Suatu Siang (atau mungkin sore?) Yang Tidak Biasa



Tertuju untuk engkau : Fadila Khairani. Karena penyampaian terkadang tak mesti dilakukan secara langsung.

Satu hal kenapa aku ingin sekali menuliskan ini adalah karena aku ingin semuanya engkau ketahui. Dan kenapa hal ini tidak kusampaikan secara langsung adalah karena aku tak ingin melihat ekspresi wajahmu saat aku mengatakannya.

Well then, aku merasa nggak enak dengan pertemuan siang itu. Pertemuan? Sepertinya kata-katanya terlalu kaku. Oke, janji kita untuk ketemu sore itu membuatku sedikit tidak enak. Ada yang mengganjal di pikiranku, tapi aku sendiri tidak tahu apakah itu. Aku merasa bukan aku yang menemuimu saat itu (bukan Irma Garnesia yang sebenarnya). Sebenarnya apakah yang salah? Aku makan, dan kamu minum, kamu bercerita dan aku tertawa, begitu pula sebaliknya. Tetapi tetap saja, aku merasa tidak enak.

Pagi itu aku memutuskan untuk pergi seperti biasa. Tiada hari yang kuhabiskan di rumah, bahkan saat angka di kalender ini berwarna merah. Aku belajar seperti biasa dan sms darimu masuk. “Jadi ntar?”
“Jadi deh kayaknya aku pengen makan”

Semuanya terasa kaku. Tuturku terdengar seperti tidak ikhlas. Tahukah kamu? Aku masih menyimpan rasa kecewa atas janji kita hari Jumat itu. Aku telah membatalkan semua schedule dan meletakkan janji denganmu pada list nomor satu. Tapi semuanya jadi berubah sebab semuanya tidak jadi terlaksana. Dan kamu tidak memberikan konfirmasi sebelumnya. (Saat itu aku yang duduk di ruang PMR agak sedikit frustasi, sebab aku telah melalui Jumat yang panjang dan mengecewakan)

Aku pulang ke rumah dengan perut yang nyeri. Memutuskan untuk tidur dan menahan segala penat dan rasa sakit. Hehe, aku sempat cerita pada seorang kakak. Ia memintaku untuk berpikir positif, bagaimanapun juga kamu tidak bisa disalahkan, karena kamu terjebak pada situasi dan kondisi. Aku mengerti, tapi aku sudah melontarkan kata-kata yang tak enak untuk di dengar padamu. Aku marah-marah dan bicara seenak perutku sendiri.

Tapi kita tetap memutuskan untuk bertemu. Inilah yang membuatku tidak enak. Kenapa? Setelah kecewa, aku tidak yakin untuk bertemu orang yang telah mengecewakanku. Aku butuh waktu untuk menjauh dan melupakan semuanya. (Mungkin ini yang membuatku sedikit tidak menikmati pertemuan kita tadi) Tapi kita telah memutuskan untuk bertemu lagi.

Lebih tak enak lagi karena aku baru merasakan 45 soal matematika dalam waktu 2,5 jam, dan pembahasan kimia dalam waktu 2 jam. Kepalaku terasa penuh, mataku terasa menyipit, dan badanku ngilu (segala posisi duduk telah kupraktekkan di sana).

Aku tiba di ATL, dan memutuskan untuk masuk. Kamu telah duduk di bangku yang dapat dijangkau oleh mata. Aku lupa apa yang pertama kali kita katakan. Aku grogi, hahaha. Dan sebenarnya yang menemuimu bukan Irma Garnesia. Mungkin dia sedang tinggal di rumah. Aku memesan yang biasa kupesan. Kita memilih untuk bicara ringan. Saat itu aku merasa kaku (yang kutakutkan terjadi), kepalaku pusing, dan terkadang pikiranku ngelantur. Tetapi aku tetap mendengarmu dan terkadang tersenyum.

Makanan datang (didahului oleh minuman) dan aku (tepatnya) mulai makan, sebab kamu tidak mau makan dengan dalih telah makan tadi. Makanan itu terasa tidak enak buatku, jujur saja aku tak pernah tidak berselera seperti tadi. Padahal biasanya itu adalah salah satu menu favoritku. Haha, agak lama menghabiskannya, padahal perutku sudah keroncongan minta diisi.

