami berjalan ke kantor majelis guru. Sebelumnya dia telah minta izin untuk keluar pada jam pelajaran biologi pada guru yang sebentar lagi akan mengajar di kelasnya. Aku hanya melihat, sampai dia berlari mengejar langkahku.

Kami berjalan berdua, sesekali aku sempat membuka perbincangan,

“Kau tahu dimana file itu disimpan?”

“Tentu saja” ucapnya sambil memperhatikan gundukan kerikil kecil di bawahnya.

“Oh ya, bagaimana keadaanmu?” aku melihat sekilas ke arahnya, dia juga menatapku lekat-lekat, kemudian membuang pandang.

“Baik,” jawabnya datar.

Aku tahu dia bohong. Karena aku bisa melihat sekilas wajahnya diliputi gelisah. Selain itu aku memang merasa dia sedang menyembunyikan sesuatu. Wanita ini sungguh membuatku penasaran.

Dia memang penyembunyi rahasia yang baik. Tapi aku tak dapat dibohongi. Aku tahu, di balik senyumnya itu, dia sedang menangis kuat. Aku tahu dari sorot matanya itu ada duka yang sedang menenggelamkannya.

Tapi aku tak berkata apa-apa. Aku tak ingin mencampuri kehidupannya.

“Oh ya bagaimana hubunganmu dengan lelaki itu?”

“Lelaki mana?”

Aku tertegun, mengingat sesuatu.

#3

Aku ingat lagi. Lelaki A, lelaki B, lelaki C, dan masih banyak lagi. Mungkin itu yang membuat--perempuan yang katanya cantik--ini sangat digemari oleh kaum Adam. Banyak orang yang mengaguminya. Lantaran kecantikannnya itu telah membuat orang-orang penasaran.

Namun, di balik semua itu, aku ingat lagi bahwa hanya ada seorang lelaki yang sangat dicintainya. Ya, dia pernah cerita tentang hidupnya. tentang lelaki A yang sangat dicintainya itu. Aku kasihan mendengar ceritanya, karena lelaki itu tak menyadari perasaan perempuan ini.

Aku mencoba melupakan pikiran ini. Karena kini kami telah sampai di sebuah komputer dimana file yang kami cari itu di simpan. Aku perhatikan sekeliling, sepi. Mungkin guru-guru tengah sibuk mengajar di kelas masing-masin. Sedang menyuapi ilmu pada muridnya.

Aku duduk di sebuah kursi. Sedang Anggun, masih sibuk mengutak-atik komputer untuk mencari file itu. Dia mencolokkan flashdisknya itu. Lalu matanya sibuk lagi berputar-putar mencari file itu.

“Oh ya, maksudku lelaki itu adalah Hadi”

Dia menoleh, lalu raut wajahnya berubah.

“Aku mencoba melupakannya”

“Oh”, jawabku singkat, tanpa tahu harus berkata apa.

Dia lalu mencopy-kan file itu ke flashdisknya. Yang dilanjutkan dengan mematikan komputer itu. Kemudian dia memberikan flashdisk itu padaku.

“Aku dengar kau telah menjalin hubungan dengan lelaki lain?”

Dia mengangguk, membenarkan ucapanku. Kemudian kami menyusuri jalan keluar dari ruangan--yang sepi--ini.

“Berarti kau telah lupa pada Hadi?”

Mungkin saja, jawabnya asal - asalan.

Di luar, kami mengarahkan langkah pada tujuan berbeda. Aku melambaikan tangan padanya. Begitu pula dia. Kami kembali ke kelas masing-masing, dia melanjutkan pelajaran biologi, sedang aku memutuskan untuk pulang karena tak ada lagi pelajaran siang ini.

Sementara itu aku menoleh pada flashdisk di tanganku

“Usang juga ya!”

#4

Sore ini, senja memerah. Aku sudang sibuk di kamar yang ukurannya tak terlalu besar. Pandanganku fokus pada layar komputer. Ditemani musik yang mengalun dari sound system yang dipasang cukup keras.

Aku sedang sibuk mengutak-atik file yang kemarin diberikan Anggun. Flashdisk yang bernama “Broken” itu semakin membuatku iba padanya. Entah apa maksud dari pemberian nama pada flashdisk berwarna hitam itu.

Flashdisk yang tutupnya telah hilang, sedikit warna hitamnya telah berubah menjadi keputihan, mungkin karena tergores atau karena tak dirawat dengan baik. Di ujung-ujungnya ada sedikit debu yang menempel keras. Pada bagian samping ada besi yang berkarat.

Kuperhatikan baik-baik flashdisk ini, setelah meng-copy beberapa data yang kuanggap penting. Sekali lagi, flashdisk ini telah karatan. Usianya telah tua. Tapi apa bedanya dengan flshdisk-ku? Bukankah kami membelinya pada toko yang sama dan juga di hari yang sama?

Aku mencari flashdisk itu. Ketemu. Lalu membandingkannya. Tiga tahun lalu, kami membelinya. Aku berwarna biru, dan dia berwarna hitam. Namun, kini punyaku telah rusak. Dan aku hanya meletakkannya di sebelah komputerku. Baru beberapa hari ini, penyimpan memori ini tak dapat terbaca. Entah kenapa?

Tapi bagaimana dengan punya Anggun? Aku menatap lekat-lekat pada flashdisk ini, sambil mengaduk-aduk pikiranku.

“Bukankah kejadian ini juga terjadi pada pemiliknya?" Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara dari pikiranku sendiri.

“Apa maksudnya?”

“Dia telah banyak dipermainkan oleh lelaki yang mencintainya?”

“Lelaki A, lelaki B, dan lelaki C?”

“Ya, mungkin lebih banyak dari itu!”

Aku menatap flashdisk menyedihkan ini, barangkali ada benarnya.

#5

Aku berniat membersihkannya. Tanganku bergerak perlahan mengelap flashdisk ini dengan sapu tangan. Aku tak peduli senja telah menjadi hitam. Tanganku bergerak maju mundur dan dengan lembut mengelapnya.

Aku mendekatkan flashdisk itu ke hidungku. Tiba-tiba indra penciumanku menangkap sebuah aroma. Sebuah aroma yang sedap.

Ya, ini adalah bau sebuah parfum. Khas aroma perempuan. Aku juga tak tahu mengapa ada aroma ini.

“Itu adalah aroma tubuhnya. Tidakkan kau pernah mencium aroma ini sebelumnya?”

“Ya, kadangkala kalau kami berpapasan!”

Ya, aku yakin ini aroma tubuhnya. Wangi sekali. Tapi kenapa juga ada pada flashdisk ini?

Oh ya, mungkin saja ini adalah gambaran Anggun. Mulai dari kerusakan yang menimpanya, dan bau itu. Bau yang mengundang kumbang untuk mendekatinya.

Terakhir, aku memindahkan tutup flashdisk milikku yang rusak itu pada flashdisk ini. Semoga saja dengan begini dia tetap terawat.

Semoga juga perempuan itu senang.

#6

“Anggun!!” Aku berteriak memanggilnya yang lewat pagi ini di depan kelasku. Lalu menyerahkan benda kecil miliknya itu.

“Ok makasih!” Dia mengambil flashdisk itu dari tanganku. Kemudian membalikkan tubuh lalu pergi.

Aku menatapnya dari kejauhan. Dia berbalik arah kemudian, aku tahu dia pasti merasakan sesuatu yang lain.

“Tutup ini?”

“Ambil saja!”

Ucapku datar diiringi kepergiannya.

“Sesingkat itukah?” Aku mendengar sesuatu lagi. Aku tak menjawab, hanya diam saja.


Kemudian bau itu menghampiri lagi. Bau yang semakin kental dari aroma tubuh perempuan itu.



(2010)
Read More … Flshdisk Seorang Perempuan
Copyright 2009 Aqueous Humor. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy