Empat
“Kak Audrey…kak Audrey ayooo siniii”
Suara itu berusaha menuntun gue melewati sebuah terowongan
gelap, nggak ada cahaya dan sama
sekali lembap. Gue hanya bisa menurut, berjalan mengikuti tanpa bersuara.
“Kakaak ayooo cepaaat, sebelum gerbangnya ditutup!”
Suara Katia terdengar panik, kini gue sudah setengah
berlari, dan dia berada di ujung terowongan yang penuh cahaya.
“Katiaa….tungguuu!”
Gue berteriak panik, terowongan itu semakin lama semakin
menutup, jalan keluar itu semakin kabur. Gue panik, terus berlari walaupun
napas tersengal. Dan gue tetap memanggil Katia. Menatap wajahnya yang penuh
harap di ujung terowongan.
“Kakaaaaaak!”
Teriakan terakhirnya, terowongan itu tertutup. Sempurna
gelap dan lembap.
***
“Mimpi buruk lagi.”
Gue sempurna terbangun setelah mendengar ada pesan masuk di handphone. Cuma pemberitahuan bahwa
mulai hari ini, 6 Agustus, tidak ada lagi urusan di kampus. Maba bisa pulang
kampung dan senior bisa mengakhiri dramanya.
Gue mengusap muka, akhir-akhir ini memang sering mimpi
buruk. Tapi yang ini lumayan menyeramkan. Ada Katia pula. Apa maksudnya gue
terjebak dalam terowongan yang gelap dan lembab?
Oh Ibu! Bahkan mimpi buruk terlihat lebih buruk ketika kita
terjaga.
Gue mengusap-usap muka (lagi). Jam enam pagi, nanti siang gue
akan kembali ke Depok. Sementara esoknya ayah akan pulang ke Padang. Gue
memutuskan untuk liburan di Depok sembari menunggu masa perkuliahan dimulai.
Gue nggak akan pulang, mungkin
semester depan saja. Terlalu banyak kenangan berhamburan di Padang, gue nggak mau tiba-tiba jadi melankolis di
sana.
Gue beranjak dari tempat tidur dan memutuskan untuk mandi.
Segenggam air gue basuhkan ke muka.
“Setiapku
memandangmu merana hatiku, terulang kisah rupa wajah sayu, menetes sendu rindu
pilu ragu, mengusik bisu kelabu dirimu. Ku membelaimu merenung diriku, tersirat
ingin ucap rasa cinta, sadarkah bila saya cinta kamu….”
Gue teringat pernah mengirimkan sms ini secara random beberapa bulan lalu. Katanya
secara random, padahal gue cuma
mengirimkan ini ke Katia doang. Kemudian dibalas oleh dia,
“Lagi galau ya, Kak?”
Gue nggak membalas lagi. Itu memang yang gue rasakan.
Berusaha meyakinkan orang yang dicintai untuk melupakan masa lalu yang pernah menyakitinya, itu
sulit.
“Byuuur!”
Siraman pertama mengenai badan gue! Terasa dingin air
Jatinangor pagi ini.
…
Sesungguhnya ku berpura-pura
Relakan kau pilih cinta yang kau mau
Sesungguhnya ku tak pernah rela
Karena ku yang bisa, membuat hatimu
utuh
…..
Katia memang pergi dari orang yang menyakitinya, dan dia
memilih sepupu gue setelah itu. Cuma rasa sakit dan kecewa yang tersisa buat
gue. Sore itu, beberapa hari menjelang ujian akhir sekolah, sepupu gue, Bima,
datang ke rumah. Dia bercerita bahwa dia baru jadian dengan Katia, berkat gue.
Gue langsung antusias dan menyuruhnya untuk mentraktir gue sore itu. Tentu
saja, dua loyang besar pizza langsung diantar ke rumah beberapa menit kemudian.
Orang-orang rumah juga turut senang kebagian pizza yang dibawa Bima. Gue nggak berhenti tersenyum hingga Bima
pulang.
Namun setelah itu gue tersenyum dan menertawakan diri gue
sendiri. Hebat banget akting gue barusan. I’m
crying hard, yet trying to be cool at the same times. Sebuah ungkapan dari
novel Trave(love)ing yang sama banget dengan yang gue rasakan.
“Byuuur!”
Semburan terakhir untuk menyadarkan gue dari lamunan ini.
***
Kisah tentang lesbian tak selalu menjijikan. Gue memang
butchi (cewek yang seperti cowok), tapi gue nggak
punya femme (cewek feminim yang suka cewek tomboi). Mungkin gue nggak seratus persen homoseksual, karena
gue nggak merasakan ketertarikan
fisik pada mereka. Gue suka mereka dari hati, udah gitu aja.
Lebih baik selalu patah hati seperti ini, dari pada gue
memiliki kekasih sesama jenis dan menambah runyam pikiran gue. Masalah gue
sekarang saja sudah banyak, dan gue nggak
mau menambahnya lagi.
Gue berfiuuuh dalam hati. Seperti ada yang iseng meletakkan
televisi besar di kepala gue dan memutar semua memori yang berusaha gue
lupakan. Ah sudahlah, mari pikirkan hal yang lain, seperti misalnya….
“Deefa, Nisa, gue nitip kamar ya ke kalian. Gue balik ke
depok hari ini, sukses ya kalian ospeknya.” Gue merogoh hp dari kantong celana
dan mengirim pesan yang sama ke mereka berdua. Sejauh ini, memang cuma kontak
mereka yang gue punya.
Gue lagi di bus, ternyata suasana antara bus di jawa dan bus
lintas sumatera memang beda ya. Mulai dari suara pedagangnya sampai barang yang
dijajakan.
“Mijon mijon, mijonnya mijon, A, Teh…”
Seorang pedagang melewati gue dan meneriakan kata-kata itu
di dalam bus. Baiklah, mereka menyebut Mizone dengan “Mijon” dan itu unik! Gue
baru saja mengetikkannya di twitter sembari menghalau rasa bosan.
“Korannya A, Teh, Persib barusan menang melawan persija!”
“Tahu tarahu, bakpao barapau bapau, pau!”
Jangan kira ini rapper
yang disediakan bus sebagai fasilitas bagi penumpangnya. Ini masih pedagang
yang menjajakan tahu dan bakpao di bus ini. Perjalanan ke Depok bisa ditempuh
selama tiga jam jika lewat tol, namun bisa jadi berjam-jam jika melewati
puncak. Dan bus ini, melewati puncak. Which
is, berjam-jam akan dihabiskan dengan sia-sia.
Beberapa penumpang mulai duduk di tempatnya masing-masing.
Tak jauh dari gue ada pemuda dan pemudi yang asik ngobrol, mungkin berdebat
soal kebutuhan rumah tangga dan BBM yang naik. Dua bangku di depan gue, ada
pemuda yang memberikan minuman kepada kekasihnya semberi tersenyum sinis.
Mungkin ia baru saja membubuhkan racun pada minuman itu. Sementara di tempat
duduk seberang ada seorang cewek yang menelepon,
“Aku lagi di jalan,” ia menjawab dengan nada galau.
“Oh yaudah kalo kamu udah sampai kabari aku ya!” Itu bukan
jawaban dari kekasihnya, melainkan jawaban dari gue yang kebetulan sedang
menelepon.
“Kamu bakalan jemput aku kan?”
“Belum tahu, ini aja aku belum sampai.” Teman gue di
seberang menanyakan keberadaan gue.
“Susah banget sih mau ketemu kamu!” Si cewek ngomong dengan
ketus dan ragu-ragu melihat ke arah gue.
“Kamu yang egois…” Gue balik menatap si cewek dengan aneh.
Kok obrolan gue dengan dia mendadak nyambung gitu ya?
Cewek itu sepertinya sadar yang terjadi, dia lalu mematikan
telepon dan memalingkan wajah. Gue sendiri juga baru memutuskan sambungan
dengan teman di seberang sana, yang janjian mau ketemu di Depok.
Sesuai prediksi,
perjalanan dari Jatinangor ke Depok memakan waktu enam jam, itu jam semua loh.
Ketimbang turun di Kampung Rambutan, gue dan ayah memutuskan untuk turun di
Bogor dan menyambung ke Depok dengan angkot. Tidak cukup satu apalagi dua
angkot, tiga angkot ikut andil dalam mengantarkan gue ke rumah kakak sepupu di
sana. Sampai di rumahnya gue tidak mengenali apa pun kecuali kasur!
***
Waktu dua minggu di Depok banyak gue habiskan dengan
pekerjaan mulia, yaitu: magang jadi pembantu. Semenjak citra perempuan dari
dulu dikenal sebagai citra pigura, citra pinggan, citra nampan, dll, gue paham
bahwa sebagai perempuan, kita tidak akan lepas dari dapur. Maka, gue yang masih
mengaku sebagai perempuan, wajib mempelajari hal ini.
Banyak hal yang gue pelajari, masak, mulai dari masakan yang
mudah ataupun yang sulit, beres-beres rumah a.k.a nyapu, nyuci piring, ngepel,
nyuci baju, dsb. Karena yang namanya kodrat sebagai perempuan tidak bisa
diubah, mari kita belajar menerimanya. Walaupun mungkin jiwa gue sangat laki.
Oh ya, apakah kata-kata “magang jadi pembantu” terlihat sangat sarkasme? Kalau
begitu lupakan saja, mari kita ganti istilah ini dengan “membabu buta” (sambil
pasang senyum khas sales MLM).
Selain itu, hal lain yang gue lakukan adalah…menggalau. Eh
coret! Maksudnya, mengenal Deefa lebih dalam. Salah satunya lewat sms ini.
“Hei Dee, kamu apa kabar? Masih ingat aku kan?”
Gue tunggu sampai tiga hari dan sms itu nggak dibalas.
“Hei Deefa, ini Audrey. Kemaren ga ada pulsa ya jadinya ga
bales sms? Eh apa kabar?”
Dua hari berlalu tetap tidak ada balasan. Ah gue kira alam
semesta bersekongkol untuk menjauhkan kami eaak.
“Hei Deefa, ada apa sebenarnya denganmu? Kenapa ga pernah
balas smsku?”
Balasannya membuat gue nyaris semaput, “Maaf Mbak, saya
bukan orang yang Mbak maksud. DAN TOLOOONG JANGAN SMS KESINI LAGIII!!”
Andai yang dia kirim adalah pesan suara, dan andai ini
kartun, maka rambut gue sudah terbang tidak beraturan, bibir gue juga seperti
diterbangkan angin topan mendengar suaranya. Tapi karena ini dunia nyata, mari
kita lupakan saja scene barusan.
Karena mengetahui kenyataan pahit bahwa gue salah nomor, which is nomor tersebut berasal dari
penjaga kos yang salah baca nomor hp di pintu kamarnya Deefa. Great! Gue memutuskan untuk menghubungi
Nisa.
“Nis, kemaren gue sms Deefa ga dibales-bales, taunya gue
salah orang dan gue dimaki-maki. Lo punya nomornya?”
Setelah diketawain sampai puas sama Nisa, gue dikasih
nomornya Deefa.
“Hahaha watir pisan maneh teh! Nih nomornya +62857633###” (artinya kamu keren banget-red,
tapi sebelum digampar oleh orang Sunda asli karena terjemahannya salah, mari
lupakan saja).
Gue berpikir berulang kali sebelum mengiriminya pesan.
Tiba-tiba gue nge-blank, nggak tahu harus bilang apa. Apa harus
dengan ini,
“Selamat nomor Anda berhasil memenangkan undian dari
restoran kami. Anda bisa menukarkan hadiahnya….”
Lupakan, itu basi! Atau ini,
“Malam ini akan ada malaikat hitam di sampingmu. Jika kamu
ingin ia memberikan keajaiban padamu, kirimkan sms ini ke-15 orang atau ibumu
akan mati….”
Lupakan! Itu menakutkan. Atau mungkin begini,
“Tolong kirimkan mama pulsa 25ribu ke nomor AS ya, ini mama
lagi di kantor polisi karena ngebut-ngebutan di jalan sampai nabrak mobil
polisinya. Cepet ya, mama mau nelpon pengacara!”
Tidak, tidak! Itu tidak logis.
Gue galau, tidak punya ide sama sekali untuk mengirimi dia
pesan pertama. Gue harus bilang apa? Hanya ada dua pilihan yang dapat gue
lakukan:
1. Menunggu ide
2. Menunggu ide sambil boker
Maka gue memutuskan untuk melakukan hal yang pertama. Cukup
lama gue dapat ide, setelah menggunting kuku, menggunting kuku, dan menggunting kuku. Gue mulai mengetikan pesan di
ponsel.
“Hei Deefa, ini aku Audrey, yang di kosan waktu itu. Masih
ingat kan?”
Gue memulainya dengan sesuatu yang normal.
***
….
Mau
dikatakan apa lagi
Kita tak
akan pernah satu
Engkau di
sana, aku di sini
Meski
hatiku memilihmu
….
Sudah ke dua puluh empat kalinya lagu ini gue putar melalui headset dari tadi. Galau time! Suara Yovie, Mario, dan Carlo tak
lelah mengalun dari ipod. Yah setidaknya ini bukan film SuckSeed sehingga penyanyinya tidak harus hadir saat Ped lagi
galau. Kalau nggak gue harus bayar Kahitna berapa buat nyanyi selama ini? Maka
berterimakasihlah pada teknologi! Gue garing? Oke toyor!
Percuma sebenarnya memikirkan cinta yang tak pernah diizinkan
di dunia ini. Tapi mengapa Tuhan menciptakannya? Apakah untuk membuat kita
belajar unuk menerima? Untuk ikhlas, bahwa kita berbeda dari orang lain? Umur
gue saat ini delapan belas, dan sejak gue jatuh cinta pertama kalinya di umur
delapan tahun, gue belum mengerti.
Kadang gue memikirkan, apakah gue sama dengan manusia lain?
Satu sisi hati gue bilang, “Iya, lo sama dengan mereka. Sama-sama punya
perasaan, sama-sama pernah jatuh cinta.” Sisi yang lain dari diri gue berontak,
“Nggak, lo berbeda! Dan perasaan ini
tidak pernah diinginkan orang lain!”
Kita Bhineka Tunggal Ika, tapi masih tetap banyak perlakuan
tidak senonoh pada mereka yang “berbeda.” Hinaan, makian, mungkin jadi makanan
sehari-hari buat mereka. Kalau dilihat dari sisi yang lebih luas, tidak cuma
homoseksual yang mendapat perlakuan seperti ini. Coba lihat yang beda
kepercayaan, yang beda ras, yang beda suku. Do
you think we’re still in the zone ‘aman, damai, dan tidak apa-apa’?
Banyak media yang menayangkan perlakuan-perlakuan tersebut. Perang
dan bersitegang karena ‘perbedaan’ tadi. Do
you still wanna say that we’re okay? Mungkin Tuhan ingin kita belajar
menerima perbedaan ini, bukan hanya mereka yang berbeda tersebut, tapi juga
mereka yang ada di sekitarnya.
Mungkin, nanti.
***
Apakah kalian masih merasa mual membaca cerita gue ini?
Ayolah, belajar menerima perbedaan itu. Kita sama-sama manusia, dan kita
sama-sama punya rasa, rasa yang berbeda.
Sejauh ini gue tidak melakukan apa-apa untuk kesembuhan gue.
Okay, let me confess something! Yang
sebenarnya adalah gue nggak pengen siapapun tahu tentang ini. Tidak keluarga
gue, tidak juga orang yang gue suka. Gue nggak
tahu apa yang akan mereka lakukan jika mengetahui kenyataan ini. Mengusir gue
dari rumah? Memaki-maki? Ah, bisa jadi lebih buruk dari itu.
Ngomong-ngomong soal keluarga, gue punya banyak cerita yang
unik dari kecil. Ah mungkin gue memang terlahir berbeda. Dari kecil pikiran gue
memang sudah aneh sih. Salah satu penyebabnya adalah hobi gue nonton televisi.
Kadang gue bertingkah seperti berpura-pura kabur dari rumah, kadang seperti mau
bunuh diri, atau seperti pengembara dari Samia. Bisa saja tiba-tiba gue bilang, “Tidaaak!
Aku mau pergi saja dari rumah ini!” Kemudian orang-orang melihati gue dengan
aneh. Atau, “Lebih baik aku mati daripada harus melihat wajahmu lagi!” Kemudian
kue yang dipegang abang terjatuh dan dia melongo. Seperti ini misalnya, ada satu pikiran absurd yang gue
tanyakan ke ibu,
“Bu, kita ini main sinetron ya?” Gue menarik-narik baju ibu
yang saat itu sedang memasak di dapur.
“Tidak nak, kita menjalani kehidupan ini seperti yang
sebenarnya, kita tidak main sinetron.”
“Oh, tapi kenapa aku dimarahin terus ya kayak di tv?”
“Oh itu karena kamu nakal.” Ibu lalu mengelus kepalaku
dengan lembut.
Gue bertanya seperti itu karena gue selalu merasa diintai
oleh kamera. Sementara anak lain bertanya pada ibunya, “Ma, laper itu apa sih?”
atau, “Ma, kok ada hujan sih?” Pertanyaan yang keren, kan? Tapi menurut gue,
pertanyaan kita sewaktu kecil dan bagaimana orang tua mendidik kita dulu akan
mempengaruhi karakter kita nantinya.
Oh ya, biasanya kalau waktu kecil lagi jalan-jalan ke mall, gue pegangan tangan sama ayah biar
nggak hilang. Tapi karena waktu itu
gue lagi melihat-lihat cokelat di cake shop, gue tidak menyadari bahwa sudah
ditinggalkan. Gue yang panik pun hanya bisa melakukan dua hal,
1. Mencari ayah
2. Mencari ayah sambil menangis
Gue memutuskan untuk melakukan yang pertama, gue mencari
ayah kemana-mana. Setelah lihat kiri kanan, akhirnya gue menemukan beliau yang
saat itu memakai baju kemeja putih. Tanpa melihat wajahnya, gue langsung saja menggenggam
tangan orang itu. Tetapi tiba-tiba ada yang berteriak,
“Hei hei tunguuu!” Ternyata itu Ibu!
Gue dan orang itu kaget dan ia langsung melepas tangan gue.
Ternyata itu bukan ayah! Jadi karena gue terlalu pendek, gue tidak melihat
wajah orang itu dan langsung memegang tangannya. Aduh, anak macam apa sih yang
salah mengenali bapaknya? Rasanya gue ingin dipecat saja jadi anak saat itu
juga. Malu woooy!
Semua perasaan kangen bisa tumbuh
tiba-tiba ketika kita merasa jauh. Sepertinya dalil itu berlaku pada gue saat
ini. Kangen rumah!