Makananku habis dan kita melanjutkan pembicaraan ringan tadi. Kamu bercerita banyak, mulai dari studi tour, cerita di sekolah, juga beberapa cerita konyol. Aku tertawa, tapi seperti tidak tertawa. Sejauh yang kutahu, aku tak pernah berlaku aneh seperti ini. Apalagi selama aku mengenalmu. Dulu ketika masih di LBA, jika kamu menceritakan hal lucu, aku akan tertawa lepaaaaasss, bahkan sampai akhir jam belajar, di bus, angkot, bahkan di rumah.

Aku juga menceritakan beberapa cerita lucu. Ternyata saat diceritakan kembali, aku merasa cerita itu lebih lucu dari yang terjadi sebenarnya. Tapi aku merasa bukan aku yang sedang bercerita, tawaku tak lepas. Aku merasa sedang bercerita dengan orang yang baru kukenal…

Sudah sepantasnya cerita ini berakhir di sini. Karena aku tidak mau kamu berpikir yang bukan-bukan tentang ini. Aku hanya menyampaikan yang mengganjal di hatiku (katarsis). Aku lebih senang terbuka, biar tak ada prasangka dan curiga. Mungkin kamu merasakan hal yang sama? Bahwa sebenarnya bukan Irma Garnesia yang menemuimu tadi, tapi tenanglah sebab Irma Garnesia sedang memperbaiki dirinya sekarang dan sedang menuliskan ini untukmu.

Aku tulis ini berharap kamu akan membacanya, dan tidak akan kecewa akan hal ini. Aku berjanji, Irma Garnesia akan menemuimu secepatnya, ia hanya butuh waktu (untuk mengerjakan hal yang tidak ia pahami). Aku berharap pula kamu tidak akan membicarakannya hal ini kecuali lewat facebook atau sekedar pesan singkat.

Aku benar-benar akan mengakhirinya di bait ini. Selamat jumpa kembali (dalam situasi yang tidak seperti tadi)
Read More … Suatu Siang (atau mungkin sore?) Yang Tidak Biasa

Catatan Seorang Anak Sekolah Yang mengunjungi acara : MEMBACA KEPENYAIRAN NIRWAN DEWANTO DALAM ‘BULI-BULI LIMA KAKI’

Sebelum saya membahas lebih lanjut mengenai bulir-bulir kecil yang saya dapat di Gallery Taman Budaya hari ini, saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Mungkin saja pembaca yang datang dan menyaksikan bersama-sama dengan saya akan mudah mengenali saya. Kenapa? Karena saya dan teman-teman saya memakai baju yang sama, yaitu baju seragam sekolah kami. Hehe, saya sangat terkesan bisa menyaksikan secara langsung acara ini. Sebab, ini memang sebuah kesempatan yang sangat langka.

Lagi-lagi sebelum masuk ke pokok utama esai ini, saya ingin meminta maaf terlebih dahulu. Apalagi jika esai saya ini memuat banyak kontroversi, dan argumen yang mungkin kurang enak untuk didengar, atau malah ada argumen yang sedikit menohok ke jantung. Saya ingin minta maaf terlebih dahulu. Esai ini saya tulis bukan untuk menjatuhkan teman-teman semua, atau menganggap remeh teman-teman sastrawan yang telah lama berkecimpung di dunia sastra. Esai ini hanyalah unek-unek yang saya tangkap selama tiga jam berada di sana tadi.

Mulanya saya mengetahui acara ini dari sebuah invitation di facebook. Setelah diundang oleh bang Esha Tegar Putra, saya memutuskan untuk datang ke acara ini. Nirwan Dewanto, semula saya mengenalnya dari sebuah keisengan untuk browsing di internet. Saya menemukan buku puisinya ‘Jantung Lebah Ratu,’ dan pembahasan tentang salah satu puisinya, kebetulan saya lupa judul puisinya, sebab saya browsing-nya tahun 2009. Sedikit hal yang saya ketahui tentang Nirwan Dewanto selain judul bukunya tersebut adalah bahwa ia adalah redaktur sastra Koran Tempo.

Maka dari invitation ini saya kembali membaca nama Nirwan Dewanto di tahun 2011 ini.  Dan memutuskan untuk mengajak teman-teman jurnalis untuk mengikuti acara ini. Satu hal yang saya ingat adalah bahwa puisi Nirwan Dewanto itu bahasanya sulit dipahami. Apakah karena waktu itu pengalaman saya sangat minim di bidang sastra, atau karena apa, yang jelas saya sama sekali tak mengerti maksud puisi itu.

Baiklah, acara dimulai pukul 14.00 WIB. Para pemakalah siap dengan argumennya tentang puisi Nirwan. Mereka adalah Rusli Marzuki Saria (Penyair, mantan penjaga halaman budaya koran Haluan), Ragdy F Daye (Cerpenis, Guru bahasa & sastra di salah satu sekolah menengah pertama di Padang), Romi Zarman (Cerpenis, juga akademisi sastra), dan Deddy Arsya (Penyair, sejarawan muda). Saya sudah ada feeling bahwa acara ini akan sangat padat dan kental, mengingat bahwa pemakalahnya bukan orang sembarangan. Sebut saja Papa Rusli Marzuki Saria dengan bukunya ‘Mangutuak Di Negeri Prosa Liris,’ Ragdi F Daye dengan bukunya ‘Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu,’ Deddy Arsya dengan sajaknya ‘Toko Serba Lima Ribu,’ dan Romi Zarman yang sebetulnya belum banyak saya ketahui.

Dari awal sampai akhir pemaparan saya hanya menyaksikan saja, sesekali saya mengerti maksudnya, dan beberapa kali tidak mengerti. Mungkin karena pembahasan pemakalah yang tingkat tinggi (ilmu saya masih cetek), atau karena bahasanya yang kurang luwes? Sehingga saya sempat memikirkan hal lain yang tidak penting, dan melakukan hal lain yang juga tidak penting. Yang pasti, beberapa kali saya sempat tidak menyaksikan pembahasan hingga tiba sesi pertanyaan.

Saya dan teman-teman justru lebih tertarik pada sesi pertanyaan. Kenapa? Karena ternyata pertanyaan kami sama dengan yang ditanyakan oleh para penanya. Contohnya saja pertanyaan saudara Fauzan tentang bahasa Sastra yang cukup berat, juga pertanyaan saudara Heru D.P (atau Andha S?) tentang kombinasi antara seni lukis dan seni tulis, dan tak ketinggalan pertanyaan dari rekan saya Alifia seftin Oktriwina tentang frase asing dalam puisi Nirwan dan makna tersirat dalam puisi. Saya memang tidak bertanya karena lebih memilih untuk meng-cover seluruh diskusi ini ke dalam bentuk esai ini.

Saya banyak menangkap pelajaran dari sesi Tanya jawab ini. Pertama, bahwa ternyata pemakalah adalah orang-orang yang kukuh dengan pendapatnya dan itu tidak bisa diubah lagi. Sebut saja ketika Alifia Seftin Oktriwina / Awin bertanya tentang bahasa puisi yang sulit bagi orang awam, Papa Rusli Marzuki Saria dengan enteng menjawab, “Nanti mereka pasti akan rindu dengan puisi saat di perguruan tinggi.” Saya kurang puas dengan jawaban Papa itu, kenapa? Karena saya mengharapkan adanya perdebatan antara Awin dan Papa mengenai frase dalam puisi, tapi sayangnya itu tidak terjadi.

Pelajaran kedua, pemakalah adalah orang yang teguh pendirian. Maksudnya, coba ingat-ingat lagi ketika ada pertanyaan dari bang Esha mengenai kombinasi antara seni lukis yang digunakan oleh Nirwan. Lalu pemakalah tetap teguh dengan pendiriannya (saya lupa detil ceritanya), yang jelas saya kira pemakalah tidak mau statementnya tergerus oleh statement orang lain. Sehingga pada suatu sesi, Deddy Arsya (kalau tidak salah) sempat bilang bahwa itu semua hanya tergantung persepsi saja. Saya berpikir itu hanyalah upaya untuk mengelak, sebab pemakalah tidak ingin melawan pendapat para penanya lagi.

Terakhir adalah bahwa pemakalah sedikit egois. Maaf untuk yang terakhir ini, tapi saya merasa demikian. Mengapa? Lebih tapatnya saat sesi pertanyaan saudara Fauzan. Pemakalah tidak menjawab seluruh pertanyaannya, menurut teman-teman saya yang merasa kebingungan pun juga begitu. Teman-teman saya menilai bahwa puisi itu sudah begitu kadarnya, tapi saya berharap kami bisa mendapat statement yang lain di sini. Tapi ternyata tidak, malahan yang saya dapat sama. Pemakalah menilai puisi itu sudah seperti itu kadarnya, dan jika tidak, itu bukan puisi yang cukup baik. Lalu siapa yang mencintai puisi dari generasi selanjutnya?

Nah, sesi paling terakhir ini yang saya tunggu-tunggu, yaitu ketika Nirwan Dewanto memaparkan langsung tentang Buli-Buli Lima Kaki. Baru saya mengerti setelah Nirwan yang turun tangan. Mungkin karena Nirwan adalah penulisnya, sehingga ia merasakan sense-nya, saya merasa setiap pertanyaan bisa terjawab dari pernyataan-pernyataan Nirwan.

“Bahasa Indonesia adalah suatu makhluk ajaib,” tutur Nirwan. Mungkin bisa dibilang para penyuka sastra itu adalah orang-orang yang hebat. Sekali lagi, bukan. Penyuka sastra hanya orang-orang yang senang bergelut dengan dunia itu. Terkadang ia menciptakan dan terkadang ia menikmati yang diciptakan. Penyuka sastra sejatinya sama dengan penyuka computer (bahkan kita hanya mengerti penggunaannya, bukan bahasa pemrogramannya), penyuka fisika, dan matematika. Sastra, matematika, fisika, dan computer sudah ada karena diciptakan oleh manusia. Saya juga bangga karena bahasa Sastra telah digunakan oleh Allah SWT dalam Al-Quran.

Bahasa adalah gudang kebudayaan, bagaimanapun semuanya tidak akan tercipta jika tak ada bahasa. Bahkan Tuhan pun tidak menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi dengan manusia, Tuhan telah berbaik hati membiarkan kita menggunakan bahasa kita dalam wahyunya. Sebenarnya tidak ada sesuatu yang sulit (dalam puisi Nirwan), sebenarnya puisi  Nirwan juga sederhana. Kita hanya butuh membaca dan membaca. “Jangan mau didoktrin oleh guru jika tidak mau jadi manusia kecoak,” perkataan Nirwan ini ada benarnya. Sebenarnya awal mulanya itu dari guru. Guru bilang itu sulit, maka kita mendengar instruksinya dan mensugesti diri kita bahwa itu benaran sulit. Padahal itu kajian yang sederhana.

Mengutip lagi perkataan Nirwan mengenai sajaknya yang bisa dibilang ajaib, “Salah satu alasan mengapa orang-orang kesulitan memaknai puisi adalah karena mereka mengira penyair berbicara sendiri dalam sajaknya. Padahal benda-benda lain yang dideskripsikan juga bisa berbicara di sana.”

Saya benar-benar puas setelah mendengar ulasan singkat dari Nirwan Dewanto. Namun bagaimanapun saya tetap berterimakasih pada pemakalah yang telah member pandangannya yang juga ‘ajaib’ mengenai Buli-Buli Lima Kaki. Selain itu saya cukup terhibur dengan gaya membaca puisi Delvi Yandra, agak aneh dan membuat saya tergelitik (sambil membayangkan Dodi Prananda, Vinda Yozi Pratiwi, Fenny Martasari, Nadya Eka Putri, dll membaca puisi). Banyak pelajaran yang saya ambil di sini. Terimakasih untuk hari ini, untuk tanda tangan Nirwan di buku saya, untuk foto bersama Nirwan sore itu, juga untuk snacknya.

Salam hangat
Irma Garnesia
Read More … Catatan Seorang Anak Sekolah Yang mengunjungi acara : MEMBACA KEPENYAIRAN NIRWAN DEWANTO DALAM ‘BULI-BULI LIMA KAKI’
Copyright 2009 Aqueous Humor. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy