Saya ndak pandai menafsirkan kebahagiaan, mungkin Anda juga. Sebelumnya, sebagai orang Minang, saya akan menggunakan kata ‘ndak’ ketimbang ‘tidak.’ Betapa hal-hal sederhana seringkali membuat kita bersedih, tidak bahagia. Betapa banyak kekurangan saya selama ini membuat saya ndak pandai menikmati hidup. Betapa seringnya mengeluh, acap kali merasa kelelahan, hingga kita lupa seperti apa rasanya bahagia.
Anggaplah kita
tak punya kekasih lalu merasa bersedih. Anggaplah cinta ditolak, bertepuk
sebelah tangan, terpendam, beda agama, dan sebagainya, menjadi penghalang kita
untuk bahagia. Kita punya kekurangan, pendek, gemuk, hitam, tak cantik, tak
tampan, dan kita enggan merasa bahagia. Kita tak pintar, tak pede, punya suara
cempreng, sensitif, lalu kita benar-benar lupa untuk bahagia.
Padahal masih
banyak orang di luar sana ingin menjadi seperti kita. Baju masih punya, rumah
masih punya, makan (walaupun sederhana) masih bisa kenyang, sakit Insya Allah
jarang. Lalu apa lagi? Sakit dikecewakan biarlah, dijauhi kawan sudah biasa,
bertepuk sebelah tangan duhai astaga! Kita tak bisa menjaminkan bahagia kita
pada orang lain. Duh apa gunanya punya kekasih tampan, cantik, kaya, dan
lain-lain jika jiwa sendiri tak bisa menjaganya. Apa gunanya punya banyak kawan
jika hati tak pernah tentram.
Pernah suatu
kali saya menanyakan kabar seorang kawan, dan ia menjawab, “Aku sedang menikmati
hidup.” Tentram benar mendengarnya. Jauh lebih baik dari jawaban ‘baik.’ Karena
seringkali tiap orang akan menjawab kabarnya baik jika ditanya apa kabar,
padahal ia sedang sakit hati, patah hati, baru dipecat, baru menangis, baru
kemalingan, dan sebagainya. Jadi alangkah bagusnya jika kita punya jawaban lain
selain jawaban mainstream tersebut.
Sungguh, untuk
apa terlalu memikirkan kejelekan demi kejelekan yang ada. Nikmatilah
sekali-kali bau tanah sehabis hujan, kunang-kunang di malam hari, matahari yang
baru terbit, bau kopi sebelum diminum, angin semilir, dan masih banyak lagi
cara untuk menafsirkan bahagia.
Saya ndak punya
resep untuk kebahagiaan Anda. Anda sendiri yang harus menemukannya. Karena
betapa saya sering bersedih akan kekurangan-kekurangan saya, segala sesuatu
yang belum saya miliki, seringkali membuat saya ndak bersyukur dan lupa caranya
bahagia. Betapa saya membuang-buang waktu untuk berpikir, stres, kurang tidur,
dan kemudian sakit.
Saya bahagia
ketika menuliskan ini hujan tiba, akhirnya hujan bulan juni yang tabah itu.
Seperti langit pun ingin berseru, “Akhirnya kamu bisa berdamai dan berbahagia.”
Pada akhirnya saya ingin menutup tulisan ini dengan sajak Arti Chopra yang saya
comot dari sebuah novel;
betapa
tahun-tahun berharga
terbuang
percuma mencari bahagia
ke mana-mana
sementara
sepanjang masa
bahagia
berada di dalam diri kita
serupa
sebutir benih terlunta
menanti
berbunga
0 comments:
Posting Komentar