Novel Bab 4


Empat


“Kak Audrey…kak Audrey ayooo siniii”
Suara itu berusaha menuntun gue melewati sebuah terowongan gelap, nggak ada cahaya dan sama sekali lembap. Gue hanya bisa menurut, berjalan mengikuti tanpa bersuara.
“Kakaak ayooo cepaaat, sebelum gerbangnya ditutup!”
Suara Katia terdengar panik, kini gue sudah setengah berlari, dan dia berada di ujung terowongan yang penuh cahaya.
“Katiaa….tungguuu!”
Gue berteriak panik, terowongan itu semakin lama semakin menutup, jalan keluar itu semakin kabur. Gue panik, terus berlari walaupun napas tersengal. Dan gue tetap memanggil Katia. Menatap wajahnya yang penuh harap di ujung terowongan.
“Kakaaaaaak!”
Teriakan terakhirnya, terowongan itu tertutup. Sempurna gelap dan lembap.
***
“Mimpi buruk lagi.”
Gue sempurna terbangun setelah mendengar ada pesan masuk di handphone. Cuma pemberitahuan bahwa mulai hari ini, 6 Agustus, tidak ada lagi urusan di kampus. Maba bisa pulang kampung dan senior bisa mengakhiri dramanya.
Gue mengusap muka, akhir-akhir ini memang sering mimpi buruk. Tapi yang ini lumayan menyeramkan. Ada Katia pula. Apa maksudnya gue terjebak dalam terowongan yang gelap dan lembab?
Oh Ibu! Bahkan mimpi buruk terlihat lebih buruk ketika kita terjaga.
Gue mengusap-usap muka (lagi). Jam enam pagi, nanti siang gue akan kembali ke Depok. Sementara esoknya ayah akan pulang ke Padang. Gue memutuskan untuk liburan di Depok sembari menunggu masa perkuliahan dimulai. Gue nggak akan pulang, mungkin semester depan saja. Terlalu banyak kenangan berhamburan di Padang, gue nggak mau tiba-tiba jadi melankolis di sana.
Gue beranjak dari tempat tidur dan memutuskan untuk mandi. Segenggam air gue basuhkan ke muka.
“Setiapku memandangmu merana hatiku, terulang kisah rupa wajah sayu, menetes sendu rindu pilu ragu, mengusik bisu kelabu dirimu. Ku membelaimu merenung diriku, tersirat ingin ucap rasa cinta, sadarkah bila saya cinta kamu….”
Gue teringat pernah mengirimkan sms ini secara random beberapa bulan lalu. Katanya secara random, padahal gue cuma mengirimkan ini ke Katia doang. Kemudian dibalas oleh dia,
“Lagi galau ya, Kak?”
Gue nggak membalas lagi. Itu memang yang gue rasakan. Berusaha meyakinkan orang yang dicintai untuk melupakan masa lalu yang pernah menyakitinya, itu sulit.
“Byuuur!”
Siraman pertama mengenai badan gue! Terasa dingin air Jatinangor pagi ini.
Sesungguhnya ku berpura-pura
Relakan kau pilih cinta yang kau mau
Sesungguhnya ku tak pernah rela
Karena ku yang bisa, membuat hatimu utuh
…..
Katia memang pergi dari orang yang menyakitinya, dan dia memilih sepupu gue setelah itu. Cuma rasa sakit dan kecewa yang tersisa buat gue. Sore itu, beberapa hari menjelang ujian akhir sekolah, sepupu gue, Bima, datang ke rumah. Dia bercerita bahwa dia baru jadian dengan Katia, berkat gue. Gue langsung antusias dan menyuruhnya untuk mentraktir gue sore itu. Tentu saja, dua loyang besar pizza langsung diantar ke rumah beberapa menit kemudian. Orang-orang rumah juga turut senang kebagian pizza yang dibawa Bima. Gue nggak berhenti tersenyum hingga Bima pulang.
Namun setelah itu gue tersenyum dan menertawakan diri gue sendiri. Hebat banget akting gue barusan. I’m crying hard, yet trying to be cool at the same times. Sebuah ungkapan dari novel Trave(love)ing yang sama banget dengan yang gue rasakan.
“Byuuur!”
Semburan terakhir untuk menyadarkan gue dari lamunan ini.
***
Kisah tentang lesbian tak selalu menjijikan. Gue memang butchi (cewek yang seperti cowok), tapi gue nggak punya femme (cewek feminim yang suka cewek tomboi). Mungkin gue nggak seratus persen homoseksual, karena gue nggak merasakan ketertarikan fisik pada mereka. Gue suka mereka dari hati, udah gitu aja.
Lebih baik selalu patah hati seperti ini, dari pada gue memiliki kekasih sesama jenis dan menambah runyam pikiran gue. Masalah gue sekarang saja sudah banyak, dan gue nggak mau menambahnya lagi.
Gue berfiuuuh dalam hati. Seperti ada yang iseng meletakkan televisi besar di kepala gue dan memutar semua memori yang berusaha gue lupakan. Ah sudahlah, mari pikirkan hal yang lain, seperti misalnya….
“Deefa, Nisa, gue nitip kamar ya ke kalian. Gue balik ke depok hari ini, sukses ya kalian ospeknya.” Gue merogoh hp dari kantong celana dan mengirim pesan yang sama ke mereka berdua. Sejauh ini, memang cuma kontak mereka yang gue punya.
Gue lagi di bus, ternyata suasana antara bus di jawa dan bus lintas sumatera memang beda ya. Mulai dari suara pedagangnya sampai barang yang dijajakan.
“Mijon mijon, mijonnya mijon, A, Teh…”
Seorang pedagang melewati gue dan meneriakan kata-kata itu di dalam bus. Baiklah, mereka menyebut Mizone dengan “Mijon” dan itu unik! Gue baru saja mengetikkannya di twitter sembari menghalau rasa bosan.
“Korannya A, Teh, Persib barusan menang melawan persija!”
“Tahu tarahu, bakpao barapau bapau, pau!”
Jangan kira ini rapper yang disediakan bus sebagai fasilitas bagi penumpangnya. Ini masih pedagang yang menjajakan tahu dan bakpao di bus ini. Perjalanan ke Depok bisa ditempuh selama tiga jam jika lewat tol, namun bisa jadi berjam-jam jika melewati puncak. Dan bus ini, melewati puncak. Which is, berjam-jam akan dihabiskan dengan sia-sia.
Beberapa penumpang mulai duduk di tempatnya masing-masing. Tak jauh dari gue ada pemuda dan pemudi yang asik ngobrol, mungkin berdebat soal kebutuhan rumah tangga dan BBM yang naik. Dua bangku di depan gue, ada pemuda yang memberikan minuman kepada kekasihnya semberi tersenyum sinis. Mungkin ia baru saja membubuhkan racun pada minuman itu. Sementara di tempat duduk seberang ada seorang cewek yang menelepon,
“Aku lagi di jalan,” ia menjawab dengan nada galau.
“Oh yaudah kalo kamu udah sampai kabari aku ya!” Itu bukan jawaban dari kekasihnya, melainkan jawaban dari gue yang kebetulan sedang menelepon.
“Kamu bakalan jemput aku kan?”
“Belum tahu, ini aja aku belum sampai.” Teman gue di seberang menanyakan keberadaan gue.
“Susah banget sih mau ketemu kamu!” Si cewek ngomong dengan ketus dan ragu-ragu melihat ke arah gue.
“Kamu yang egois…” Gue balik menatap si cewek dengan aneh. Kok obrolan gue dengan dia mendadak nyambung gitu ya?
Cewek itu sepertinya sadar yang terjadi, dia lalu mematikan telepon dan memalingkan wajah. Gue sendiri juga baru memutuskan sambungan dengan teman di seberang sana, yang janjian mau ketemu di Depok.
 Sesuai prediksi, perjalanan dari Jatinangor ke Depok memakan waktu enam jam, itu jam semua loh. Ketimbang turun di Kampung Rambutan, gue dan ayah memutuskan untuk turun di Bogor dan menyambung ke Depok dengan angkot. Tidak cukup satu apalagi dua angkot, tiga angkot ikut andil dalam mengantarkan gue ke rumah kakak sepupu di sana. Sampai di rumahnya gue tidak mengenali apa pun kecuali kasur!
***
Waktu dua minggu di Depok banyak gue habiskan dengan pekerjaan mulia, yaitu: magang jadi pembantu. Semenjak citra perempuan dari dulu dikenal sebagai citra pigura, citra pinggan, citra nampan, dll, gue paham bahwa sebagai perempuan, kita tidak akan lepas dari dapur. Maka, gue yang masih mengaku sebagai perempuan, wajib mempelajari hal ini.
Banyak hal yang gue pelajari, masak, mulai dari masakan yang mudah ataupun yang sulit, beres-beres rumah a.k.a nyapu, nyuci piring, ngepel, nyuci baju, dsb. Karena yang namanya kodrat sebagai perempuan tidak bisa diubah, mari kita belajar menerimanya. Walaupun mungkin jiwa gue sangat laki. Oh ya, apakah kata-kata “magang jadi pembantu” terlihat sangat sarkasme? Kalau begitu lupakan saja, mari kita ganti istilah ini dengan “membabu buta” (sambil pasang senyum khas sales MLM).
Selain itu, hal lain yang gue lakukan adalah…menggalau. Eh coret! Maksudnya, mengenal Deefa lebih dalam. Salah satunya lewat sms ini.
“Hei Dee, kamu apa kabar? Masih ingat aku kan?”
Gue tunggu sampai tiga hari dan sms itu nggak dibalas.
“Hei Deefa, ini Audrey. Kemaren ga ada pulsa ya jadinya ga bales sms? Eh apa kabar?”
Dua hari berlalu tetap tidak ada balasan. Ah gue kira alam semesta bersekongkol untuk menjauhkan kami eaak.
“Hei Deefa, ada apa sebenarnya denganmu? Kenapa ga pernah balas smsku?”
Balasannya membuat gue nyaris semaput, “Maaf Mbak, saya bukan orang yang Mbak maksud. DAN TOLOOONG JANGAN SMS KESINI LAGIII!!”
Andai yang dia kirim adalah pesan suara, dan andai ini kartun, maka rambut gue sudah terbang tidak beraturan, bibir gue juga seperti diterbangkan angin topan mendengar suaranya. Tapi karena ini dunia nyata, mari kita lupakan saja scene barusan.
Karena mengetahui kenyataan pahit bahwa gue salah nomor, which is nomor tersebut berasal dari penjaga kos yang salah baca nomor hp di pintu kamarnya Deefa. Great! Gue memutuskan untuk menghubungi Nisa.
“Nis, kemaren gue sms Deefa ga dibales-bales, taunya gue salah orang dan gue dimaki-maki. Lo punya nomornya?”
Setelah diketawain sampai puas sama Nisa, gue dikasih nomornya Deefa.
“Hahaha watir pisan maneh teh! Nih nomornya +62857633###” (artinya kamu keren banget-red, tapi sebelum digampar oleh orang Sunda asli karena terjemahannya salah, mari lupakan saja).
Gue berpikir berulang kali sebelum mengiriminya pesan. Tiba-tiba gue nge-blank, nggak tahu harus bilang apa. Apa harus dengan ini,
“Selamat nomor Anda berhasil memenangkan undian dari restoran kami. Anda bisa menukarkan hadiahnya….”
Lupakan, itu basi! Atau ini,
“Malam ini akan ada malaikat hitam di sampingmu. Jika kamu ingin ia memberikan keajaiban padamu, kirimkan sms ini ke-15 orang atau ibumu akan mati….”
Lupakan! Itu menakutkan. Atau mungkin begini,
“Tolong kirimkan mama pulsa 25ribu ke nomor AS ya, ini mama lagi di kantor polisi karena ngebut-ngebutan di jalan sampai nabrak mobil polisinya. Cepet ya, mama mau nelpon pengacara!”
Tidak, tidak! Itu tidak logis.
Gue galau, tidak punya ide sama sekali untuk mengirimi dia pesan pertama. Gue harus bilang apa? Hanya ada dua pilihan yang dapat gue lakukan:
1.      Menunggu ide
2.      Menunggu ide sambil boker
Maka gue memutuskan untuk melakukan hal yang pertama. Cukup lama gue dapat ide, setelah menggunting kuku, menggunting kuku, dan menggunting kuku. Gue mulai mengetikan pesan di ponsel.
“Hei Deefa, ini aku Audrey, yang di kosan waktu itu. Masih ingat kan?”
Gue memulainya dengan sesuatu yang normal.
***
….
Mau dikatakan apa lagi
Kita tak akan pernah satu
Engkau di sana, aku di sini
Meski hatiku memilihmu
….
Sudah ke dua puluh empat kalinya lagu ini gue putar melalui headset dari tadi. Galau time! Suara Yovie, Mario, dan Carlo tak lelah mengalun dari ipod. Yah setidaknya ini bukan film SuckSeed sehingga penyanyinya tidak harus hadir saat Ped lagi galau. Kalau nggak gue harus bayar Kahitna berapa buat nyanyi selama ini? Maka berterimakasihlah pada teknologi! Gue garing? Oke toyor!
Percuma sebenarnya memikirkan cinta yang tak pernah diizinkan di dunia ini. Tapi mengapa Tuhan menciptakannya? Apakah untuk membuat kita belajar unuk menerima? Untuk ikhlas, bahwa kita berbeda dari orang lain? Umur gue saat ini delapan belas, dan sejak gue jatuh cinta pertama kalinya di umur delapan tahun, gue belum mengerti.
Kadang gue memikirkan, apakah gue sama dengan manusia lain? Satu sisi hati gue bilang, “Iya, lo sama dengan mereka. Sama-sama punya perasaan, sama-sama pernah jatuh cinta.” Sisi yang lain dari diri gue berontak, “Nggak, lo berbeda! Dan perasaan ini tidak pernah diinginkan orang lain!”
Kita Bhineka Tunggal Ika, tapi masih tetap banyak perlakuan tidak senonoh pada mereka yang “berbeda.” Hinaan, makian, mungkin jadi makanan sehari-hari buat mereka. Kalau dilihat dari sisi yang lebih luas, tidak cuma homoseksual yang mendapat perlakuan seperti ini. Coba lihat yang beda kepercayaan, yang beda ras, yang beda suku. Do you think we’re still in the zone ‘aman, damai, dan tidak apa-apa’?
Banyak media yang menayangkan perlakuan-perlakuan tersebut. Perang dan bersitegang karena ‘perbedaan’ tadi. Do you still wanna say that we’re okay? Mungkin Tuhan ingin kita belajar menerima perbedaan ini, bukan hanya mereka yang berbeda tersebut, tapi juga mereka yang ada di sekitarnya.
Mungkin, nanti.
***
Apakah kalian masih merasa mual membaca cerita gue ini? Ayolah, belajar menerima perbedaan itu. Kita sama-sama manusia, dan kita sama-sama punya rasa, rasa yang berbeda.
Sejauh ini gue tidak melakukan apa-apa untuk kesembuhan gue. Okay, let me confess something! Yang sebenarnya adalah gue nggak pengen siapapun tahu tentang ini. Tidak keluarga gue, tidak juga orang yang gue suka. Gue nggak tahu apa yang akan mereka lakukan jika mengetahui kenyataan ini. Mengusir gue dari rumah? Memaki-maki? Ah, bisa jadi lebih buruk dari itu.
Ngomong-ngomong soal keluarga, gue punya banyak cerita yang unik dari kecil. Ah mungkin gue memang terlahir berbeda. Dari kecil pikiran gue memang sudah aneh sih. Salah satu penyebabnya adalah hobi gue nonton televisi. Kadang gue bertingkah seperti berpura-pura kabur dari rumah, kadang seperti mau bunuh diri, atau seperti pengembara dari Samia. Bisa saja tiba-tiba gue bilang, “Tidaaak! Aku mau pergi saja dari rumah ini!” Kemudian orang-orang melihati gue dengan aneh. Atau, “Lebih baik aku mati daripada harus melihat wajahmu lagi!” Kemudian kue yang dipegang abang terjatuh dan dia melongo. Seperti ini misalnya, ada satu pikiran absurd yang gue tanyakan ke ibu,
“Bu, kita ini main sinetron ya?” Gue menarik-narik baju ibu yang saat itu sedang memasak di dapur.
“Tidak nak, kita menjalani kehidupan ini seperti yang sebenarnya, kita tidak main sinetron.”
“Oh, tapi kenapa aku dimarahin terus ya kayak di tv?”
“Oh itu karena kamu nakal.” Ibu lalu mengelus kepalaku dengan lembut.
Gue bertanya seperti itu karena gue selalu merasa diintai oleh kamera. Sementara anak lain bertanya pada ibunya, “Ma, laper itu apa sih?” atau, “Ma, kok ada hujan sih?” Pertanyaan yang keren, kan? Tapi menurut gue, pertanyaan kita sewaktu kecil dan bagaimana orang tua mendidik kita dulu akan mempengaruhi karakter kita nantinya.
Oh ya, biasanya kalau waktu kecil lagi jalan-jalan ke mall, gue pegangan tangan sama ayah biar nggak hilang. Tapi karena waktu itu gue lagi melihat-lihat cokelat di cake shop, gue tidak menyadari bahwa sudah ditinggalkan. Gue yang panik pun hanya bisa melakukan dua hal,
1.      Mencari ayah
2.      Mencari ayah sambil menangis
Gue memutuskan untuk melakukan yang pertama, gue mencari ayah kemana-mana. Setelah lihat kiri kanan, akhirnya gue menemukan beliau yang saat itu memakai baju kemeja putih. Tanpa melihat wajahnya, gue langsung saja menggenggam tangan orang itu. Tetapi tiba-tiba ada yang berteriak,
“Hei hei tunguuu!” Ternyata itu Ibu!
Gue dan orang itu kaget dan ia langsung melepas tangan gue. Ternyata itu bukan ayah! Jadi karena gue terlalu pendek, gue tidak melihat wajah orang itu dan langsung memegang tangannya. Aduh, anak macam apa sih yang salah mengenali bapaknya? Rasanya gue ingin dipecat saja jadi anak saat itu juga. Malu woooy!

Semua perasaan kangen bisa tumbuh tiba-tiba ketika kita merasa jauh. Sepertinya dalil itu berlaku pada gue saat ini. Kangen rumah!
Read More … Novel Bab 4

Novel Bab 3


Tiga



So no one told you life was gonna be this way
Your jobs a joke, you're broke, your love life's D.O.A.

It's like you're always stuck in second gear
And it hasn't been your day, your week, your month,
or even your year
but..

I'll be there for you
When the rain starts to pour
I'll be there for you
Like I've been there before
I'll be there for you
'Cuz you're there for me too...
….
Suasana rock saat ini kentara banget dari kediaman gue di gang mawar, di salah satu kamar nomor dua. Sountrack serial TV show Friends yang terkenal banget pas tahun 90-an mengalun dan bikin suasana yang sepi jadi semangat. Gue sendiri lagi nge-design kamar nih, beres-beresin barang, merapikan buku-buku, komik, novel, dan memasang berbagai poster. Di dekat kasur ada posternya Kahitna, band kesayangan gue. Dekat lemari ada posternya Westlife, yang sekarang sudah bubar (bahkan sebelum gue sempat nonton konsernya). Terakhir di dekat meja belajar, ada poster film In Time. Film kolaborasi akting antara Justine Timberlake dan Amanda Seyfried.
Ceritanya begini nih, ketika gen penuaan dimatikan, orang-orang harus membayar agar dapat tetap hidup. Semua orang berhenti menua pada usia 25 tahun. Di lengan mereka terpasang jam yang menunjukkan sisa waktu hidup mereka. Untuk mencegah kelebihan penduduk, waktu menjadi mata uang dan alat untuk membeli barang mewah dan keperluan lainnya. Orang kaya dapat hidup selamanya, sementara lainnya mencoba bernegosiasi untuk hidup abadi. Seorang pemuda miskin dituduh melakukan pembunuhan ketika ia mewarisi keuntungan waktu dari pria kaya yang sudah mati. Ia terpaksa melarikan diri dari kejaran polisi mirip FBI yang korup bernama 'Timekeepers'.
Filmnya emang belum release sih, gue dapat posternya dari Abang. Karena foto-foto pertama dari set filmnya sudah muncul sejak tahun 2010. Sedang filmnya sendiri? Baru release 28 Oktober 2011 nanti. Gue suka banget filmnya karena bikin kita sadar bahwa hidup itu berharga. Andai kita tahu berapa waktu kita tersisa di dunia ini, pasti kita nggak bakal menyia-nyiakannya. Dan andai seseorang tahu betapa gue mencintai dia, mungkin dia nggak bakal menyia-nyiakan gue. Eh? Kok jadi edisi galau? Ah sudahlah.
Setelah dua jam selesai mendekor kamar sendiri, gue memutuskan untuk menyetrika. Oh ya, sebagai N-AFF sejati tadi gue sudah kenalan sama seorang penghuni baru di sini. Rambutnya panjang, pakai baju putih, dan…eh kok jadi mendeskripsikan kuntilanak sih! Oke fokus Drey! Namanya Kiran, anak bisnis. Kelihatannya sih kece badai, tampak dari gayanya dan teman-temannya yang mampir ke sini tadi. Orang Padang juga, sama kayak gue. Menurut informasi yang gue dapat dari ibu kos, anak Padang di sini ada lima orang. Padahal gue nggak merencanakan buat sekosan sama teman sendiri, eh tahunya nggak lepas-lepas juga dari orang Padang.
Kosan ini cukup menyenangkan, meskipun tempatnya sederhana. Mereka masih menyediakan televisi bersama, meja setrikaan umum, dispenser bersama, dan dapur umum. Televisi dan meja setrikaan diletakin di lantai bawah, sedangkan dispenser dan dapur umum ada di atas. Selain itu di atas juga ada jemuran, sekaligus tempat buat melihat pemandangan paling keren dari Jatinangor, Gunung Geulis. Yap, selain menikmati pemandangan atap rumah yang udah mepet, kosan di gang sempit ini masih punya pemandangan menakjubkan. Matahari saat terbit dan terbenam memang keren jika dilihat dari balkon kosan.
Sementara gue asik menyetrika, dan ayah asik tiduran di kamar, tiba-tiba dada gue bergetar. “Dag!” Seseorang sepertinya akan turun ke bawah, terdengar dari langkah kakinya. “Dig!” Langkah itu makin dekat. Ada apakah ini? Mengapa jantung gue seperti akan lepas hanya dengan mendengar langkah seseorang yang makin dekat. “Dug!” Seorang cewek yang memakai kemeja dan rok rempel berwarna merah hati lewat di hadapan gue. Matanya sayu, dan ia berjilbab, dan ada sepasang lesung pipi di wajahnya. Melihat gue, dia cuma memberikan senyum tipis. Dan gue merasa waktu berhenti berdetak, seluruh partikel debu seperti dibekukan udara, dan semua orang mematung. Gue jadi salah tingkah, nggak tahu harus berbuat apa.
Dia lewat dengan sangat anggun di depan gue. Meskipun kita nggak kenalan, nggak mengucapkan sepatah kata pun, dan pertemuan pertama ini hanya ditandai dengan sebuah senyum tipis, gue tahu dialah cewek paling anggun sekaligus misterius di sini. Gue melihat ke belakang, menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu. Ah tiba-tiba gue ingat scene film Daredevil pas Matt ketemu seorang cewek di kafe. Walaupun dia nggak bisa melihat, namun cinta itu datang dengan sendirinya dalam waktu yang tepat. Dan baru saja, cinta baru itu datang dalam kehidupan gue.
***
Menurut penelitian terakhir, populasi manusia di seluruh dunia akan mencapai tujuh miliar orang di tahun 2011 ini, dan 70% di antaranya adalah heteroseksual. Sisanya? Kalian bisa melihat kaum gay, lesbian, biseksual, dan aseksual berkeliaran di muka bumi ini. Jika ditanya, mereka dengan kecenderungan seks berbeda tak pernah memilih menjadi seperti ini. Ini murni karena gen, mereka sudah terlahir seperti ini dan tak akan pernah berubah. Orang-orang dengan homoseksual, ketika pubertas sudah pasti akan tertarik sesuai dengan orientasi seksnya. Jika mereka mengingkarinya, itu bisa jadi karena mereka malu atau belum menyadarinya. Dan jika mereka bilang sembuh, itu bisa jadi dalih karena tidak ingin malu atau tak ingin terusir.
Homoseksual (gay dan lesbian) bukanlah gangguan jiwa. Pada tahun 1973, American Physiciatric Association (APA) sudah mengeluarkan homoseksualitas dari kategori gangguan kejiwaan. Indonesia pun turut mengadopsi PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) II dan III yang menyatakan hal serupa: gay atau lesbian bukanlah gangguan kejiwaan. Meskipun banyak yang bilang bahwa gay atau lesbian dapat disembuhkan, itu tidaklah benar. Mereka tidak dapat sembuh 100%, jika mereka sembuh, berarti mereka tidak sepenuhnya homoseksual.
Sayangnya, gue adalah salah satu orang yang memiliki orientasi seks berbeda tersebut. Gue mengetahui ini sepuluh tahun lalu, ketika masa SD, ketika pertama kalinya jatuh cinta…pada seorang perempuan. Kedengarannya memang menjijikkan! Gue benci diri sendiri sejak hari itu. Namun apa yang harus gue lakukan? Gue cuma bisa memendam perasaan yang gue punya. Berkali-kali gue jatuh cinta, patah hati, lalu gue lupain sendiri. Apa sih rasanya jatuh cinta sama seseorang tapi orang itu nggak pernah bisa tahu? Sakit maan!
Lupakan untuk ngomong langsung ke mereka bahwa gue sayang sama mereka. Lupakan pacaran, temenan secara dekat, ataupun teleponan tiap malam. Mungkin mereka melihat gue sebagai orang misterius atau orang aneh. Lupakan juga untuk bergabung dengan komunitas yang sama seperti gue. Gue sendiri menganggap ini hina, dan tidak akan memperjuangkannya. Karena jika gue bergabung dengan mereka, mungkin gue nggak akan di sini sekarang.
Gue bukanlah orang yang punya keberanian untuk mengungkap jati diri yang sebenarnya. Mungkin orang-orang di Barat sana mengenal tiga fase dari kelainan seks mereka. Fase pertama, mereka menyadari kelainan ini. Fase kedua, mereka memberi tahu teman dekatnya. Hingga fase ketiga, mereka mengumumkan jati dirinya pada masyarakat luas. “Tapi ini Indonesia, Drey! Ini bukan Barat!!” Lagi-lagi setan galau memberi pukpuk pada gue.
Kalau dihitung-hitung, udah berapa kali sih gue pernah jatuh cinta? Terakhir sama Katia, sakit sih, sakit banget malah. Gue sukanya itu sekitar beberapa bulan mau UN dan itu menyita perhatian banget. Suka sama orang yang juga disukai sama adek sepupu lo sendiri. Astagaa! Gue baru saja mencoba melupakan dia ketika pindah ke Bandung ini. Barangkali jarak yang jauh bisa membuat gue banyak memperbaiki hati dan melakukan hal yang realistis. Ternyata nggak, cewek yang belum gue tahu namanya ini belum mengizinkan gue untuk straight!
***
Nah, efek dari ketemu cewek bermata sayu barusan adalah cengar-cengir sendirian di kosan Tata.
“Lo kenapa, Drey? Habis ketemu kuntilanak?”
“Iya…EH BUKAAN!” Gue mesem-mesem sendiri.
“Haha si Audrey lagi jatuh cinta kaliii…” Sarah ikut nimbrung, sekarang mereka berdua mem-bully gue.
Kami sedang mengerjakan tugas ospek Fikom yang tinggal dua hari lagi. Sedang besok itu adalah ospek universitas. Jadi kami harus buru-buru mengerjakannya. Tugasnya dibagi tiga, bagian gunting-menggunting adalah kerjaan gue. Tata bagian membuat pola, dan Sarah bagian temple menempel. Tapi karena sebagian fokus gue masih ke si mata sayu tadi, maka pekerjaan gue pun kacau. Kelebihan gunting lah, robek lah, dan kesalahan-kesalahan lainnya yang membuat Tata ngomel.
“Ya ampun Drey, lo kenapa sih salah gunting mulu! Kapan kelarnya kalo begini!!!” Jika ini sinetron, maka kamera akan di-zoom in dan zoom out ke muka Tata sehingga detail jerawat dan komedo kelihatan semua.
“Hehe maaf Ta, iya ini gue perbaiki deh.”
Setelah beberapa jam berkutat dengan karton, lem, gunting, dan pensil di kosan Tata (yang sempit-red), gue diutus oleh mereka untuk melaminating semua id card ke tempat fotokopian. Dan setelah semuanya beres, gue teriak! “Aaaaaaa!!” Gimana nggak, nama di id card gue sekarang adalah, Faranita “Audrey Ginanjar” Nabila Shidiq!
Faranita itu adalah nama depannya Tata, sedangkan Nabila Shidiq itu nama belakangnya Sarah. Jadi mereka itu menuliskan nama dengan pensil biar tulisannya agak ketengah (kami tidak memakai komputer sehingga tidak bisa menggunakan justify-red). Memang sih nama gue ditulis pakai pulpen, tapi di samping kiri dan kanannya ada nama mereka. Dan itu membuat orang-orang bingung dengan nama gue pas ospek.
Pas di kosan Tata,
“Ini nih Ta kerjaan lo!” Gue menunjuk Id card dengan tampang lempeng.
Tata kemudian menyambar Id card gue dan ngakak. Sarah yang penasaran ikutan melihat Id Card itu dan ngakak juga.
“Hahaha, gara-gara lo sih nggak fokus!” Tata ngomong sambil menahan tawa. Sedang Sarah sibuk mengelap air matanya. Arrggh, ini bukan drama sedih kan!
“Ya gue mana tahu, udah ah pusing!” Gue ngambek, mengabaikan tawa mereka dan menimpuk Tata dengan bantal, setelah itu terjadilah perang bantal antara kami bertiga.
Ini semua gara-gara si mata sayu, batin gue dalam hati!
***
Wednesday, August 1
DIBERITAHUKAN KEPADA MAHASISWA BARU FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI,
BESOK 2 AGUSTUS BERKUMPUL SEKITAR PANGKALAN DAMRI (PANGDAM)
DAN GERBANG BANK BNI PADA PUKUL 05.00 WIB!

DENGAN MEMBAWA PERLENGKAPAN SERTA MENGGUNAKAN ATRIBUT YANG
TELAH DITENTUKAN!!!

DENGAN KONDISI DALAM KEADAAN SUDAH SAHUR DAN SALAT SHUBUH
(BAGI MUSLIM)!!!
….
Gue lagi ngopi-ngopi ganteng sama ayah malam ini sehabis ospek universitas. Panas-panasan seharian mendengarkan rektor dan dosen pidato. Saat lagi enak-enaknya menyeruput kopi hitam itu, ada one incoming message dari Tata di layar hp gue. Ah Tata, capslock-nya jebol kali. Atau dia itu cuma mau ngasih warning supaya besok gue bangunnya nggak telat. Dengan cepat gue tekan tombol reply dan mengetikkan pesan balasan untuk Tata,
“Iyeee Ta, iyeee! Besok bareng aja kali ya?” Belum tiga detik, hp gue sudah kejang-kejang lagi, ada pesan masuk.
“Besok gue jemput ke kosan lo. JANGAN TELAAT!” Gue membalas pesannya sekali lagi dan kemudian menjawab salam sambil mengangkat kepala. Gue tertegun, orang yang masuk barusan bukanlah orang biasa. Dia adalah….si mata sayu! Malam itu ia baru pulang dengan ibunya, sepertinya habis makan malam. Ia memberikan senyum yang sama ke gue seperti pertama bertemu. Gue rasa gue meninggal waktu itu dan pergi ke surge. Ah dia lewat begitu saja dan lagi-lagi gue kehilangan kesempatan buat kenalan sama dia. Sial!
Aku yakin, hujan terjadi hari itu
Saat engkau keluar dari rahim
Mencium bumi
Sebab aku yakin, tuhan pun menangis
malaikat pun menangis
kehilangan bidadari
seindah engkau
Itu potongan puisinya Pringadi Abdi Surya yang keren banget. Andai situasinya beda ya, andai gue bisa menyukai dia tanpa takut itu dosa. Andai, andai, andai. Pikiran gue melayang kemana-mana dan gue dikagetkan oleh dua orang lagi penghuni baru.
“Heei kamu penghuni baru juga di sini?”
“Eh?” Gue melihat ke samping kiri dan samping kanan, memastikan apa benar dia ngomong sama gue.
“Iya kamuu,” seorang cewek lagi menunjuk-nunjuk gue.
“Iya, gue penghuni baru.” Tutur gue seperti akan dirampok.
“Kenalin aku Nisa.” Dia langsung menyodorkan tangan ke gue, tangaaan bukan pisau!
“Audrey!”
“Kalo aku Deefa,” salah seorang lagi tersenyum tak kalah manisnya ke gue. Cantik juga, batin gue dalam hati. Maka hari itu gue harus berterima kasih pada tangan karena telah merasakan lembutnya tangan Deefa.
“Audrey…”
“Kamu dari mana?” Deefa membuka topik pembicaraan, dia terlihat antusias.
“Oh aku dari Padang, kamu?”
“Kita dari Bandung, ujar Nisa,” sedang Deefa hanya tersenyum, memamerkan behelnya yang bersinar.
“Ooh, kalian pada jurusan apa?”
“Aku Sistem Informasi, kalo Nisa Fisika.” Kali ini Deefa merapikan anak rambut di dahinya.
“Kalo gue Fikom.” Nisa dan Deefa sama-sama tersenyum yang menyiratkan bahwa, “Kita nggak nanyaa koook!”
Gue mulai akrab sama anak berdua itu, sambil menghabiskan secangkir kopi, pembicaraan kami melebar kemana-mana.
“Kamu minumnya kopi item? Ih sama banget nih sama si Deefa.”
“Oh, lo suka kopi item juga?” Gue penasaran, ada juga ternyata cewek yang suka kopi hitam.
Nggak terlalu sih, kalau lagi nggak ada creamer, terpaksa kopi hitam aja.”
Gue tersenyum, cantik sih dan bikin nyaman. Tapi gue masih penasaran ke si mata sayu itu.
“Deef, tidur yok! Besok harus bangun pagi kan?”
“Audrey kita tidur dulu ya, eh Audrey kan nama kamu tadi?”
“Iya iya, silakan tidur dan nama gue emang Audrey…” Mereka berdua melangkah ke atas, sementara Deefa masih melihat ke gue, memberikan senyum terakhir malam itu. Cantik sih, tapi….
***
“Hoaaam,”
Gue menguap besar banget dan langsung ditabok oleh Tata. Yap, jam segini kita udah ngumpul di Pangkalan Damri bersama mahasiswa baru lainnya untuk mengikuti rangkaian ospek. Barangkali banyak yang masih ngantuk, termasuk Tata. Dia sempat nabrak pembatas jalan tadi. Ospek Fikom emang keras sih, jam segini sudah diteriak-teriakin, ditarik-tarik. Belum lagi barang bawaan yang berat sama perlengkapan yang ribet. Halah, nggak eksklusif bangat ya mahasiswa baru!
“Yang sakit memisahkan dirii!”
“Fokus putriii FOKUS!”
“Maba putra lindungi maba putrinya!!!”
Setidaknya akang teteh ini sudah dilatih ribuan kali untuk mengucapkan kalimat di atas, sehingga yang terucap bukan, “Maba putra cium maba putrinya!” Gue garing ya? Oke, toyoor! Tanggal 2 Agustus jam 5 pagi, oke selamat ulang tahun Drey! Gue memberi pukpuk pada diri sendiri. Semalam gue nggak bisa tidur, enggan membayangkan apa yang akan mereka rencanakan untuk Maba yang ulang tahun. Maka hari ini gue nggak akan bilang ke siapa pun bahwa ini hari lahir gue.
Hari pertama ini kebanyakan penyambutan. Kenalan sama dosen-dosen dari berbagai jurusan dan departemen. Hari ini juga ada pembagian kelompok dan kenalan sama akang teteh pembina kelompok. Gue kebagian kelompok 11, sayangnya gue kepisah sama Tata. Dia kelompok 10. Kami yang tadinya ngumpul di Pangkalan Damri disuruh jalan sampai ke Fikom. Dan itu sama saja kayak ngelilingin Unpad satu putaran! Di beberapa pos kami disuruh berhenti.
“Putri, itu anting kamu copot!” Seorang Maba cewek di depan gue ditegur senior.
Dia kemudian memegang antingnya, dan walaupun gue nggak lihat mukanya dari belakang, tapi gue tahu dia sedang memelas.
Nggak bisa dicopot teh.”
“Oh ya udah!” sebelum ketahuan mati gaya, si teteh pun pergi.
Kini gue yang melongo.
Rangkaian Transformasi ini terdiri dari tiga sub panitia, acara, evaluasi, dan eksekutor (yang biasa marah-marah nggak jelas sob). Rasa-rasanya aneh, sudah melakukan hal yang benar dimarahin, melakukan hal yang salah juga dimarahin, ya sudah berbuat kerusakan saja! Nah setelah sampai Fikom dan diteriak-teriakin, tiba-tiba kami disambut meriah oleh akang teteh yang sudah stay di lapangan futsal Fikom.
“Selamaaat dataaang selamaaat pagiii”
“Tetap semangaat yaaa tetap senyuuuum!”
Kami, maba kelompok 11 cuma bisa cengok mendapat perlakuan seperti ini. Nah sambil menunggu kelompok lain, hingga kelompok 27, kami disuruh duduk dan menundukkan kepala. Tidak ada suara dan tidak boleh tidur.
“Mas, mbaak tundukan kepalanya yaa, tidak tiduuur.”
“Mas, mbaaak tidak lirik-lirik yaaa.”
Semua itu diucapkan dengan intonasi yang lembut dan pada hari-hari berikutnya kalimat itu menjadi soundtrack yang sering kami nyanyikan. Ospek Fikom sebenarnya menyenangkan, tapi susah dijalani. Apa lagi tugasnya yang seabrek-abrek. Tapi sebenarnya gue nggak begitu peduli. Yang paling gue ingat dari Transformasi ini cuma dua, pertama Danlap (komandan lapangaan) acara yang cantik dan jargon Fikom. “Fikom satuu! FIKOM FIKOM FIKOOM!”
Oh ya, kita punya jam istirahat, sekitar jam dua belas siang. Buat salat dan makan siang. Nah sembari makan, gue sempat nanya ke salah satu Maba yang antingnya nggak bisa copot tadi.
“Eh lo Winda kan ya?”
“Iyaa tahu dari mana?”
“Itu id card lo…”
“Oh iya hehehe,” gue cuma menyeringai.
“Tadi anting lo beneran nggak bisa dicopot?”
“Ya nggak lah!” Dia meninggalkan gue dengan ekspresi jutek. Cepet banget sih berubahnya antara cengengesan dan jutek.
Fikom emang tega deh, sudah disuruh ngumpul jam lima pagi dan baru dipulangin sekarang, jam enak sore. Dan magrib-magrib gini kita sudah disuruh ngumpul lagi buat ngerjain tugas kelompok. Buat yang ngekos sih enak, tapi buat yang dari Bandung? It’s not taste like human anymore. Gue mengecek hp, melihat mention dan sms. Banyak juga ucapan selamat ulang tahun.
“@andintia: Selamat @dreginanjar, Anda ulang tahun!”
“@fabrioreza: Wah @dreginanjar ulang tahun? Alamat ditraktir nih :D”
“@shintyaaa: @dreginanjar dre, gue sedih lo semakin dekat ke kematian, tapi apapun itu selamat!”
Biasanya kalau ulang tahun begini gue nggak ngetweet seharian, nggak facebookan, dan nggak membalas sms. Lagi pula seharian tadi gue nggak boleh bawa hp ke kampus. Ngomong-ngomong soal hp dan ucapan selamat, gue bingung sendiri melihat anak-anak kelompok ini yang deket banget. Kayak udah kenal setahun saja! Tara, Kaka, Winda, Arien, Deddy, semuanya bisa nyatu walaupun mereka baru ketemu. Dan semua obrolan mereka nyambung. Hmmm, maybe it’s time to take a breath and make a new life!
“Heeei,” gue ngedeketin Tara, cewek yang dari tadi cuma senyum-senyum sendiri melihat anggota kelompok yang lain kerja.
“Halooo, nama kamu siapa?”
“Audrey!” Gue menyodorkan tangan sembari tersenyum.
“Tara.” Dia tersenyum sumringah, lalu melanjutkan, “Enak ya ngeliatnya udah kayak kenal setahun…”
“Iya Tar, enak juga sambil ngeliatin ada yang lagi jatuh cinta.” Gue sumringah tanpa menatap wajah Tara, yang pastinya saat ini salah tingkah.
“Mmm…maksud lo?”
“Kalo lo mau Kaka tahu, sebaiknya dideketin.”
Sekarang wajah kami berpandangan, gue melihat dia yang kini tertawa, pipinya bersemu merah.
How could you know, baby?”
I’m Audrey, and I’m a face reader…” Gue menyodorkan tangan kembali, lengkap dengan senyum tiga jari kayak sales MLM.
Lucky you are!” Dia tertawa sambil menepis tangan gue.
Maka semenjak hari itu, gue resmi jadi agen rahasianya Tara atas Kaka.
***
Sepanjang jalan pulang yang gue pikirin cuma Deefa. Entah mengapa gue jadi suka senyumnya, semangatnya, dan sikap antusiasnya. Gue melewati gang sempit yang gelap itu dengan siul-siul sendiri. Ah, kenapa jadi mikirin Deefa ya? Bukannya gue udah jatuh ke mata sayu perempuan itu? Tapi bahkan sampai sekarang namanya saja gue belum tahu.
….
Bagaikan tetesan hujan di batasnya kemarau
Berikan kesejukan yang lama tak kunjung datang
Menghapus dahaga jiwaku akan cinta sejati

Betapa sempurna dirimu di mata hatiku
Tak pernah kurasakan damai sedamai bersamamu
Tak ada yang bisa yang mungkin kan mengganti tempatmu
….
Malam-malam gini masih ada saja yang jatuh cinta. Sayup-sayup lagu Hebat dari Tangga gue dengar mengalun dari sebuah rumah di gang ini. Hmmm emang enak sih dengar suara merdunya Kamga mengalun, emang cocok buat penggemar pop mellow sejati.
Jam sepuluh malam, pintu berderit saat gue buka pelan-pelan. Gue baru saja sampai di kosan dan mendapati dua orang anak lagi asik mengerjakan tugas. Salah satunya Deefa.
“Dari mana, Drey?” Widi memandangi gue yang kelihatan lunglai, dia adalah teman satu kosan yang gue kenal sejak di Padang.
“Jangan masuk Fikom deh!” Gue ngomong dengan malas, Deefa hanya memandangi dengan heran. Sementara Widi kembali berkutat dengan karton dan tugas-tugasnya.
“Eh Wid, gue ulang tahun loh hari ini.” Muka gue sumringah, sementara Deefa memandangi gue dengan muka datar. Ada apa sih? Gue sendiri juga bingung, oh ya Nisa mana? Nggak biasanya Deefa nggak bareng Nisa.
“Oh iyaa? Terus gue harus bilang WOW?”
Sekarang gue yang pasang muka datar, “Yee beneran kaleee!” Ucap gue sembari menunjukkan beberapa pesan yang masuk.
“Eh gue suka loh iklan operator yang Hap Hap Hap Hap Tangkap Tangkap!” Gue sumringah sambil menatap Deefa.
Yang ditatap hanya mengangguk.
“……”
“Dre, selamat ulang tahun yaa!” Widi mengucapkan selamat ke gue malam itu, yang gue sambut dengan senang.
“Makasih ya Wid, hehe.“ Sementara Deefa tidak menoleh sedikit pun ke arah gue. Eh, is something goes wrong with her?
Beberapa menit kemudian Widi pamit tidur ke gue dan Deefa, tugasnya sudah selesai, dan dia balik ke kamar. Gue menatap televisi lurus-lurus sementara Deefa sibuk dengan tugasnya. Hingga tiba-tiba iklan Hap Hap yang gue maksud muncul di televisi.
“Tuh iklannya.” Dia melihat ke masih dengan muka datar.
“…..iya,” gue yang salah tingkah hanya diam.
Karena setelah iklan itu selesai dan dia masih diam, gue berusaha membuka pembicaraan,
“Lo ngerjain tugas apa? Eh iya nama lo siapa tadi?” Gue belagak lupa namanya, dan jawabannya membuat gue nyaris pingsan.
“Fana”
Muka gue pucat, “Jadi lo bukan Deefa? Jadi kita belum kenalan?” Gue menggaruk kepala yang tidak gatal dan berharap ditelan bumi saat itu juga.
“Deefa? Beluum, kita tuh belum kenalan.” Kini dia tersenyum, tertawa tanpa suara, dan dia kembali melempar senyum yang gue kenal. Tunggu dulu, senyum itu? Tiba-tiba gue terlempar ke memori beberapa hari yang lalu.
Astaga, dia itu si mata sayu. Ah kenapa jadi begini kenalannya. Nggak ada keren-kerennya sama sekali. Beberapa menit berlalu, gue dan dia kembali terdiam. Gue masih grogi, salah mengenali dia yang ternyata….sedikit mirip Deefa. Postur tubuhnya yang tinggi, betisnya yang jenjang, dan mukanya yang oval. Jika belum sering bertemu, orang-orang pasti menyangka mereka mirip.
“Eh, gue ulang tahun lo. Mau ngucapin nggak?” Gue tersentak dari lamunan barusan, sekarang sudah jam sebelas malam dan ulang tahun gue tinggal satu jam lagi.
“Oh jadi beneran ulang tahun?” Dia menatap setengah tidak percaya, kemudian tersenyum lagi.
“Iya bener, udah jam sebelas loh. Besok-besok aku nggak ulang tahun lagi.” Gue cengengesan sendiri.
Seketika dia menghela napas, melepas karton dan gunting dan karton dari genggaman dan menyodorkan tangan ke gue, “Aku Fana, selamat ulang tahun yaa…”
“Audrey,” gue menjawab cepat. Tak mau dia menunggu.
Dia menjawab tangan gue dengan tulus, “Selamat ulang tahun Audrey!”
“Oh iya, lo jurusan apa?”
“Biologi!” Jawabnya dengan tersenyum, lesung pipinya juga ikut tersenyum.
Gue ber-fiuuuh dalam hati.
“Eh, udah jam sebelas ternyata. Aku balik ke kamar dulu ya. Kamar aku di atas, kapan-kapan main yaa…” Dia membereskan seluruh barang-barangnya dengan anggun.
Gue mengangguk dengan takzim.
Hmmm Thanks God telah memberikan hadiah yang spesial hari ini, ucapan selamat darinya. Gue senyum tiga jari, sekaligus menertawakan betapa bodohnya gue barusan. Salah mengenalinya dan grogi banget. Tuhan memang selalu punya rencana tentang cinta, kita hanya perlu menunggu. Gue tersenyum dengan tulus sambil mengusap wajah yang lelah karena mengantuk. The day had just end with your smile~


Read More … Novel Bab 3
Copyright 2009 Aqueous Humor. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy